Share

Bab 2

“Apa maksud ucapanmu itu, Lia?” tanyaku sambil keluar dari persembunyianku.

“Vania.” 

 

Mas Hanif dan Lia terperangah. Yah, sudah pasti mereka tak menyangka jika aku berada di sini. Mas Hanif langsung menghampiriku dan mencoba meraih tangan. Tadinya, aku ingin membicarakan hal ini pada mereka, namun mendengar omong kosong ini membuatku naik darah juga. Kuampiri Lia yang seakan gugup.

“Jelaskan padaku, apa maksudmu?” 

“Emm … Anu ….”

“Nggak usah anu-anu. Jelaskan!"

“Sudah lah, Van, Lia hanya salah bicara,” bela Mas Hanif yang membuatku semakin panas.

“Kamu membela pelakor ini, Mas?”

“Pelakor? Siapa yang pelakor? Bukankah orang ketiga di sini adalah kamu?” sentak Lia.

“Heh, punya otak masih terpasang rapi itu dipake! Jelas yang istri sah-nya di sini adalah aku!” ucapku.

“Tapi Mas Hanif hanya mencintaiku,” ucap Lia penuh percaya diri.

“Lia, sebaiknya kamu pulang dulu. Ini bukan waktunya kalian bertengkar. Bagaimana kalau Ibu nanti dengar dan malah ke sini?”

Lia membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika Mas Hanif benar-benar mengusirnya. Sementara aku mendengus. Sudah ramai begini, dia baru memikirkan ibunya? Aku malah berdo’a supaya Ibu datang dan memihakku saat ini juga.

“Kamu mengusirku, Mas? Bagus kalau Ibumu datang, kita jadi bisa menjelaskan sekalian, kan?” ucap Lia, tampak jelas sekali ia sangat ingin masuk di tengah-tengah keluarga ini. 

“Oalah, udah ngebet kamu? Ngebet kok sama suami orang. Nggak laku, kamu?” ejekku.

“Van, sudah lah. Kamu pulang dulu ya, Lia.” Mas Hanif menengahi, mungkin ia takut aku dan gundiknya akan adu mulut. 

Meski terlihat terpaksa, tapi gundik suamiku itu akhirnya pergi juga. Kini Mas Haris sedang dalam masalah. Ia harus menjelaskan apa maksud ucapan Lia tadi?

“Van, biar aku jelaskan.” 

“Apa yang akan kamu jelaskan, Mas? Pertanyaan Lia tadi sudah mewakili semuanya. Sebenarnya, memang tak ada cinta itu untukku, kan?”

“Ayo, kita duduk dulu. Aku akan jelaskan.”

Lalu, mengalir lah cerita dari mulut Mas Hanif. Tentang fakta dari terjadinya pernikahan kami dan juga alasannya. Rupanya, Mas Hanif mau menikahiku karena tak ingin kehilangan warisannya. Sebulan setelah ia putus dari Lia, Ibu mengenalkan Mas Hanif denganku, anak dari sahabat lamanya. Ibu juga sempat mengancam jika tak mau menikah denganku, maka Ibu akan menghapus nama Mas Hanif dari daftar ahli warisnya, otomatis semua harta Ibu akan jatuh pada Fajri, adik lelaki Mas Hanif dan juga Amira, adik bungsu Mas Hanif yang kini bersuamikan orang luar kota.

Aku terlalu naif selama ini, mengartikan kebaikan suamiku sebagai tanda cinta dan tulusnya padaku. 

Hatiku sakit bagai tertusuk benda tajam. Aku yang mencintainya dengan sungguh-sungguh, merasa bagai air susu yang dibalas air tuba. Kupikir, Mas Hanif mencintaiku penuh dengan ketulusan, nyatanya semua itu hanyalah karena tak ingin kehilangan warisan. Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan Ibu. Beliau, bahkan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, namun ternyata tega menjerumuskanku dalam jurang kesakitan. 

Aku yang salah, karena telah menafsirkan  tanggung jawabnya sebagai kasih sayang, dan kekhawatirannya sebagai bentuk cinta. Padahal faktanya, ia tak ingin ‘sumber warisannya’ ini sakit atau bahkan terluka.

Masih terbayang di pelupuk mata saat aku melahirkan Anna dan Aldi yang terpaksa harus menjalani operas ceasar, bagaimana wajah Mas Hanif yang saat itu seakan dipenuhi dengan kekhawatiran dan cemas. Mungkin saja, perasaan itu memang ada, namun bukan untukku. Ia mungkin hanya mengkawatirkan anak-anaknya saja.

“Maafkan aku, Van.”

“Baik lah, Mas,” ucapku. 

“Kamu mau memaafkanku dan menerima Lia?” tanyanya dengan wajah berseri.

“Kata siapa? Aku belum memaafkanmu dan selamanya tak akan menerima kehadiran pelakor itu.” 

“Dia bukan pelakor, Van. Dia justru datang lebih dulu dari pada kamu.” Ia tak terima aku terus menyebut gundiknya itu, pelakor.

Aku melengos dan menatap punggung Mas Hanif yang keluar dari rumah. Entah lah, mungkin ia ingin menemui gundiknya itu dan meminta maaf karena telah menyuruhnya pulang. Mas Hanif memang benar-benar keterlaluan, ia bahkan tak mau mengerti keadaan istri sah-nya ini. 

Seharusnya hatiku yang kau sembuhkan, Mas, bukan menyusul gundikmu! 

“Kamu kenapa, Van?” Aku tersentak saat mendengar suara Ibu. Sejak kapan beliau ada di sana? Apakah ia mendengarkan obrolan kami tadi.

“Oh, nggak papa, Bu.” 

“Itu juga, si Hanif mau ke mana?” 

Aku menggeleng, rasanya aku sudah muak. Lalu aku teringat dengan pembahasan kami tadi. Kupandangi wajah penuh keriput itu. Masih tak menyangka jika Ibu juga ada andil di semua ini. Ingin marah saja rasanya pad belaiau jika tak mengingat semua kebaikan Ibu selama ini padaku.

-

[Mbak, bisa kita ketemu?] 

Aku membaca pesan dari Fajri, adik ipaku saat Ibu pulang. Dia memang tinggal di sebuah rumah yang juga masih milik Ibu. Sejak menikah, ia memang sudah tidak tinggal di sini. Alasannya lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Dulu aku berpikir jika ia tak menyukai kehadiranku sebagai kakak iparnya, namun semua itu terbantahkan dengan sikapnya padaku. Ia baik.

[Oke, mau ketemu di mana? Mumpung Mas-mu tidak ada di rumah.]

[Kita ketemu sambil makan aja. Biar nanti aku jemput Aldi dan Anna.]

Aku pun segera bersiap. Memang benar, sebentar lagi anak-anakku pulang. Daripada mereka melihat ada hawa tak enak saat masuk ke dalam rumah, sebaiknya aku mengajak mereka untuk makan di luar bersama om-nya. Kebetulan mereka cukup dekat. Setelah siap, kupastikan tak ada api yang menyala dan juga mematikan lampu ruang tengah. Kunyalakan mobil dan melaju menuju rumah makan yang sudah menjadi langgananku bersama dengan anak-anak. 

Saat turun dari mobil, bersamaan dengan mobil Fajri yang memasuki area parkir. Anna yang muncul pertama kali dan memindahkan tasnya ke dalam mobilku. Sementara Aldi begitu cuek sambil masuk ke dalam mobil. Memang begitu lah si kembarku ini. Mereka memang kembar identik, namun sfat keduanya sungguh berbeda. 

“Aku sudah reservasi, Mbak. Kita tinggal masuk aja.” 

Aku mengangguk, lalu menggandeng tangan Anna dan masuk ke dalam. Rumah makan ini memang sudah ramai sejak dulu, sehingga jika kami ingin makan di sini, maka harus memesan tempat alias reservasi. 

Tak lama kami duduk dan memesan, makanan pun datang. Aldi langsung makan, mungkin ia sangat lapar, mengingat tadi pagi ia hanya makan sedikit. Setelah makanan tandas, Fajri mengajakku untuk duduk di pinggir kolam yang tersedia di depan gazebo. Sebenarnya aku sudah sangat penasaran, apa yang sebenarnya ingin ia katakan? 

“Sebenarnya, aku tahu kalau Mbak Lia datang lagi ke kehidupan kalian kan, Mbak?” 

“Kamu tau dari mana?” tanyaku, karena aku memang belum menceritakan hal ini pada siapapun.

“Aku melihat mereka berdua keluar dari ….”

“Dari mana?”

Kata selanjutnya yang keluar dari  mulut Fajri membuatku terkejut. Bisa-bisanya!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berjuanglah utk anak2 dan harga diri mu. jgn kebanyakan drama. toh menikah juga di jodohkan dan g usah terlalu baper. kasih tau aja mertua mu
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W rasa si aldi udah tau ulah bapaknya makanya sikapnya gitu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status