Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah.
"Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin.
"Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman.
"Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat.
"Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
"Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida.
"Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini benar-benar sepadan dengan masmu. Bukan seperti Arini itu!" kata Ibu Ida pada Bela. Bela hanya menganggukkan kepalanya.
"Besok Ibu tetap pada rencana Ibu. Kamu mau ikut, kan?" tanya Bu Ida.
"Ikut, Bu! Siapa tahu nanti Bela dapat tas, sama seperti Ibu dan Mbak Salma kemarin," jawab Bela terkekeh.
Bela memang dikenal dengan gaya sosialitanya. Tak kalah jauh dari Ibu Ida dan Salma. Di kampus, Bela selalu mengunggulkan penampilannya agar semua teman mau bergabung dengannya.
*****
Sesuai dengan rencana, siang itu, Ibu Ida dan Bela datang ke restoran Sarah. Kali ini tanpa ada Salma. Sampai di meja kasir, Bu Ida meminta seorang karyawan memanggilkan Sarah.
"Mbak, tolong panggilkan Bu Sarah, ya? Bilang kalau Bu Ida datang," kata Bu Ida.
"Baik, Bu. Tunggu sebentar, ya!" balas karyawan itu. Tak berselang lama, Sarah muncul dari arah pintu ruangannya.
"Ibu ... kenapa gak ngabarin dulu kalau mau ke sini?" ucap Sarah basa basi. Diciumnya pipi kanan dan kiri, Ibu Arman itu.
"Ini siapa, Bu? Cantik sekali," tanya Sarah. Bela yang dipuji tersenyum senang.
"Oh iya, Nak Sarah, kenalkan ini adik Arman. Bela namanya," kata Bu Ida.
"Hay, Mbak Sarah. Ternyata Ibu benar, Mbak Sarah ini cantik banget!" puji Bela. Sarah juga 'cipika cipika' pada adik Arman itu.
"Terima kasih pujiannya. Oh ya, yuk duduk dulu," pinta Sarah pada mereka berdua. Mereka bertiga pun duduk tak jauh dari meja kasih.
"Nak Sarah, kapan main ke rumah Ibu? Biar makin mengenal Arman begitu. Iya, kan, Bela?" Ibu Ida melirik anak ketiganya itu dengan memainkan mata.
"Iya, Mbak Sarah. Bela gak ada teman yang bisa diajak berbagi tentang penampilan. Saat melihat Mbak Sarah, Bela jadi ingin mengikuti gaya Mbak Sarah." Bela yang tak kalah pintar, merayu Sarah dengan kata-kata manisnya.
"Ah, Ibu dan Bela bisa aja! Nanti kalau saya main ke rumah Ibu, yang ada istri Arman marah dong, Bu, sama saya," Sarah tersenyum kecil menjawab pertanyaan mereka.
"Kamu tenang saja, Nak Sarah. Itu rumah Ibu, yang berhak memberi izin Nak Sarah boleh berkunjung atau tidak, ya cuma Ibu. Gak usah pikirkan yang lainnya," balas Bu Ida. Dalam hati, Sarah merasa senang karena rencana untuk merebut Arman untuknya kembali terbuka lebar. Kali ini, dukungan keluarga Arman menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan Arman kembali.
"Kalau begitu, besok lusa boleh Sarah datang, Bu?" ucap Sarah dengan mata berbinar.
"Tentu saja boleh dong!" jawab Bu Ida yang tak kalah bersemangat.
Mereka bertiga pun terlibat obrolan yang seru. Mulai dari kegiatan Arman selama ini, makanan yang paling Arman suka dan banyak hal lainnya tentang Arman. Setelah puas, Ibu Ida dan Bela beranjak pulang. Tentunya dengan hati yang berbunga-bunga, seperti orang habis ketiban duit.
*****
Di kantor, Arman menerima kabar dari Arini kalau lusa Arini akan pulang. Hati Arman tentu senang. Setelah ditinggal pergi Arini beberapa hari, Arman merasa sendiri. Terlebih lagi dia bertemu dengan Sarah, hatinya jadi tak menentu.
Cinta masa lalu yang masih tersisa, membuat Arman merasa takut kalau perasaan itu muncul kembali. Tapi dengan segera Arman tepis perasaan itu. Baginya, Arini sekarang yang dia cintai dan sayangi. Sampai kapanpun akan seperti itu.
"Arini ... semoga kamu bisa membuatku melupakannya! Kembalilah Arini!" gumam Arman pelan. Arman yang menatap foto Arini di ponselnya tak menyadari kalau air matanya mulai menetes. Segera setelah sadar, Arman hapus jejak air mata supaya orang tidak tahu. Saat ini dirinya masih berada di kantor, jangan sampai teman kantornya tahu kalau dirinya menangis.
Drrt! Ponsel Arman bergetar, pertanda ada pesan masuk. Ternyata dari ibunya.
[Man, Ibu ada di restoran Sarah. Kamu ke sini, ya?] begitu bunyi pesan ibunya.
Siang itu, Ibu dan adiknya memberi kabar kalau sekarang mereka bertemu dengan Sarah. Tentu saja hal itu membuat Arman geram. Saat pulang kerja, Arman mendiamkan Ibu dan Bela. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Arman.
"Man ... lusa, Sarah mau datang ke rumah kita, lho! Kamu besok pulangnya jangan terlambat, ya?" kata Ibu Ida. Arman hanya diam. Setelah beberapa saat tak ada jawaban dari Arman, Ibu Ida sedikit emosi.
"Kamu kenapa, sih, Man? Dari tadi Ibu ajak bicara tapi gak nyahut!" ucap Ibu Ida. Arman tetap diam tak membuka sedikitpun mulutnya. Harapannya, semoga ibunya sadar, apa yang dilakukan itu tidaklah benar.
Ditepisnya tangan Ibu Ida saat beliau memegang tangan anaknya. Seketika, mata Ibu Ida memerah dan buliran bening keluar dari kelopak matanya. Mendapati tindakan seperti itu, Ibu mana yang tak sakit hati. Tapi, tindakan Ibu Ida juga tidaklah benar.
Bela yang melihat ibunya menangis pun geram dengan tindakan kakak laki-lakinya itu. Dengan penuh amarah, digedornya pintu kamar Arman dengan sekuat tenang.
Door!
Door!
Door!
"Mas Arman, Buka!" teriak Bela.
"Mas Arman! Jangan jadi anak durhaka kamu, Mas! Lihat! Mas sudah buat Ibu menangis!" teriak Bela lagi tepat di depan pintu kamar Arman. Arman hanya bisa mengelus dadanya.
"Astagfirullah hal adzim!" kata Arman. "Begini kah perlakuan kalian pada Arini saat aku pergi?" gumam Arman ketika menyadari perilaku Ibu dan Adiknya saat di rumah.
Akhirnya, Arman membuka pintunya. Baru saja dibuka, Bela langsung menyerbu kakaknya itu dengan membabi buta. Arman yang belum siap, terkena cakaran Bela di bagian tangan.
"STOP!" teriak Arman lantang. Bela yang kaget, akhirnya menghentikan aksinya.
"Siapa yang durhaka? HAH?! Salah apa Mas sama Ibu?" kata Arman masih dengan nada emosi. Bela yang belum pernah dibentak kakaknya itu hanya menunduk.
"Ibu harusnya tahu dan sadar, kalau Masmu ini sudah menikah! Jangan dipaksa untuk mau dijodohkan dengan wanita lain," terang Arman yang masih berusaha mengontrol emosinya. Ibu Ida yang mendengar Arman bicara, langsung menimpalinya.
"Ini juga demi kelangsungan hidup kita, Man. Papa Sarah itu kaya raya dan Sarah punya restoran mewah. Pasti hidup kita termasuk Arini akan terjamin dan tak akan takut merasa kekurangan," ucap Ibu Ida merasa tak bersalah.
"Ya Allah, Ibu! Kurang apa Arman selama ini sama Ibu? Arini pun tak menuntut banyak dari Arman. Harusnya Ibu bersyukur punya menantu seperti Arini," ucap Arman kala mendengar Ibu Ida bicara soal uang.
"Pokoknya Ibu mau kamu menikah dengan Sarah! Titik!" Ibu Ida tak mau kalah.
"Arman gak bisa, Bu!" kali ini Arman berkata dengan nada lembut.
"Kamu memang gak sayang Ibu, Man! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida. Arman yang frustasi, mengacak rambutnya kasar.
"Apa salahnya, sih, Mas, turuti permintaan Ibu? Toh setahu Bela, laki-laki itu berhak menikah lebih dari satu kali," Bela ikut menimpali perkataan ibunya.
"Kamu kalau gak tahu apa-apa, gak usah ikut campur urusan Mas!" bentak Arman pada Bela. Bela menghentakkan kakinya dan berlalu ke dalam kamar.
Ibu Ida yang melihat anaknya marah, ikut menyusul Bela ke dalam kamar. Kini, hanya Arman yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya. Tak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan ibunya.
Selama ini memang Arman tak pernah menolak permintaan ibunya. Tapi, tidak untuk kali ini. Baginya, menikah cukup sekali dan untuk selamanya. Almarhum Ayahnya dulu pernah berpesan, jangan sekali-kali menyakiti hati istri. Apalagi sampai poligami.
“Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.” (Surat An-Nisa ayat 3)
Begitulah ayat yang disampaikan ayahnya kala sebelum meninggal dan sampai saat ini masih Arman pegang kuat nasehat ayahnya itu. Bahkan tak pernah terbersit dalam hatinya untuk menikah lagi. Tapi sekarang? Ibu kandungnya sendiri yang meminta hal itu darinya.
Arman merebahkan diri di atas ranjang. Merenungi kejadian demi kejadian saat Arini tak ada di sini. Teringat dulu saat Arini meminta mengontrak rumah sendiri tapi Arman menolaknya.
"Ah ... Arini! Kalau kamu tahu masalah ini, akan seperti apa sikapmu?" gumam Arman.
Tiba-tiba Arman mendengar suara Bela yang berteriak. Bergegas Arman menuju kamar Bela. Dengan tergesa-gesa, Arman menuju kamar Bela. Betapa terkejutnya Arman kala melihat apa yang terjadi di kamar Bela.
"Ibu!" teriak Arman.
bersambung ....
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin
Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.
Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis
Selama hamil dan memiliki pembantu, Arini lebih sering berada dalam kamar. Menghindari perdebatan dengan Ibu Mertua atau Bela. Saat ini usia kandungan Arini sudah memasuki usia enam belas Minggu atau empat bulan.Rencananya, Arman akan mengadakan pengajian esok lusa untuk mendoakan untuk keselamatan istri dan calon anaknya. Persiapannya sudah diserahkan pada Ibu Ida dan Tuti."Bu, persiapan untuk pengajian bagaimana? Adakah yang kurang?" tanya Arman sebelum berangkat ke kantor."Sudah siap semuanya, Man. Kamu tenang saja," balas Ibu Ida."Syukurlah!" jawab Arman singkatTuti yang sedang menghidangkan sarapan, matanya tak lepas dari sang majikan. Semakin hari, pesona Arman di mata Tuti semakin besar. Rasa ingin memiliki pun juga bertambah besar."Sayang, jaga diri baik-baik, ya? Mas berangkat kerja dulu," pamit Arman seraya mencium kening dan perut Arini.Tuti yang melihatnya, menatap mereka dengan tatapan tak suka. Cemburu! Ya, Tuti cemburu pada Arini yang mendapat perhatian lebih dar
"Saya tahu Mbak Sarah ingin menyingkirkan Mbak Arini dari rumah ini," kata Tuti dengan senyum mengembang. Sarah yang mendengarnya pun kaget."Gak usah kaget gitu, Mbak. Tuti itu bisa nebak muka orang," ucap Tuti terkekeh."Gimana kalau kita kerjasama, Mbak? Tapi ..." ucap Tuti terputus."Tapi apa?" tanya Sarah. Tuti tersenyum sembari menaikturunkan alisnya."Gak ada yang gratis, Mbak!" kekeh Tuti pelan. Tuti memang terpesona dengan Arman. Tapi, kalau ada kesempatan mencari uang lebih, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya."Bisa dipercaya gak kamu?" jawab Sarah yang ragu karena belum mengenal Tuti."Jangan ragu sama Tuti, Mbak. Dijamin beres!" Tuti mengacungkan jempol pada Sarah. Senyum Sarah pun mengembang dari bibirnya.Karena tak mau ada yang curiga, Sarah meminta nomor telepon Tuti. Setelah itu, Sarah berlalu meninggalkan rumah Arman.*****Arini yang kelelahan memilih untuk langsung masuk ke kamar. Sedangkan Arman bersama Ibu Ida dan juga kakak adiknya masih berada
"Jangan-jangan itu bukan anak Mas Arman, Tan," Sarah mulai meracuni pikiran Ibu Ida."Ah gak mungkin, Sarah! Arini itu gak pernah kemana-mana," ucap Ibu Ida. "Tante yakin?" tanya Sarah. Sarah mencari cara agar Ibu Ida yakin padanya."Eh tapi ... memang, sih, Arini sempat keluar beberapa kali dan terakhir dia pulang kampung," kata Ibu Ida. Sarah tersenyum menyeringai, melihat adanya celah untuk menghasut Ibu Ida."Nah, kan, Tan! Tante juga gak tahu di luar sana Arini gimana dan ngelakuin apa aja," ujar Sarah makin percaya diri."Ah masak, sih?" Ibu Ida masih saja ragu dengan perkataan Sarah. Karena, biar bagaimanapun, selama ini Arini memang tidak pernah bersikap aneh atau neko-neko."Nanti kita cari bukti, Tan. Biar Tante yakin, nanti Sarah bantu," tawar Sarah. Ibu Ida yang memang tidak suka dengan Arini, setuju saja dengan saran Sarah.*****Sementara itu, Arini sudah sampai di rumah sakit dan sedang menunggu nomor antriannya dipanggil. Rahman menunggu di luar, karena tadi Arini mem
Tuti memang mengajak Sarah bekerja sama, tapi itu semua hanya taktik Tuti semata. Karena, dirinya pasti tak akan mampu membuat keluarga Arman tunduk padanya. Jadi, Sarah dia gunakan untuk menghasut keluarga Arman agar membenci Arini. Sedangkan dia, akan berusaha untuk menggaet Arman tanpa sepengetahuan Sarah.Bukan tanpa alasan, Tuti dulunya orang kaya yang kemudian bangkrut karena semua uangnya ditipu oleh pacarnya. Sang pacar berjanji akan menikahinya. Jadi, tanpa ragu Tuti menyerahkan semua aset yang dimiliki Tuti pada pacarnya itu. Bahkan, ada beberapa aset yang langsung dibalik nama atas nama pacarnya.Sehari sebelum pernikahannya, sang pacar tak bisa dihubungi. Dan setelah ditelusuri, ternyata semua aset yang dimilik Tuti sudah dijual pacarnya itu kepada musuhnya. Sedangkan pacarnya kabur ke luar negeri sampai sekarang.Orang tua Tuti meninggal karena shock dengan kejadian yang menimpa Tuti. Bertahun-tahun hidup menggelandang di jalan dan menikmati susahnya cari uang, membuat Tu