Share

03

Setelah selesai belanja, aku segera pulang. Tidak seperti biasanya, jalanan begitu sepi, padahal masih sore.

“Woy!” seseorang menepuk bahuku. 

Ah, dia mengagetkanku. Rasanya ingin sekali menampar wajahnya. Tapi aku hanya bisa menahan emosiku.

“Lev, apasi..... Kayak bocah lo!” bentak Andre.

“Apa, lo baru tahu gue bocah?” dan untuk pertama kalinya juga aku menggunakan sebutan lo dan gue dengannya.

“Iya, seharusnya lo tahu dari pagi gue jaga lo dan lo malah main kabur begitu saja, lo jaga diri saja tidak becus sok-sokan main kabur.”

“Tanya diri lo sendiri, kenapa kalau tidak ikhlas nungguin segala, lagi pula selama ini memangnya lo yang rawat gue, lo baru kenal gue, lo kalau mau tahu orang kejauhan, gue selama ini rawat gue sendiri bukan lo yang mengurus jadi jangan sok ngatur-ngatur gue lo,” 

Plak!

Satu tamparan mendarat keras di pipiku, aku menahan kuat air mataku yang hampir menetes. Untuk pertama kalinya aku mendapatkan tamparan seumur hidupku. Bahkan kedua orang tuaku saja tidak berani menamparku seperti itu.

Ya diam adalah bahasa terbaik seseorang jika sudah tidak lagi sebuah kata dapat ditoleransi, dan aku melakukan itu, tamparan barusan membuat aku sadar kalau dia tidak baik untukku, dan aku tidak perlu banyak berkata, aku rasa Andre bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti apa pun.

Tanpa berkata apa pun aku pergi begitu saja dari hadapan Andre, begitu pun Andre dia hanya diam dan tidak berkata apa-apa, mungkin ia sadar apa yang barusan ia lakukan, namun ia tidak bisa berkata lagi atau bahkan ia kaget dan malu atau bagaimana entah itu aku tidak tahu dengan jelas. Yang aku lakukan hanya diam membiarkan ia berpikir apa yang barusan ia perbuat, semoga ia cepat menyadari kalau segala tindakan itu harus terkontrol dengan baik dan tidak dengan emosi, begitu yang aku inginkan.

Namun tetap saja aku lemah perlahan-lahan tangisan menjadi isakan, sama halnya dengan wanita lain. Wanita mana yang tidak sedih atau hancur jika mendapat perlakuan kasar dari seseorang entah itu siapa, apalagi mendapatkan perlakukan kasar dari seorang yang menjadi kekasihnya, sudah pasti sakit sekali, bahkan mungkin saat posisi itu pengen mengakhiri semuanya dan memilih sendiri, jika saja mengakhiri hubungan lebih baik dari pada menyelesaikan masalah aku akan memilih mengakhiri, namun sayang itu tidak mungkin. Tapi berbeda denganku dan Andre bagaimana mungkin jika kemarin sore ia menyatakan perasaan suka dan sekarang malah menamparku, rasanya sudah tidak pantas jika aku beri kesempatan untuk bisa dekat lagi denganku, mungkin jika kemarin aku ingin memberikan sedikit ruang untuk Andre maka aku akan berpikir beribu kali lagi untuk memberi dia kesempatan bisa bersamaku. Jika ada kesempatan maka akan membuatnya lebih sulit, tidak mungkin jika aku menerima orang yang bisa begitu mudahnya bisa menyakiti, dan aku tidak ingin hal buruk terjadi padaku.

Setelah beres dan mandi kulihat ponsel ada puluhan notif panggilan tidak terjawab, dan salah satunya bang Deren. Sudah aku pastikan aku kena omel karena seharian penuh aku tidak ada kabar sama sekali.

“Hallo, selamat malam,” sapaku.

“Ke mana saja Lev,  kenapa baru ada kabar?” tanya bang Deren yang terdengar kurang bersahabat, mungkin sekarang dia cemas denganku, karena tidak seperti biasanya aku menghilang seharian penuh begitu saja.

“Maaf bang, seharian aku sangat sibuk dan aku baru pulang, bagaimana keadaan bang Deren saat ini, baik-baik saja kan” Kataku buat meyakinkan bang Deren.

“Seharusnya aku yang tanya begitu, apa kamu baik-baik saja di sana?” tanyanya balik.

“Iya, aku baik-baik saja, bukankah abang sendiri yang menyuruhku untuk selalu baik-baik saja,” jawabku sambil tersenyum, kuharap bang Deren dapat merasakan bahwa aku sedang tersenyum padanya, membuktikan bahwa memang aku sedang baik-baik saja pada saat ini.

Salah satu yang bikin aku semangat adalah bang Deren, bagaimana aku tidak bahagia di usiaku yang sudah bukan lagi anak-anak selalu mendapat perhatian lebih layaknya seorang gadis kecil yang masih harus dilindungi, bahkan status juga hanya adik angkatnya, namun aku mendapat perhatian penuh dari seorang kakak dari dia.

“Bang.” Panggilku pelan.

“Iya Lev, kamu kenapa?” tanyanya.

“apa seorang laki-laki lebih cenderung menggunakan emosionalnya saat menghadapi masalah, apa iya bermain tangan dapat membuat hati seseorang lega?” tanyaku padanya.

“siapa yang kamu maksud? Siapa pun seseorang laki maupun perempuan jika menyelesaikan masalah dengan emosi dia pengecut, percuma menggunakan kekerasan karena pada akhirnya ia akan melukai menghancurkan dirinya sendiri, bagaimana tidak jika semua masalah berakhir dengan emosi maka setiap detiknya akan teracuni emosi itu sendiri pada dirinya sendiri karena manusia tempatnya masalah.” Jawabnya bang Deren yang membuat aku semakin cemas, entah yang aku pikirkan, yang aku inginkan hanya tidur tenang tanpa diganggu siapa pun.

“Kenapa kamu “ tanyanya padaku.

“Aku?” tanyaku memastikan.

“Iya kamu, Levia Aliani. Bukankah dari tadi aku hanya bicara dengan kamu?” tegasnya padaku.

“oh, I’m sorry bang. Tidak apa, aku hanya bertanya saja, everything it’s ok,” jawabku.

“Baiklah, kuharap kau selalu baik-baik saja. Tidurlah Lev sudah malam, aku rasa sekarang istirahat kamu jauh lebih penting dari pada memikirkan seseorang dan drama koreamu,” katanya menyindirku.

“Aku tahu, tapi alangkah lebih baiknya abang sendiri juga tidur dan jaga kesehatannya dari pada menjaga seseorang yang belum tentu jadi miliknya tanpa menyindir orang lain, bukankah begitu abangku yang terhormat,” jawabku menjahilinya.

“Aku akan istirahat, baik-baiklah di sana,” jawabnya lalu memutuskan telepon sepihak, aku hanya tertawa, aku tahu sekarang dia sudah pasti kesal denganku. 

Memang benar rasanya badanku membutuhkan banyak istirahat, kasihan sekali jika setiap hari aku ajak kerja seharian penuh terus pulangnya malah aku ajak begadang menonton drama sampai larut malam, kebetulan aku tadi membeli susu, aku rasa minum susu membuat tidurku jauh lebih baik dan cepat dari biasanya. 

Rasanya masih mengantuk sekali, namun alarm di handphone sudah terus-menerus berbunyi. Pantes saja dulu waktu kecil ibu sering marah-marah jika aku susah disuruh tidur, ternyata disaat dewasa begini cari waktu tidur adalah hal yang sulit, tahu begitu aku pasti akan menggunakan waktu tidurku dengan baik, tapi jika sekarang ditanya kenapa waktu tidur malah begadang ya jawabannya hanya cari hiburan atau kesepian, sama halnya dengan diriku rela tidak tidur hanya untuk menonton drama Karena merasa kesepian. 

Seperti biasa aku berangkat nebeng Aryan, ya meskipun jarakku sampai kantor dekat Aryan selalu memberi aku tumpangan  kecuali benar-benar repot. Ya mungkin karena itu orang-orang berpikir kalau aku punya hubungan khusus dengannya, padahal kedekatan aku dengannya karena sering saling membutuhkan saja.

“Lev, makan dulu ya. Masih terlalu pagi ini belum sarapan juga tadi,” ajak Aryan pas sampai, memang masih terlalu pagi dan masih lama masuk jam kerja, sekitar empat puluh lima menit lagi.

“kamu mau makan apa Lev?” tanya Aryan.

“Terserah,” jawabku malas.

“Ganti yang lain deh Lev, tidak ada menu terserah ini,” kata Aryan

“Apaan sih Ar, maksudnya aku sama in sama kamu gitu, jangan bikin pusing bisa tidak?” bantahku, tidak terima.

 “Kalau tidak, bagaimana?” tantang Aryan.

“Ya sudah aku pergi saja,” ancamku.

“Makan dulu Lev, baru pergi. Ingat kesehatanmu, jangan seperti kemarin. Sampe kamu kabur gitu lagi. Jangan terulang lagi” Sanggah Aryan mengingatkanku.

“Aku tahu, dan aku sibuk Ar, sama seperti halnya dengan kamu, kamu selalu sibuk entah aku tidak tahu apa kesibukanmu aku tidak tahu, duniaku tidak hanya memikirkan satu tempat ini. Sudahlah Ar, mari makan, kita nanti telat,” ingatku padanya.

“Ok, selamat makan.”

Tidak ada pembicaraan selama makan, hanya ada suara dentingan sendok saja karena sama-sama menikmati makanan masing-masing. Aku pun begitu aku lebih memilih diam dan larut dalam pikiranku sendiri tanpa harus bicara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status