Share

6. Menanggung Kebencian

Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.

Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.

Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.

Darcio ingin menjadi seorang penulis.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio.

"Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.

Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."

Darcel yang melihat interaksi antara Daxton dan Darcio tersenyum, ia jadi membayangkan kalau memiliki seorang adik pasti akan menyenangkan, sayangnya Darcel bahkan tak pernah tahu dari mana ia berasal, ia tak tahu bagaimana rupa kedua orang tuanya. Ia hanya anak lelaki yang tak diharapkan sehingga dikirim ke panti asuhan.

Menyedihkan, tapi apa boleh buat?

"Heii! Kalian berdua mau mendengar sebuah dongeng tidak?" Darcel tiba-tiba saja teringat sebuah dongeng yang beberapa hari lalu diceritakan oleh Vanderz padanya, yah pemilik panti asuhan Evanest House itu memang cukup akrab dengan Darcel.

Darcio dan Daxton yang memang menyukai dongeng dengan cepat menganggukkan kepala.

"Tentu saja mau, Kakak lelaki Darcel!" sahut Darcio tersenyum lebar.

"Aku mau dengar dongeng itu," balas Daxton juga tersenyum.

Darcel menganggukkan kepala dengan senyum yang juga tak kalah lebar dari Daxton dan Darcio.

"Baiklah, kalian harus bersiap untuk mendengarnya! Pertama kalian harus menutup mata lebih dulu," ujar Darcel memberikan perintah membuat Darcio dan Daxton saling tatap tak mengerti.

"Kenapa kami harus menutup mata?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa anak lelaki itu tengah bingung saat ini.

Darcel tersenyum pada Daxton dan Darcio. "Kata Pak Vanderz, dongeng akan jadi lebih nyata kalau kita memejamkan mata sembari mulai berimajinasi kalau kita tengah berada di dunia dongeng itu," jelasnya dengan percaya diri.

Daxton dan Darcio dengan kompak menganggukkan kepala lalu mulai memejamkan mata bersama-sama.

"Setelahnya ayo bergandengan tangan," ucap Darcel membuat mereka yang duduk melingkar itu jadi saling menggandeng tangan satu sama lain.

"Apa selanjutnya?"

"Pegangan yang erat karena sebentar lagi kita akan terjun dari helikopter ke sebuah kota kecil nan indah!" seru Darcel ikut memejamkan mata dengan senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya.

Daxton dan Darcio saling menggenggam erat.

Ketika memejamkan mata, ketika tangan mungil mereka saling menggenggam. Ketika itulah Daxton menyadari bahwa selamanya Darcio akan menjadi orang yang selalu ada untuknya, dan hari ini bertambah satu orang yakni Darcel.

'Aku akan selalu bersama Kakak lelaki apa pun keadaannya, seperti yang Kakek bilang bahwa saudara harus saling melindungi, menjaga dan selalu bersama.'

Di situasi ini juga Daxton mengingat ucapan adik lelakinya—Darcio yang begitu tulus padanya.

Hari ini, siang ini juga Daxton memiliki teman selain adik lelakinya, ia memiliki teman lain bernama Darcel Vinson yang tak pernah ia sangka akan selalu bersamanya bahkan hingga mereka dewasa.

***

Sore ini di Guiner Mansion para pelayan tengah disibukkan untuk menyiapkan pertemuan para orang kaya dan berpengaruh di Negara Dawnsaid ini, mereka adalah para pengusaha dan politikus yang akan datang dalam pertemuan di kediaman Gozard Guiner nanti malam.

Daxton yang tengah duduk di taman depan Guiner Mansion berjingkit begitu Gozard duduk di sebelahnya. "Apa yang kau pikirkan?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang Ayah barusan Daxton hanya diam, lantaran sejujurnya ia memang sedang tak memikirkan apa-apa.

Memangnya apa yang harus Daxton pikirkan di sore hari yang amat menyenangkan untuk beristirahat ini? Lagi pun Daxton masih anak-anak, memangnya apa isi pikiran anak-anak?

"Daxton!" panggil Gozard menyadari putra sulungnya yang berusia 8 tahun itu tak menyahuti pertanyaannya barusan.

Daxton menatap sang Ayah. "Tidak ada."

Gozard berdecih mendengar jawaban yang amat singkat dari Daxton.

Memangnya apa yang ia harapkan dari seorang anak laki-laki yang bahkan masih suka menangis? Gozard seharusnya tak terlalu berharap berlebihan bahwa Daxton akan menjawab pertanyaannya dengan satu atau bahkan dua kalimat panjang.

"Kau bahkan tidak pernah berbicara lebih dari dua kata, Daxton! Aku ragu kalau kau adalah anakku dan Posie," ucap Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.

Daxton yang mendengar ucapan sang Ayah barusan terdiam, ia merasa terkejut mendengar ucapan Gozard yang meragukannya.

Apa Ayahnya itu buta atau bagaimana? Bukankah sudah jelas Daxton bahkan memiliki wajah yang amat mirip dengan Gozard? Dari ujung kepala hingga kaki, Daxton benar-benar mirip dengan Gozard semasa kecil dulu, dan beraninya ia mengatakan hal itu?

Gozard tak pernah memikirkan perasaan orang lain, ia tak peduli meski kadang tahu kalau ucapannya bisa saja menyakiti hati. Dan kali ini ia tahu kalau ia baru saja menyakiti hati kecil Daxton, yah putra sulungnya sendiri.

Memangnya monster mana yang repot-repot memikirkan perasaan orang lain? Tentu saja tidak ada.

"Kau tahu, Daxton? Kau hadir di antara kebencian Posie padaku, Ibumu itu amat membenciku ketika ia tahu dirinya hamil, padahal kami sudah menikah kala itu! Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Ia mengatakan tidak ingin melahirkanmu, dan hendak menggugurkanmu. Tapi aku tentu tidak akan membiarkan itu, aku mengurungnya di lantai 3 pavilliun selama ia hamil dirimu dan itu membuatnya sempat depresi juga hampir bunuh diri," ucap Gozard tiba-tiba membuat Daxton yang masih kecil itu tak mengerti mengapa sang Ayah harus menceritakan hal itu padanya.

Gozard berhenti sejenak lalu menghela napas. "Dan sekali lagi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku datang dan memeluknya erat ketika ia hendak melompat dari lantai 3 pavilliun, aku memaksanya untuk tetap berada di sisiku, aku memeluknya sangat erat karena aku takut kehilangannya. Dan seiring berjalannya waktu ia pada akhirnya menerimaku, ia mulai mencintaiku, Daxton. Dan tiap menatapmu itu membuatku teringat masa lalu, teringat hal mengerikan itu."

Setelah mengatakan hal itu Gozard bangkit begitu saja meninggalkan Daxton yang terdiam dengan ekspresi wajah kebingungan.

"Kenapa Ayah menceritakan hal itu kepadaku? Aku harus apa?" Daxton bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap sekeliling dengan tatapan kosong, ia kini sadar kalau kebencian Gozard dan Posie padanya adalah karena ketika hamil Daxton, Posie begitu membenci Gozard bahkan Posie hampir melenyapkan dirinya sendiri.

Lantas apakah itu semua salah Daxton?

Apakah anak kecil yang tak tahu apa-apa harus menanggung kebencian itu? Apakah Daxton yang tak mengerti cinta antara kedua orang tuanya harus bertanggung jawab? Haruskah Daxton tak dilahirkan di dunia? Tapi itu semua sudah takdir, mau bagaimana pun juga Tuhan telah mentakdirkan jalan hidup Gozard dan Posie begini, dan memiliki putra sulung yang akhirnya mereka beri nama Daxton.

"Jadi aku tidak pernah diharapkan ada di dunia ini ya?" Daxton kecil yang malang itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

"Semua manusia yang telah dilahirkan, tidak pernah tidak diharapkan ada di dunia ini, Tuan Muda Daxton!"

Seharusnya memang begitu tetapi tidak bagi Daxton.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status