Share

Bab 7. Hasutan Ibu

Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah.

"Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin.

"Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman.

"Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat.

"Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

"Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. 

"Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini benar-benar sepadan dengan masmu. Bukan seperti Arini itu!" kata Ibu Ida pada Bela. Bela hanya menganggukkan kepalanya.

"Besok Ibu tetap pada rencana Ibu. Kamu mau ikut, kan?" tanya Bu Ida.

"Ikut, Bu! Siapa tahu nanti Bela dapat tas, sama seperti Ibu dan Mbak Salma kemarin," jawab Bela terkekeh. 

Bela memang dikenal dengan gaya sosialitanya. Tak kalah jauh dari Ibu Ida dan Salma. Di kampus, Bela selalu mengunggulkan penampilannya agar semua teman mau bergabung dengannya.

*****

Sesuai dengan rencana, siang itu, Ibu Ida dan Bela datang ke restoran Sarah. Kali ini tanpa ada Salma. Sampai di meja kasir, Bu Ida meminta seorang karyawan memanggilkan Sarah.

"Mbak, tolong panggilkan Bu Sarah, ya? Bilang kalau Bu Ida datang," kata Bu Ida.

"Baik, Bu. Tunggu sebentar, ya!" balas karyawan itu. Tak berselang lama, Sarah muncul dari arah pintu ruangannya.

"Ibu ... kenapa gak ngabarin dulu kalau mau ke sini?" ucap Sarah basa basi. Diciumnya pipi kanan dan kiri, Ibu Arman itu. 

"Ini siapa, Bu? Cantik sekali," tanya Sarah. Bela yang dipuji tersenyum senang.

"Oh iya, Nak Sarah, kenalkan ini adik Arman. Bela namanya," kata Bu Ida.

"Hay, Mbak Sarah. Ternyata Ibu benar, Mbak Sarah ini cantik banget!" puji Bela. Sarah juga 'cipika cipika' pada adik Arman itu.

"Terima kasih pujiannya. Oh ya, yuk duduk dulu," pinta Sarah pada mereka berdua. Mereka bertiga pun duduk tak jauh dari meja kasih.

"Nak Sarah, kapan main ke rumah Ibu? Biar makin mengenal Arman begitu. Iya, kan, Bela?" Ibu Ida melirik anak ketiganya itu dengan memainkan mata.

"Iya, Mbak Sarah. Bela gak ada teman yang bisa diajak berbagi tentang penampilan. Saat melihat Mbak Sarah, Bela jadi ingin mengikuti gaya Mbak Sarah." Bela yang tak kalah pintar, merayu Sarah dengan kata-kata manisnya.

"Ah, Ibu dan Bela bisa aja! Nanti kalau saya main ke rumah Ibu, yang ada istri Arman marah dong, Bu, sama saya," Sarah tersenyum kecil menjawab pertanyaan mereka.

"Kamu tenang saja, Nak Sarah. Itu rumah Ibu, yang berhak memberi izin Nak Sarah boleh berkunjung atau tidak, ya cuma Ibu. Gak usah pikirkan yang lainnya," balas Bu Ida. Dalam hati, Sarah merasa senang karena rencana untuk merebut Arman untuknya kembali terbuka lebar. Kali ini, dukungan keluarga Arman menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan Arman kembali.

"Kalau begitu, besok lusa boleh Sarah datang, Bu?" ucap Sarah dengan mata berbinar.

"Tentu saja boleh dong!" jawab Bu Ida yang tak kalah bersemangat.

Mereka bertiga pun terlibat obrolan yang seru. Mulai dari kegiatan Arman selama ini, makanan yang paling Arman suka dan banyak hal lainnya tentang Arman. Setelah puas, Ibu Ida dan Bela beranjak pulang. Tentunya dengan hati yang berbunga-bunga, seperti orang habis ketiban duit.

*****

Di kantor, Arman menerima kabar dari Arini kalau lusa Arini akan pulang. Hati Arman tentu senang. Setelah ditinggal pergi Arini beberapa hari, Arman merasa sendiri. Terlebih lagi dia bertemu dengan Sarah, hatinya jadi tak menentu.

Cinta masa lalu yang masih tersisa, membuat Arman merasa takut kalau perasaan itu muncul kembali. Tapi dengan segera Arman tepis perasaan itu. Baginya, Arini sekarang yang dia cintai dan sayangi. Sampai kapanpun akan seperti itu.

"Arini ... semoga kamu bisa membuatku melupakannya! Kembalilah Arini!" gumam Arman pelan. Arman yang menatap foto Arini di ponselnya tak menyadari kalau air matanya mulai menetes. Segera setelah sadar, Arman hapus jejak air mata supaya orang tidak tahu. Saat ini dirinya masih berada di kantor, jangan sampai teman kantornya tahu kalau dirinya menangis.

Drrt! Ponsel Arman bergetar, pertanda ada pesan masuk. Ternyata dari ibunya.

[Man, Ibu ada di restoran Sarah. Kamu ke sini, ya?] begitu bunyi pesan ibunya. 

Siang itu, Ibu dan adiknya memberi kabar kalau sekarang mereka bertemu dengan Sarah. Tentu saja hal itu membuat Arman geram. Saat pulang kerja, Arman mendiamkan Ibu dan Bela. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Arman.

"Man ... lusa, Sarah mau datang ke rumah kita, lho! Kamu besok pulangnya jangan terlambat, ya?" kata Ibu Ida. Arman hanya diam. Setelah beberapa saat tak ada jawaban dari Arman, Ibu Ida sedikit emosi.

"Kamu kenapa, sih, Man? Dari tadi Ibu ajak bicara tapi gak nyahut!" ucap Ibu Ida. Arman tetap diam tak membuka sedikitpun mulutnya. Harapannya, semoga ibunya sadar, apa yang dilakukan itu tidaklah benar.

Ditepisnya tangan Ibu Ida saat beliau memegang tangan anaknya. Seketika, mata Ibu Ida memerah dan buliran bening keluar dari kelopak matanya. Mendapati tindakan seperti itu, Ibu mana yang tak sakit hati. Tapi, tindakan Ibu Ida juga tidaklah benar.

Bela yang melihat ibunya menangis pun geram dengan tindakan kakak laki-lakinya itu. Dengan penuh amarah, digedornya pintu kamar Arman dengan sekuat tenang.

Door!

Door!

Door!

"Mas Arman, Buka!" teriak Bela.

"Mas Arman! Jangan jadi anak durhaka kamu, Mas! Lihat! Mas sudah buat Ibu menangis!" teriak Bela lagi tepat di depan pintu kamar Arman. Arman hanya bisa mengelus dadanya.

"Astagfirullah hal adzim!" kata Arman. "Begini kah perlakuan kalian pada Arini saat aku pergi?" gumam Arman ketika menyadari perilaku Ibu dan Adiknya saat di rumah.

 Akhirnya, Arman membuka pintunya. Baru saja dibuka, Bela langsung menyerbu kakaknya itu dengan membabi buta. Arman yang belum siap, terkena cakaran Bela di bagian tangan.

"STOP!" teriak Arman lantang. Bela yang kaget, akhirnya menghentikan aksinya.

"Siapa yang durhaka? HAH?! Salah apa Mas sama Ibu?" kata Arman masih dengan nada emosi. Bela yang belum pernah dibentak kakaknya itu hanya menunduk.

"Ibu harusnya tahu dan sadar, kalau Masmu ini sudah menikah! Jangan dipaksa untuk mau dijodohkan dengan wanita lain," terang Arman yang masih berusaha mengontrol emosinya. Ibu Ida yang mendengar Arman bicara, langsung menimpalinya.

"Ini juga demi kelangsungan hidup kita, Man. Papa Sarah itu kaya raya dan Sarah punya restoran mewah. Pasti hidup kita termasuk Arini akan terjamin dan tak akan takut merasa kekurangan," ucap Ibu Ida merasa tak bersalah.

"Ya Allah, Ibu! Kurang apa Arman selama ini sama Ibu? Arini pun tak menuntut banyak dari Arman. Harusnya Ibu bersyukur punya menantu seperti Arini," ucap Arman kala mendengar Ibu Ida bicara soal uang.

"Pokoknya Ibu mau kamu menikah dengan Sarah! Titik!" Ibu Ida tak mau kalah.

"Arman gak bisa, Bu!" kali ini Arman berkata dengan nada lembut.

"Kamu memang gak sayang Ibu, Man! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida. Arman yang frustasi, mengacak rambutnya kasar.

"Apa salahnya, sih, Mas, turuti permintaan Ibu? Toh setahu Bela, laki-laki itu berhak menikah lebih dari satu kali," Bela ikut menimpali perkataan ibunya.

"Kamu kalau gak tahu apa-apa, gak usah ikut campur urusan Mas!" bentak Arman pada Bela. Bela menghentakkan kakinya dan berlalu ke dalam kamar.

Ibu Ida yang melihat anaknya marah, ikut menyusul Bela ke dalam kamar. Kini, hanya Arman yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya. Tak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan ibunya.

Selama ini memang Arman tak pernah menolak permintaan ibunya. Tapi, tidak untuk kali ini. Baginya, menikah cukup sekali dan untuk selamanya. Almarhum Ayahnya dulu pernah berpesan, jangan sekali-kali menyakiti hati istri. Apalagi sampai poligami.

“Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.” (Surat An-Nisa ayat 3)

Begitulah ayat yang disampaikan ayahnya kala sebelum meninggal dan sampai saat ini masih Arman pegang kuat nasehat ayahnya itu. Bahkan tak pernah terbersit dalam hatinya untuk menikah lagi. Tapi sekarang? Ibu kandungnya sendiri yang meminta hal itu darinya.

Arman merebahkan diri di atas ranjang. Merenungi kejadian demi kejadian saat Arini tak ada di sini. Teringat dulu saat Arini meminta mengontrak rumah sendiri tapi Arman menolaknya. 

"Ah ... Arini! Kalau kamu tahu masalah ini, akan seperti apa sikapmu?" gumam Arman. 

Tiba-tiba Arman mendengar suara Bela yang berteriak. Bergegas Arman menuju kamar Bela. Dengan tergesa-gesa, Arman menuju kamar Bela. Betapa terkejutnya Arman kala melihat apa yang terjadi di kamar Bela.

"Ibu!" teriak Arman.

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status