Share

1. Pecundang Seperti Daxton

Setibanya di kediaman sang Kakek—Kaslo Nesser, Daxton dibawa oleh lelaki paruh baya itu menuju ke taman dan dibiarkan duduk di kursi taman.

"Daxton, mulai sekarang kau tinggal bersamaku, kau tinggal bersama Kakekmu ini," ungkap Kaslo yang berjongkok di hadapan Daxton sembari memegang kedua bahu anak lelaki berusia 8 tahun itu.

Daxton yang masih lemah hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum tipis.

Anak lelaki berusia 8 tahun itu selalu berdoa agar Kaslo panjang umur, ia selalu berharap Kaslo sehat dan baik-baik saja karena hanya Kaslo yang peduli padanya, di dunia ini hanya Kaslo yang menyayanginya dengan tulus, hanya Kakeknya itu yang menerimanya dan mengkhawatirkannya.

"Baiklah, mari kita masuk dan kau beristirahat dulu nanti aku akan memanggilkan seorang dokter untuk memeriksamu lagi," ucap Kaslo dengan ramah yang dibalas anggukkan patuh oleh Daxton.

Dengan segera Kaslo kembali menggendong cucu lelakinya itu, cucu yang selalu ia harapkan tumbuh dengan baik, tumbuh menjadi manusia bukannya monster seperti Gozard dan Posie.

Aku amat berharap kau tumbuh dengan baik, Daxton. Aku berharap kau menjadi manusia, bukan monster seperti kedua orang tuamu itu, bukan seperti Gozard dan Posie. Batin Kaslo berjalan memasuki House Of Nesser sembari menggendong Daxton.

***

Satu minggu telah berlalu dan selama itu juga Daxton tinggal di House Of Nesser bersama sang Kakek—Kaslo Nesser.

Pagi ini Daxton harus kembali sekolah setelah beberapa hari ia tak ke sekolah lantaran sakit.

"Kau sudah memasukkan semua buku pelajaranmu, Daxton?" Kaslo bertanya kala Daxton selesai memakan sarapannya pagi ini di meja makan.

Daxton dengan senyum lebar menganggukkan kepala. "Sudah, Kakek. Aku sudah memasukkan buku dan semua yang kuperlukan saat di sekolah nanti."

Kaslo membalas senyum sang cucu lelaki lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kalau begitu ayo berangkat ke sekolah!"

Daxton menganggukkan kepala dengan senyum yang melebar sempurna di wajahnya, senyum yang tak pernah disukai oleh Ayah dan Ibunya.

Kaslo menggandeng tangan kecil sang cucu lelaki untuk menuju mobil yang telah disiapkan oleh Hezart Abeyr sopir pribadinya.

"Selamat pagi, Tuan Nesser dan Tuan Muda Daxton Gui...."

"Tidak perlu menyebutkan nama belakangnya, Hezart," sahut Kaslo menghentikan Hezart yang hendak menyebut nama belakang Daxton yakni Guiner.

Dengan perasaan bersalah Hezart menganggukkan kepala lalu meminta maaf pada Kaslo.

Setelahnya Kaslo hanya menganggukkan kepala dan masuk ke mobil bersama Daxton yang segera diikuti oleh Hezart yang duduk di bangku kemudi.

SUV hitam itu melaju meninggalkan House Of Nesser membelah jalanan Kota Evanesant yang cukup ramai pagi ini.

Di perjalanan menuju ke Evanest School Daxton hanya diam melamun sembari menatap keluar jendela mobil.

Jujur saja Daxton tidak suka pergi ke sekolah, ia benci tempat itu, di sana ia selalu dirundung dan dikata-katai oleh teman-teman kelasnya, ia sering disebut sebagai pecundang apalagi tiap pelajaran olahraga yang mana Daxton tak unggul dalam pelajaran itu.

Daxton benci sekolah, ia juga takut ke sekolah karena semua orang yang ada di sana seolah selalu menatapnya benci, tetapi Daxton lebih takut akan amarah Ayah dan Ibunya, ia lebih takut pada amarah Gozar dan Posie yang dengan tega mengurungnya di gudang gelap Guiner Mansion.

Jika aku tidak dilahirkan sebagai Daxton Guiner apakah hidupku akan jauh lebih baik. Anak lelaki berusia 8 tahun itu membatin, membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika ia tak dilahirkan dengan nama Daxton Guiner.

"Daxton," panggil Kaslo menyadari cucu lelakinya itu melamun sejak tadi.

Daxton mengerjap lalu menolehkan kepalanya pada sang Kakek sembari tersenyum tipis. "Ada apa, Kakek?"

Kaslo membalas senyum itu dan mengusap kepala Daxton penuh kasih, "Apa teman-temanmu masih merundungmu, Daxton?" tanya lelaki paruh baya itu dengan nada hangat.

Daxton terdiam mendengar pertanyaan barusan dari sang Kakek, ekspresi wajah anak lelaki berusia 8 tahun itu berubah jadi sedikit masam. Daxton tentu saja ingin mengatakan kalau teman-teman sekolahnya itu bahkan makin keterlaluan merundungnya, tapi Daxton bisa apa? Semakin ia mencoba bersuara untuk membela diri, teman-teman sekolahnya itu pasti akan semakin membencinya dan merundungnya.

Daxton juga tak ingin ia disebut sebagai pecundang lagi karena memanfaatkan kekuasaan sang Ayah atau pun kini sang Kakek. Teman-temannya pasti akan mengatainya pecundang tidak berguna dan kata-kata menyakitkan lainnya, yang selama ini telah begitu mengganggu pikiran anak lelaki berusia 8 tahun itu.

Daxton terlahir di keluarga Guiner yang kaya raya dan berasal dari keluarga terpandang, Kakeknya dari pihak Ayah—Wilman Guiner adalah seorang pebisnis dan pemilik perusahaan Guiner Corporation, sementara Kakeknya dari pihak Ibu—Kaslo Nesser adalah seorang pengacara ulung.

Lantas apakah itu salah Daxton karena ia terlahir di keluarga yang kaya raya dan terpandang? Apakah itu salah Daxton karena menyandang nama belakang Guiner? Apakah itu salahnya karena menjadi putra dari Gozard Guiner dan Posie Guiner?

Daxton tidak bersalah tetapi orang-orang tetap saja menyalahkannya karena iri, karena tidak bisa memiliki apa yang Daxton miliki, orang-orang membencinya tanpa alasan jelas, orang-orang merundungnya hanya karena ia berasal dari keluarga kaya raya dan terpandang.

Begitulah manusia, jika mereka tak bisa melukai fisik seseorang maka mereka akan menghancurkan jiwa seseorang itu sampai habis tak bersisa, dan hanya menyisakan kebencian juga rasa rendah diri pada seseorang itu.

Jahat.

Sangat jahat.

Tapi begitulah realitas hidup.

Daxton anak lelaki berusia 8 tahun itu harus menerimanya, menerima kenyataan yang begitu jahat padanya.

"Daxton," panggil Kaslo menyadari sejak tadi Daxton hanya diam dengan tatapan yang mengosong.

Dengan segera Daxton mengerjap lalu menatap sang Kakek. "Aku tidak apa-apa, Kek! Mereka sudah tak merundungku bahkan mereka sudah baik padaku dan mengajakku bermain bersama," ucap anak lelaki berusia 8 tahun itu berusaha tersenyum walau rasanya sulit.

Bohong, Daxton terpaksa berbohong mengenai perundungan yang ia alami di Evanest School, ia membohongi sang Kakek agar lelaki paruh baya itu tak perlu datang ke sekolah dan memarahi beberapa guru juga siswa, yang melakukan perundungan pada Daxton.

Kaslo lalu membalas senyum sang cucu lelakinya itu. "Kuharap kau tidak berbohong, Daxton. Jika teman-teman sekolahmu masing merundungmu maka katakan saja padaku, biar aku yang mengurus mereka, biar mereka tahu dengan siapa mereka berurusan."

Inilah yang Daxton takutkan, Kakeknya pasti akan membuat perhitungan dan setelahnya bisa dipastikan Daxton akan semakin diledek dan dikata-katai.

Padahal semua yang ada dalam hidup Daxton adalah takdirnya bukan? Dan itu sudah menjadi ketentuan, seharusnya kalau orang-orang tidak terima atas takdir Daxton, mereka bisa protes pada Tuhan bukan pada Daxton yang bahkan tak tahu apa-apa.

Akhirnya setelah beberapa menit SUV hitam itu berhenti di depan Evanest School, Daxton turun dari mobil diikuti oleh Kaslo.

Beberapa siswa SD di Evanest School melihat itu, mereka diam-diam menatap penuh cemooh ke arah Daxton yang bahkan tak melakukan apa-apa.

"Daxton!" Suara seorang anak lelaki yang merupakan teman satu kelas Daxton menyapa.

"Halo, Darcel!" Kaslo menyapa anak lelaki barusan yang rupanya adalah Darcel, yah ia Darcel Vinson.

"Halo, Tuan Kaslo Nesser!" Darcel balas menyapa Kaslo dengan ramah.

"Kakek, aku masuk ke kelas dulu," ucap Daxton berpamitan pada sang Kakek.

Kaslo menganggukkan kepala, membiarkan Daxton masuk ke kelas bersama Darcel.

***

Kini pelajaran seni dimulai dan pagi ini kelas akan melakukan praktik menyanyi, tetapi guru keluar sebentar untuk membiarkan anak-anak SD ini untuk latihan terlebih dahulu.

"Hei! Daxton! Kau sekarang mau pamer juga kalau Kakekmu itu Kaslo Nesser huh?" Seorang anak lelaki dengan rambut berwarna cokelat terang mendatangi Daxton yang duduk di bangkunya.

Daxton hanya diam ia tak ingin berdebat atau pun membuat keributan, ia senang ketenangan.

"Benar, mentang-mentang Kakekmu Kaslo Nesser jadi kau minta diantar olehnya, dan pamer pada kami, begitu kan, Daxton? Dasar pecundang!" seorang anak lelaki berambut hitam legam juga mendatangi Daxton sembari mencercanya.

Sekali lagi Daxton hanya diam, tatapannya lurus ke depan, ia mengabaikan dua teman kelasnya yang suka merundung itu.

"Dasar pecundang!"

"Hei lihatlah si pecundang ini selain lemah sekarang ia juga tidak bisa bicara!"

"Sepertinya sih ia kehilangan mulutnya!"

"Harusnya ia bisa membeli mulut lagi bukan? Ia kan kaya raya."

Darcel yang mendengar itu semua tak terima, anak lelaki yang usianya 2 tahun lebih muda dari Daxton dan anak-anak kelas itu menggebrak meja, membuat atensi kini seluruhnya teralih kepada bocah lelaki dengan rambut cokelat gelap yang cepak rapi itu.

"Kalian seharusnya tidak boleh mengganggu Daxton terus-terusan!" Teriakan Darcel menggema membuat anak-anak perundung itu terdiam, merasa terkejut melihat Darcel yang marah.

Daxton yang mendengar bagaimana Darcel membelanya hanya diam, ia tak tertarik berteman atau bahkan bersahabat dengan siapa pun termasuk Darcel Vinson si bocah lelaki cerdas yang bisa masuk sekolah lebih awal, padahal usianya masih 6 tahun itu.

"Memangnya kenapa huh? Vezord yang sepupunya saja tidak protes kok, bahkan ia tak membela Daxton sama sekali, kenapa kau yang bukan siapa-siapa mau repot membela Daxton si pecundang ini huh?" Anak lelaki berambut hitam legam yang bernama Nafferic Granson itu mencibir Darcel.

Daxton memang satu kelas dengan sepupunya yang bernama Vezord Nesser, sayangnya sejak dulu mereka berdua memang tak pernah akur, bahkan tak jarang Vezord juga turut merundung Daxton, dan ia juga selalu membuat Daxton dimarahi sang Ayah karena selalu saja kalah dari Vezord di sekolah.

'Kau itu harus bisa lebih baik dari Vezord! Dan kalau tidak bisa setidaknya tirulah ia, jadilah anak yang berguna yang bisa membanggakan kedua orang tua, Daxton!'

Dalam keterdiamannya anak lelaki berusia 8 tahun itu kembali mengingat ucapan penuh amarah sang Ayah.

Kenapa aku harus seperti Vezord? Kenapa aku tidak bisa menjadi diriku sendiri saja? Apa aku tidak seberharga itu sehingga Ayah selalu membandingkanku dengan Vezord, dan memintaku untuk seperti Vezord? Batin bocah lekaki kecil itu merasa sedih.

"Aku temannya! Aku temannya Daxton! Dan seorang teman akan membela temannya!" sahut Darcel kembali membela Daxton dengan nada lantang.

Ketika itu Daxton menatap ke arah Darcel dengan tatapan terkejut, untuk kali pertama ia mendengar ada yang membelanya selain sang Kakek—Kaslo Nesser dan adik lelaki Daxton—Darcio Guiner.

"Jangan sombong begitu, Darcel! Kau pikir kau siapa? Kau itu hanya anak panti yang beruntung bisa bersekolah di tempat elite ini!" Nafferic dengan kesal menyahuti ucapan Darcel barusan, anak lelaki berusia 8 tahun itu juga menatap tajam ke arah Darcel yang sama sekali tak gentar bahkan turut membalas tatapan itu tak kalah tajam.

"Dan kau pikir kau siapa, Nafferic? Kau bahkan tidak akan punya teman jika kau tidak berasal dari keluarga kaya dan terpandang!" sahut Darcel membalas ucapan Nafferic yang pada akhirnya membuat dua anak lelaki itu berkelahi.

***

Kini istirahat makan siang telah tiba, seluruh siswa Evanest School berbondong-bondong menuju ke kantin.

Siang ini Daxton ke kantin seorang diri seperti hari-hari biasa, bedanya kali ini ia mengambil tiga potong roti, tiga botol susu, dan tiga buah apel.

Setelahnya Daxton keluar dari kantin membawa kantung kertas berisikan makanan itu menuju ke taman belakang Evanest School, dan tanpa mengatakan apa-apa Daxton langsung duduk di sebelah anak lelaki yang tadi membelanya di kelas, dan berakhir dihukum bersama Nafferic oleh guru lantaran berkelahi di kelas.

"Wah, ada apa kau repot-repot mendatangiku, Daxton?" Benar, anak lelaki itu adalah Darcel.

Daxton tak mengatakan apa-apa, ia diam dan mengambil sepotong roti, satu botol susu, dan sebuah apel dari kantung kertas barusan lalu menyerahkan kantung kertas itu pada Darcel.

"Apa ini? Wah kau memberikannya untukku?" tanya Darcel tetapi segera menerima kantung kertas itu dengan wajah yang berseri-seri.

Kapan lagi Darcel bisa makan-makanan enak ini bukan? Selama ini ia tidak bisa mendapatkan makanan ini di kantin karena kantin itu diperuntukkan anak-anak orang kaya yang berasal dari keluarga terpandang, sementara Darcel hanya anak lelaki dari panti asuhan yang beruntung bisa bersekolah di Evanest School.

Dengan segera Darcel memakan sepotong roti itu ia bahkan dengan terburu-buru meminum susu, membuat Daxton menatapnya heran lantaran melihat Darcel yang seolah tak pernah memakan roti juga minum susu itu.

Darcel yang telah menghabiskan sepotong roti dan sebotol susunya itu tertawa menyadari tatapan heran Daxton.

"Aku tidak pernah bisa makan sepertimu, Daxton! Tiap di panti asuhan hanya ada roti keras yang bahkan sepotong harus dibagi menjadi beberapa potong lagi, menyebalkan memang tapi apa boleh buat kan?" ucap Darcel menjelaskan dengan cengiran lebar di wajahnya.

Daxton terdiam, ia tidak pernah tahu kalau kehidupan di panti asuhan ternyata semiris itu.

"Eh iya, semua makanan ini untukku? Kau tidak akan memintaku untuk membayarnya kan?" Darcel yang cerewet itu kembali bertanya.

Daxton hanya diam, sepotong roti di tangannya sejak tadi bahkan tak berkurang sama sekali, masih utuh tak tersentuh.

"Hei Daxton!" Darcel memanggil Daxton yang melamun.

"Tidak, kau bisa memakannya, dan terima kasih karena telah membelaku tadi," ucap Daxton sekaligus berterima kasih atas apa yang dilakukan oleh Darcel tadi.

Darcel tersenyum dan menganggukkan kepala. "Tidak masalah, sudah kubilang kita ini kan teman."

Daxton tahu sejak kali pertama bertemu Darcel di Panti Asuhan Evanest School, bocah lelaki itu mengajaknya mengobrol dan mengatakan ingin menjadi temannya. Tapi siapa yang percaya kalau permintaan pertemanan itu tulus? Daxton memiliki keraguan terhadap orang-orang di sekelilingnya, ia merasa jika ada yang mendekatinya maka mereka hanya akan memanfaatkannya, mereka mau berteman dengannya karena ia adalah putra dari Gozard Guiner.

Daxton kecil yang malang.

"Hei, Daxton! Kau tidak mau datang ke panti asuhan lagi?" Darcel mengajak Daxton untuk mengobrol sembari ia mengunyah apel merah di tangan kanannya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status