Belum juga sehari ditinggal Arini pergi, Arman sudah mengirim pesan rindu pada Arini. Ini membuat Arini semakin cinta pada suaminya itu. Tak terasa sudah delapan jam Arini berada di kereta, sebentar lagi sudah sampai di Kabupaten dimana dia dibesarkan.
Saat Arini keluar stasiun, banyak sekali abang-abang ojek pengkolan yang menghampirinya. Buat apa lagi kalau bukan untuk menawarkan jasa mereka. Hingga akhirnya, Arini memutuskan menggunakan salah satu dari Abang ojek itu.
Perjalanan dari stasiun ke kampungnya bisa dibilang cukup jauh, yaitu sekitar satu jam lebih. Biarpun jam menunjukkan pukul dua siang, suasana pedesaan yang masih asri membuat perjalanan mereka tidaklah tersengat matahari.
"Bang, mampir ke pemakaman umum di sebelah sana, ya?" kata Arini pada Abang ojek. Abang ojek itu pun melihat ke arah yang Arini tunjuk.
"Oh ... iya, Mbak. Siap!" balas Abang ojek. Motor yang Arini tumpangi pun berbelok ke arah pemakaman.
"Tunggu sebentar, ya, Bang! Nanti uangnya saya lebihin," ucap Arini. Abang ojek itu pun mengacungkan jempol.
Arini masuk ke area pemakaman. Dilewatinya satu per satu makam yang ada di sana. Ketika Arini sampai di pusaran Bapak dan Emak, dirinya segera membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di kuburan orang tuanya.
Setelah selesai, Arini berdoa pada Tuhan agar, orang tuanya di tempatkan di surga-Nya. Tanpa terasa, air mata Arini jatuh membasahi kedua pipinya. Dengan cepat dirinya menghapusnya, karena sudah berjanji dalam hati, kalau tidak akan menangis karena Bapak dan Emak sudah bahagia.
Tak mau berlama-lama di sana, Arini pun segera beranjak. Sebelum dirinya benar-benar keluar dari makam, Arini menemui penjaga makam dan menitipkan makam orang tuanya untuk dirawat. Tak lupa pula, Arini memberikan uang sebagai imbalannya.
"Yuk, Bang, kita jalan lagi!" perintah Arini pada Abang ojek. Sepeda motor Abang ojek pun melaju pelan menuju rumah Arini. Tak perlu waktu lama, sepuluh menit kemudian Arini sudah sampai di depan rumah Bapak dan Emaknya.
"Makasih, Bang!" kata Arini menyodorkan uang pada Abang ojek. Tanpa menjawab, ojek itu pun berlalu.
*****
Sekarang, di sini, lah Arini. Di tempat penuh kenangan bersama Bapak dan Emaknya. Orang tua yang selama ini membesarkan dan mendidik Arini hingga seperti sekarang ini. Tak pernah Arini melihat ada keluhan dari Bapak dan Emak walaupun kondisi ekonomi mereka pas-pasan. Dengan pekerjaan yang serabutan, orang tua Arini bisa menyekolahkannya sampai D3.
"Pulang sendirian kamu Arini?" tanya Bu Siti saat dirinya mau berbelanja ke warung. Waktu itu, Arini masih berdiri di depan rumah.
"Iya, Bu. Mas Arman sedang sibuk dengan pekerjaannya," balas Arini. Biarpun Arman belum pernah ke kampung Arini, tapi orang di kampung Arini tahu kalau Arini sudah menikah.
"Oh! Lain kali diajak Arini, biar warga di sini bisa kenal dan tahu dengan suamimu itu," timpal Bu Siti lagi.
"Insyaa Allah, Bu. Besok Arini ajak Mas Arman liburan di kampung sini," jawab Arini tersenyum.
"Ya sudah ... saya mau ke warung dulu," pamit Bu Siti.
"Silahkan, Bu," balas Arini.
Setelah Bu Siti pergi, Arini segera masuk ke dalam rumah. Istirahat sebentar dan mengisi perut dengan roti yang Arini bawa. Setelah itu, Arini membersihkan rumah yang sudah lama tidak ditempati itu.
Suara teriakan wanita terdengar, ketika Arini masih membersihkan rumah. Penasaran, Arini pun segera ke depan untuk melihat siapa yang membuat keributan saat hari sudah menjelang malam.
"Hey anak gak tau di untung! Berani kamu pulang kesini, Hah?!" teriak Bude Jamilah, yang merupakan kakak dari Almarhum Bapak Arini.
"Kamu gak ada hak lagi di sini! Sebaiknya kamu pergi atau pergi saya panggilkan warga kampung supaya mengusir kamu, Arini!" teriak Bude Jamilah lagi. Kali ini emosinya benar-benar tak terkendali.
"Maksud Bude apa? Arini gak ngerti," jawab Arini pelan. Arini yang gak tahu permasalahan budenya hanya bisa menatap Bude Jamilah bingung.
"Kamu penyebab adik dan adik ipar saya meninggal! Kamu pembunuh, Arini!" pekik Bude Jamilah. Seketika warga berbondong-bondong mendekat ke asal suara.
"Astaghfirullah! Bukan Arini, Yu. Tapi, Pak Broto dan Bu Broto meninggal karena kecelakaan. Itu sudah takdir, Yu." Bu Siti yang tadi menyapa Arini ikut mendekat dan membela Arini.
"Kalau bukan mau menyusul anak si*lan ini, Broto dan Yayuk masih hidup sampai sekarang!" Kali ini Bude Jamilah menangis sesenggukan.
"Sudah, Bu Jamilah. Istighfar! Ini semua takdir Gusti Allah. Gak baik menyalahkan takdir Allah pada orang lain," ucap Bu RT.
"Iya, Bu Jamilah. Ikhlaskan saja, beliau berdua sudah tenang. Jangan di usik lagi seperti ini," Bu Ratna juga ikut menimpali. Bude Jamilah yang merasa tersudut akhirnya memilih pergi. Sebelum pergi, Bude Jamilah mendekat ke Arini dan mengancam Arini.
"Awas kamu, Arini! Tak akan aku lepaskan!" bisik Bude Jamilah ke telinga Arini.
Deg!
Ancaman Bude Jamilah mampu membuat tubuh Arini menegang kaku. Saat Bude Jamilah berlalu, beberapa ibu-ibu yang tadi berkumpul juga ikut berlalu.
"Sabar, ya, Arini. Jangan dimasukkan ke hati omongan budemu," pesan Bu RT sebelum meninggalkan rumah Arini. Arini hanya menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih.
*****
Memang sebelum kecelakaan itu terjadi, Bapak dan Emak Arini ingin mengunjungi anaknya. Karena kata Arini, ada laki-laki yang ingin melamarnya tapi tidak bisa melamar di kampung. Jadilah, Arini meminta Bapak dan Emaknya datang ke kota.
Tapi naas, bus yang dikendarai Bapak dan Emaknya kecelakaan. Sebenarnya, Arini sudah meminta orang tuanya naik kereta, tapi mereka tetap memaksa ingin naik bus.
Arini pun jadi teringat, setelah mendapat kabar buruk itu, dia segera pulang untuk menyaksikan pemakaman jenazah kedua orang tuanya. Tapi, saat dirinya sampai di pemakaman, jenazah Bapak dan Emaknya sudah dikebumikan.
Arini pun hanya bisa menangis di depan gundukan tanah milik kedua orang tuanya. Tak ada satu keluarga dari Bapak atau Emak Arini yang berusaha menghiburnya. Karena, memang sedari Arini kecil mereka tidak suka pada Arini, tak tahu apa alasannya.
Hanya satu orang yang masih peduli pada Arini, yaitu Bi Imah, sepupu jauh dari emak. Bu Imah tinggal agak jauh dari rumah Arini. Dan rencana Arini, esok hari dia akan mengunjungi kediaman Bi Imah.
Tak mau sedih terlalu lama, Arini bergegas melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Selesai beres-beres, Arini ke warung Bu Ratna untuk membeli mie instan dan juga telor. Karena, memang Arini tak punya stok sayuran untuk dimasak.
Selesai makan, Arini membuka album foto saat masih kecil. Arini tersenyum dan tertawa kecil ketika mengingat kala dia masih kelas satu sekolah dasar, dirinya akan marah kalau bapaknya terlambat menjemput pulang. Atau saat Arini diminta emaknya beli telor tapi yang dia beli gula, karena sampai warung Arini lupa pesan emaknya.
Rindu yang begitu dalam Arini rasakan. Hingga tanpa sadar, Arini tertidur di kamar Bapak dan Emaknya. Suara adzan subuh membangunkannya. Bergegas dia ambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh di rumah.
*****
Sesuai rencana, pagi ini, Arini akan berkunjung ke tempat Bi Imah, dengan meminta bantuan Mang Jaja. Mang Jaja memang pekerjaannya serabutan. Jadi, setiap warga yang membutuhkan bantuannya, dia akan selalu siap sedia. Apapun itu jenis pekerjaannya.
Setengah jam perjalanan Arini sampai di tempat Bi Imah. Mang Jaja diminta Arini untuk menunggu sampai Arini selesai. Kampung Bi Imah tak jauh asrinya dengan kampung Arini. Masih banyak pohon-pohon tinggi di sekeliling kampung.
Tok!
Tok!
Tok!
"Assalamualaikum, Bi!" ucap Arini dengan nada sedikit tinggi.
"W*'alaikumsalam!" Suara yang tak asing ditelinga Arini menjawab salamnya dari dalam. Pintu rumah pun di buka.
"Ya Allah! Arini, Sayang!" seru Bi Imah. Spontan, Bi Imah memeluk Arini. Tak kuasa Bi Imah menahan air matanya. Melihat bibinya seperti itu, Arini pun ikut menitikkan air mata. Setelah puas, mereka pun masuk ke dalam.
"Bi ... boleh Arini minta teh hangat untuk Mang Jaja yang sudah mengantar Arini kesini?" ucap Arini.
"Tentu boleh, Arini. Kebetulan Bibi juga baru selesai goreng pisang, kamu suguhkan sekalian, ya!" jawab Bi Imah tersenyum. Arini melangkah ke dapur dan membuat minuman untuk Mang Jaja. Setelah mengantarkan minuman, Arini masuk lagi ke dalam rumah.
"Arini ... ada yang ingin Bibi sampaikan ke kamu," ucap Bi Imah pelan. Arini mengernyitkan dahinya bingung.
"Ada apa, Bi? Sepertinya serius!" kata Arini menatap bibinya. Bi Imah menghela nafas pelan. Seperti ada beban yang tengah beliau hadapi.
"Tunggu di sini sebentar, ya!" ucap Bi Imah pelan. Bi Imah masuk ke dalam kamar, lalu ke luar lagi membawa sebuah kotak kecil. Arini tak berani bertanya, dirinya hanya menunggu sampai bibinya itu berbicara.
"Ini untuk kamu, Arini," kata Bi Imah sembari menyodorkan kotak kecil tersebut pada Arini.
"Ini apa, Bi?" Arini membolak-balik kotak kecil dan mencoba menerka isi dari kota itu.
"Itu titipan dari emakmu. Dua hari sebelum bapak dan emakmu meninggal, mereka kesini menemui Bibi. Entah kebetulan atau bukan, mungkin bapak dan emakmu sudah punya firasat sebelumnya. Makanya mereka kesini menitipkan ini. Bibi tak berani membukanya, Nak! Karena itu hak kamu, kamu yang berhak membukanya!" terang Bi Imah. Terdengar lagi Bi Imah menghela nafas berat.
"Pesan Bibi, apapun yang ada di dalam, kamu harus menerimanya dengan ikhlas, ya!" pesan Bi Imah lagi.
"Iya, Bi. Terima kasih, ya, Bi. Cuma Bibi yang Arini punya sekarang," balas Arini memeluk bibinya.
Setelah dirasa cukup, Arini pamit untuk pulang. Tak lupa Arini menyisihkan sedikit uang untuk Bi Imah. Bi Imah seorang janda tanpa anak. Sebenarnya, Bi Imah menolak, tapi Arini tetap memaksa. Akhirnya, Bi Imah menerima uang pemberian Arini itu.
bersambung ....
Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya."Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman."Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu."Ya
Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin
Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.
Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis
Selama hamil dan memiliki pembantu, Arini lebih sering berada dalam kamar. Menghindari perdebatan dengan Ibu Mertua atau Bela. Saat ini usia kandungan Arini sudah memasuki usia enam belas Minggu atau empat bulan.Rencananya, Arman akan mengadakan pengajian esok lusa untuk mendoakan untuk keselamatan istri dan calon anaknya. Persiapannya sudah diserahkan pada Ibu Ida dan Tuti."Bu, persiapan untuk pengajian bagaimana? Adakah yang kurang?" tanya Arman sebelum berangkat ke kantor."Sudah siap semuanya, Man. Kamu tenang saja," balas Ibu Ida."Syukurlah!" jawab Arman singkatTuti yang sedang menghidangkan sarapan, matanya tak lepas dari sang majikan. Semakin hari, pesona Arman di mata Tuti semakin besar. Rasa ingin memiliki pun juga bertambah besar."Sayang, jaga diri baik-baik, ya? Mas berangkat kerja dulu," pamit Arman seraya mencium kening dan perut Arini.Tuti yang melihatnya, menatap mereka dengan tatapan tak suka. Cemburu! Ya, Tuti cemburu pada Arini yang mendapat perhatian lebih dar
"Saya tahu Mbak Sarah ingin menyingkirkan Mbak Arini dari rumah ini," kata Tuti dengan senyum mengembang. Sarah yang mendengarnya pun kaget."Gak usah kaget gitu, Mbak. Tuti itu bisa nebak muka orang," ucap Tuti terkekeh."Gimana kalau kita kerjasama, Mbak? Tapi ..." ucap Tuti terputus."Tapi apa?" tanya Sarah. Tuti tersenyum sembari menaikturunkan alisnya."Gak ada yang gratis, Mbak!" kekeh Tuti pelan. Tuti memang terpesona dengan Arman. Tapi, kalau ada kesempatan mencari uang lebih, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya."Bisa dipercaya gak kamu?" jawab Sarah yang ragu karena belum mengenal Tuti."Jangan ragu sama Tuti, Mbak. Dijamin beres!" Tuti mengacungkan jempol pada Sarah. Senyum Sarah pun mengembang dari bibirnya.Karena tak mau ada yang curiga, Sarah meminta nomor telepon Tuti. Setelah itu, Sarah berlalu meninggalkan rumah Arman.*****Arini yang kelelahan memilih untuk langsung masuk ke kamar. Sedangkan Arman bersama Ibu Ida dan juga kakak adiknya masih berada