Share

Suami Tantri tiba-tiba Pulang

"Kamu? Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Tantri kaget, matanya memancarkan kebingungan yang mendalam ketika dia melihat seorang lelaki berbaju biru yang santai duduk di depan televisi.

Dimas Herlambang, suami Tantri, tersenyum penuh arti. "Kenapa tidak bisa? Saat istriku rindu, jangankan Eropa, surga pun akan aku tinggalkan dan segera datang menemuimu. bukankah begitu seharuanya sayang?"

"Aku sengaja meminta cuti, jadi aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Agar kita bisa dinner di hari anniversary ke 5 kita."

Sementara Dimas menjelaskan alasan kedatangannya, Tantri yang penuh perasaan tak bisa berkata apa-apa. Bibirnya membisu. Dia merasa terharu karena tak pernah menyangka Dimas akan meluangkan waktunya di tengah kesibukan pekerjaannya yang tak kunjung lengang. Ia tidak menduga jika suaminya lebih mengutamakan dirinya daripada pekerjaannya.

Mata Tantri berkaca-kaca, dan tanpa berpikir panjang, dia memeluk erat suaminya dengan manja. Namun, Dimas segera melepaskan pelukan itu dengan lembut, sembari memberi kode bahwa situasi mereka tidak sesederhana itu. Ia mencoba memberitahu Tantri jika mereka tidak hanya berdua di ruangan ini.

Tantri kemudian tersadar bahwa dia datang bersama Suci. Wajahnya memerah karena malu, bukan hanya karena momen romantis yang terjadi, tetapi juga karena merasa tidak pantas memperlihatkan kemesraan di hadapan Suci yang tengah dalam situasi sulit.

"Suci, maaf aku tidak bermaksud—"

Namun, Suci langsung memotongnya, "Tidak apa-apa, Tan. Aku yang salah. Maaf."

Dimas, yang tetap memandang tajam ke arah Suci yang hanya mengenakan selimut, bertanya, "Siapa dia?" dalam bisikan kepada Tantri. "Kemana pakaiannya?"

Tantri yang panik berusaha menjelaskan, "Sayang, ini Suci, sahabat SMP-ku dulu. Sekarang dia sedang mengalami kesulitan. Dia butuh dukungan dan perlindungan yayasanku untuk menyelesaikan masalah keluarganya."

Meskipun suasana masih tegang, Tantri mencoba meredakan ketegangan dengan menjelaskan situasi kepada Dimas. Namun, pandangan tajam Dimas masih mengarah pada Suci. Dalam kebingungannya, Dimas bertanya lagi, "Ada apa dengannya?"

Tantri merasa kesulitan menjelaskan situasi ini kepada Dimas. Dia menggeleng pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat, dan akhirnya berkata, "Nanti aku akan menjelaskannya padamu. Yang pasti sekarang Suci membutuhkan bantuan kita semua."

Dimas mencoba menciptakan sedikit keceriaan, "Kurasa yang sahabatmu butuhkan saat ini adalah pakaian, bukan bantuan."

"Kamu benar, sayang." Tantri tersenyum dan setuju.

Tantri membimbing Suci ke kamarnya dengan senyuman hangat.

Kamar Tantri berukuran sangat besar, hampir seukuran separuh rumah Suci. Wajar saja karena rumah Tantri berada di kawasan elit. Berbeda dengan kondisi rumah Suci yang hanya berupa perubahan subsidi.

Suci begitu takjub melihat betapa elegannya kamar Tantri. Warna putih dan ungu mendominasi ruangan ini. Sehingga ia berhenti sejenak untuk menikmati keindahannya.

"Kenapa berhenti disini, Ci. Ayo kita pilih baju yang cocok untukmu," ajak Tantri.

"Kamarmu mewah sekali. Besar lagi. Hampir seukuran rumahku."

Tantri hanya tersenyum dan terus menggandeng tangan Suci dan mengajaknya duduk diatas kasurnya yang empuk. Suci merasa terharu oleh dukungan dan bantuan Tantri dalam situasi sulit ini.

Setelah mereka berdua duduk dengan santai, Suci mengungkapkan terima kasihnya, "Terima kasih, Tantri. Aku sungguh berterima kasih atas semua yang kau lakukan."

Tantri tersenyum sambil menggeleng, "Tidak perlu berterima kasih, Suci. Aku ingin membantumu. Kita harus saling mendukung dalam situasi seperti ini. Lagi pula ini memang tugasku. Aku ingin membantu perempuan yang mengalami nasib sepertimu sebanyak mungkin."

"Maaf jika aku banyak merepotkanmu atau membuatmu khawatir." Kata Suci. Ia merasa lega mendengar kata-kata penyemangat dari Tantri. Namun, dia tidak bisa menahan perasaannya sendiri. Ia merasa tak akan bisa membalas Budi baik sahabatnya itu.

"Suci, kamu sama sekali tidak merepotkanku. Aku tahu bahwa ini adalah saat yang sulit bagimu, dan aku akan selalu di sini untukmu. Ini adalah tugas kita untuk saling membantu dalam situasi seperti ini." Hibur Tantri

"Kamu beruntung, Tan, rumah tanggamu tetap hangat meskipun sudah 5 tahun menikah. Apa lagi kamu memiliki suami yang baik. Kamu tidak perlu merasakan kepedihan seperti yang aku rasakan." Ucap Suci yang mulai membandingkan kondisi rumah tangga dengan Tantri.

"Sebelumnya, aku selalu mengeluh memiliki suami seperti Dimas. Dia jarang pulang ke rumah karena pekerjaannya di luar negeri. Kadang saking sibuknya, dia hanya pulang 3 bulan sekali. Itupun hanya 5 hari disini. Nggak sampai seminggu." Tantri memberi penjelasan.

"Tapi kan ke luar negeri untuk kerja. Itu kan enak, Tan. Banyak duitnya." Kata Suci bercanda.

Tantri menjelaskan perasaannya, "Enak apanya? Kita jarang bertemu, Ci. Bahkan, terkadang aku merasa punya suami, tapi seperti janda. Karena aku harus menghadapi banyak hal sendiri."

"Hush, kamu tidak boleh berpikir begitu." Suci mencoba meredakan suasana.

Tantri tersenyum setelah mendengar kata-kata Suci, "Tenang saja. Itu dulu. Sekarang berbeda. Melihat begitu banyak suami yang berperilaku buruk dan mempersulit keluarganya, aku semakin bersyukur. Walaupun Dimas jarang pulang, keluargaku tetap harmonis. Dan yang paling penting, mas Dimas orangnya tanggung jawab dan setia."

Suci setuju, "Benar, Tan. Tingkah laku suami memang memengaruhi keharmonisan keluarga. Apalagi kesetiaan."

Ditengah obrolan mereka, Tantri tiba-tiba teringat sesuatu, "Oh ya, aku hampir lupa. Kamu mau memakai baju yang mana? Putih atau kuning?"

Suci tersenyum dan memilih baju yang lebih pantas. Meskipun situasinya rumit, ada rasa kehangatan dan persahabatan yang tumbuh di antara mereka dalam menghadapi tantangan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status