Share

Terang dan Redup

Qian terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak dan sulit bernapas karena redupnya cahaya kamar. Sebenarnya, pria itu terbiasa tidur dengan cahaya lampu yang terang. Qian berlari sampai terdengar langkah kakinya menuju saklar lampu dan menghidupkan lampu di kamar itu. Perlahan napasnya mulai stabil setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.

Qian menoleh ke samping. Tampak olehnya Inara tidur dalam keadaan menangis. Di kedua sudut mata wanita itu mengalir air mata yang deras dalam kondisi mata yang masih tertutup. Qian jadi khawatir, ia duduk di tepi kasur dan menepis bahu Inara untuk membangunkannya.

Tubuh Inara bereaksi kaget, bahkan sampai duduk dan menarik tubuh menjauh dari Qian, seolah pria itu penjahat.

"Huff ...! Maaf," ucap Inara dengan kepala tertunduk.

Qian menganggukkan kepala dengan wajah bingung memperhatikan wanita itu menghapus air mata di pipinya, seakan ia sudah terbiasa dengan hal itu.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Qian, menatapnya.

"Aku mengigau? Maaf karena sudah mengganggu tidurmu. Ini kebiasaanku." Inara tertawa ringan.

"Insomnia? Itu bukan kebiasaan, tapi gangguan karena kecemasan ataupun stres. Coba duduk dengan tenang dan rileks kan pikiran juga tubuhmu," arah Qian sambil duduk bersila dan memegang kedua tangan Inara yang mengikuti posisi duduknya.

Qian bertingkah seperti infrastruktur yoga, ia membantu Inara untuk menenangkan diri dengan cara rileksasi. Inara mendengar haba-haba dari mulutnya, sampai wanita itu memejamkan mata dan menenangkan pikirannya yang masih mengingat kegelapannya selama tinggal di gudang. Qian menatap setiap bagian wajah Inara dengan sorot mata lembut. Ia tidak menyangkal kalau wanita itu tidak seburuk yang dibayangkannya. Bagian mata, alis, dan bibir wanita itu membuatnya menelan air liur.

Pelan, mata Inara terbuka dan langsung terkoneksi dengan tatapan Qian. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya memucat karena gugup, dan tangannya itu sedikit gemetar. Qian merasakannya.

Inara menundukkan pandangan karena tidak sanggup terlalu lama saling menatap. Ia salah tingkah. Tangan Qian yang memegang tangannya perlahan menjalar ke bahu yang membuat tubuh Inara membeku.

Tangan Qian berhenti di kedua rahangnya. Mata Qian tidak beralih menatap bibirnya, betapa tergoda nya Qian melihat bibir kecil Inara yang menarik bibirnya untuk mendekat seperti magnet.

Akhirnya, bibir Qian mendarat di bibir kecil indah milik wanita itu. Perlahan ia melahap bibir itu secara bertahap, dari atas ke bawah, sisi kiri ke kanan dan menciptakan bunyi khas di kesunyian kamar. Inara memejamkan mata dan melilitkan tangannya di leher Qian, ia menikmati sentuhan bibir pria yang masih berstatus suaminya itu.

Inara kaget saat Qian mendorong tubuhnya ke kasur, menelentangkan tubuhnya. Sikap lembut Qian berubah sedikit ganas, tangannya memburu kancing baju Inara untuk membukanya karena tidak bisa mengendalikan diri dalam gairahnya. Inara mencengkram kedua pergelangan tangan Qian. Seketika pria itu diam dan mengarahkan mata menatap Inara yang ketakutan.

"Maaf. Aku akan bersikap lebih lembut lagi," ucap Qian, meyakinkan.

Qian menghela napas untuk menenangkan diri. Tangannya lanjut melepaskan kancing baju Inara dan kembali menikmati bibir istrinya itu sampai berlanjut ke leher, pundak, hingga dada wanita itu dengan kedua tangan mencengkram kedua tangan Inara yang mengarah ke atas, sejajar dengan kepalanya. Inara diam dengan mata terpejam, menikmati sentuhan yang membuatnya tertarik dalam jurang kenikmatan. Giginya mengingat bibir bawah untuk menahan suara kenikmatan keluar karena merasa malu untuk mengeksposnya.

Tangan Qian mulai bermain nakal memasuki bawahan Inara dari bagian pinggang. Ia meraba paha mulus Inara yang tidak ada sedikitpun goresan di sana.

Qian tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh mereka, selimut itu melahap seluruh tubuh mereka tanpa ada satu bagian dari tubuh mereka yang tampak. Hanya ada gugusan dari tubuh Qian yang terlihat menonjol dari luar selimut karena sudah berada di atas tubuh Inara dan akan melakukan aksinya sebagai seorang suami dalam nafkah batin. Satu persatu pakai yang mereka kenakan di lempar keluar dari tepian selimut dan berserakan di lantai, termasuk pakaian dalam.

"Ini tidak sakit, kan?" Suara Inara terdengar kecil dari dalam selimut itu.

"Kita coba. Mungkin awalnya akan sakit. Tapi, aku akan berusaha pelan-pelan," balas Qian dengan volume suara yang sama.

Gerakan erotis mulai terlihat dari sisi luar selimut, dari tubuh Qian yang bergerak ke atas dan ke bawah. Erangan mereka perlahan terdengar setelah menikmati adegan itu beberapa menit. Selimut menjadi saksi bisu hubungan mereka. Lalu, dinding kamar menjadi telinga yang mendengar erangan mereka. Sampai akhirnya, mereka berada di ujung adegan erotis seperti gunung merapi yang meletus dan mengeluarkan laharnya.

***

Inara membuka mata dan mendapati langit-langit kamar hotel yang diterangi oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela kaca. Beberapa menit tubuh Inara diam mematung tidak bisa bergerak kiri maupun kanan seperti orang lumpuh. Tubuhnya terasa remuk, ingin rubuh karena saking pegal dan nyeri.

Ingatan adegan bersama Qian semalam membayanginya. Bukannya senang, Inara malah sedikit gelisah. Keberanian bertemu Qian menciut karena malu.

"Di mana dia?" Kedua bola matanya menoleh ke kiri, di mana Qian berbaring semalam.

Di atas kasur hanya ada dirinya, bahkan di kamar itu juga hanya ada dirinya. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain dirinya. Inara berusaha berdiri dari kasur dalam balutan selimut menutupi tubuhnya, ia berjalan menuju pintu kamar mandi dan mengetuk pintu sambil memanggil Qian.

"Kamu ada di dalam?" tanya Inara, ragu.

Namun, tidak ada suara yang menyahut. Ia membuka pintu kamar mandi dan melayangkan mata menjelajah ke setiap sisi kamar mandi yang menunjukkan kekosongan.

"Mbak sudah bangun?" Seorang pelayan wanita yang berdiri di ambang pintu kamar bertanya.

Tubuh dan ekspresi Inara berubah kaget. Ia menoleh ke belakang dan menutup pintu kamar mandi.

Pelayan yang datang kali ini adalah pelayan wanita selama yang membantu Qian membeli baju tidur untuk mereka. Pagi ini pelayan itu melakukan hal yang sama. Di tangannya ada nampan makanan dan tas belanja tergantung di pergelangan tangan kanannya.

"Mbak mandi saja. Saya akan bereskan kamar ini," kata pelayan yang tampak seusianya.

Pelayan itu berjalan masuk ke dalam kamar, ia menghampiri meja yang ada di depan sofa panjang yang tersandar ke dinding. Nampan yang membawa makanan dan minuman itu di letakkan di atas meja itu.

Wujud pelayan itu membuat Inara penasaran di mana Qian? Tapi, ia tidak ingin mempertahankannya kepada pelayan itu. Ia berjalan masuk ke kamar mandi, menutup pintu, dan lanjut berjalan menuju bathtub. Tubuhnya direndam di sana sambil mengingat kejadian semalam yang selalu membayanginya dengan perasaan bahagia. Tapi, disamping itu, ia juga diganggu oleh ketidaksenangan saat memikirkan Sarina. Rencana Qian mulai membuatnya ragu, ia tidak yakin rencana itu akan berhasil.

"Apa dengan aku hamil, Mama Sarina dan semua orang di rumah itu bisa baik padaku? Mengapa aku tidak yakin itu akan berhasil." Inara pesimis.

Suara desisan kecil keluar dari mulutnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan karena merasa organ vitalnya terasa nyeri karena hubungan semalam.

"Bagaimana jika rencana ini gagal? Kemarahan Mama Sarina bisa meruntuhkan rumah itu. Dia bisa membunuhku." Inara lanjut berbicara sendiri, meratapi dirinya yang dibenci oleh keluar Wirananda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status