Share

Pelakor Yang Diundang Suamiku
Pelakor Yang Diundang Suamiku
Penulis: Naomi Ataya

Bab 1

“Aku akan menikah lagi, Van,” ucap Mas Hanif saat kami tengah duduk di ruang keluarga sore ini. Aku terkejut bukan main saat mendengarnya. Tak ada hujan dan badai, tiba-tiba suamiku ngelantur begini?

“Kenapa, Mas?” tanyaku.

Sebenarnya, aku sudah merasakan keanehan yang terjadi pada diri Mas Hanif. Entah sejak kapan, tapi belum lama ini ia jadi sering membawa ponselnya ikut serta ke kamar mandi. Awalnya aku hanya diam, mungkin ia ingin bermain game saat di dalam sana. Namun semakin kuperhatikan, rasanya semakin aneh.

“Mas, kenapa? Apa karena aku sudah tak cantik lagi? Apa karena aku sudah tua, atau karena cinta pertamamu datang?” tanyaku.

“Maksudmu apa, Van?” 

“Sebenarnya aku pernah melihatmu bersama Lia, Mas. Jangan menyangkal, karena aku melihat kalian bergandeng tangan mesra sambil tertawa lebar saat masuk ke dalam mobil,” ucapku tenang.

Mas Hanif terdiam. Entah, mungkin dia tak menyangka jika aku akan begini. Apakah ia mengharapkan aku yang menangis tersedu-sedu? Oh tidak, Mas! Khayalanmu terlalu tinggi jika memang menginginkan hal itu terjadi.

“Lia seorang janda, Van.”

“Lantas? Apa kamu akan menjandakan aku dengan menikahi janda?”

“Siapa yang akan menjandakanmu?”

“Lantas, kamu akan menikahinya, tanpa menceraikanku?” 

Pelan namun pasti, Mas Hanif mengangguk. Sementara aku, bingung hendak bereaksi apa? Hatiku terlalu sakit untuk menerima permintaan tak masuk akalnya itu. Ia ingin berpoligami? Atas alasan apa? Karena ingin menolong janda? Jika memang begitu alasannya, bukan janda seperti Lia yang dimaksud. 

“Jika aku menolak permintaanmu ini?”

“Nggak bisa, pernikahan akan dilakukan dua minggu lagi. Aku dan Lia sudah merencanakan ini semua matang-matang.”

“Lalu gunanya kamu sekarang ngomong kaya gini tuh apa, Mas?” 

Setelahnya aku pergi ke kamar. Sebentar lagi anak-anak pulang dari sekolah. Anak kembarku, Aldi juga Anna. 

“Kenapa kamu masuk ke dalam kamar? Menghindarku?” tanya Mas Hanif setelah menyusulku ke dalam kamar.

“Siapa yang menghindarimu? Anak-anak sebentar lagi pulang, dan aku tak ingin mereka meliat kita yang sedang begini.”

Mas Hanif duduk di kasur, tatapannya lekat padaku. Apa yang ia pikirkan? Sebenarnya aku masih penasaran, jika ia memang ingin menikahi Lia, kenapa ia tak menceraikanku terlebih dulu? Bukankah itu lebih baik lagi untuknya?

“Biarkan anak-anak tahu tentang ini,” ucap Mas Hanif tiba-tiba yang membuatku langsung menoleh.

“Tolong gunakan akal sehatmu, Mas. Jangan karena cinta, lantas bisa membutakanmu seenaknya. Jika anak-anak tahu, bagaimana perasaan mereka? Apa kamu akan menghancurkan perasaan anakmu sendiri?!” teriakku pada akhirnya.

“Van, toh nanti jika aku jadi menikah dengan Lia, ia dan anaknya akan tinggal di sini.”

Aku dibuat terperangah olehnya. Lia dan anaknya akan tinggal di sini? Yang benar saja! Mas Hanif hari ini benar-benar sudah membuatku emosi. Belum juga aku mengizinkannya untuk menikah lagi, ia bahkan sudah berpikir akan mengajak Lia dan anaknya untuk tinggal di sini? Apa ia lupa, bahwa kami memiliki perjanjian kalau rumah ini akan menjadi milik anak kami nantinya?

“Ma?”

Aku tersentak saat mendengar suara Anna di luar. Segera kurapikan pakaian agar ia tak curiga. Aku juga sudah memberi kode pada Mas Hanif untuk tak membicarakan hal ini di hadapan anak-anak. Aku keluar dan mendapati hanya Anna yang berdiri di hadapanku, saat menoleh ke arah lorong yang menuju kamarnya, barulah aku melihat punggung anak lelakiku itu sedang berjalan menuju kamarnya.

“Di, ada Papa di rumah, loh,” ucapku.

“Sudah Anna bilang tadi, Ma, tapi kayaknya Kak Aldi lagi ada masalah di luar. Di jalan juga tadi diam terus,” ucapp Anna.

Berbeda dengan Aldi, anak perempuanku itu tampak antusias menyambut kedatangan papanya. Maklum saja, Mas Hanif jarang bisa pulang sore begini. Ia akan pulang malam, dengan alasan menyelesaikan pekerjaan kantor. Namun kini aku tahu, pekerjaan kantor macam apa yang telah berhasil membuatnya tak memiliki waktu untuk sekedar bersantai dengan anak dan istrinya di rumah.

-

Keesokan harinya, lagi-lagi Mas Hanif pulang lebih awal. Aku terpaksa harus menyambutnya. Jaga-jaga takut Ibu ada di dalam rumah dan melihat ke arah sini, namun langkahku terhenti saat seorang perempuan keluar dari bangku penumpang. Lia, wanita itu bahkan kini berani datang ke rumahku. Lagipula, apa Mas Hanif tak berpikir bahwa Ibu bisa saja melihat mereka? Mengingat rumah kami yang memang bersebelahan.

“Hai, Vania.”

Kutinggalkan mereka, serta tak menghiraukan sapaan Lia. Dia pikir, siapa dirinya? Dia hanya masa lalu yang kini tak akan bisa mengambil suaminya. Ada anak-anak, seharusnya Mas Hanif memikirkan mereka, kan? Akan kubuat anak-anak memihakku dan pernikahan itu tak akan terjadi. Bukan aku tergila-gila pada suamiku, tapi aku hanya memikirkan ibu mertua. Dulu saat Aldi dan Anna masih kecil, ia pernah ketahuan selingkuh. Jadi, ini bukan kali pertama untukku sehingga aku takkan semudah itu untuk menyerah. 

“Van, jangan tak sopan begitu,” ucap Mas Hanif sambil menyusulku masuk ke dalam rumah. Untung saja, hari ini anak-anak sedang ada les sehingga aku tak takut ketahuan. Setidaknya, ini bukan waktu yang tepat.

 

“Tak sopan? Bukankah yang nggak sopan itu dia, Mas? Dia itu tamu yang tak diundang. Baik di rumah ini, maupun di pernikahan kita,” ucapku sinis pada Mas Hanif.

“Maaf, Mbak. Aku permisi pulang saja kalau begitu.”

Aku tersenyum sinis. Dasar basi! Ini hanyalah triknya saja supaya mendapat simpati dari suamiku.;

“Kita baru sampai, setidaknya kamu minum teh dulu,” ucap Mas Hanif sambil mencekal tangan Lia. 

Wanita itu tersenyum, kemudian ikut masuk bersama Mas Hanif ke dalam. Benar-benar wanita manipulatif sekali. Sementara mereka duduk di ruang tamu, aku masuk ke kamar. Semenjak Mas Hanif mengutarakan ingin menikah lagi dengan Lia semalam, membuatku enggan mendekatinya. Aku masih belum memberitahukan hal ini pada mertuaku, entah apa jadinya jika beliau tahu? Yang kutahu, dulu Mas Hanif dan Lia memang tak disetujui hubungannya.

Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Anna. Kuharap ia sungguhan les-nya dan tak segera pulang. 

[Nak, jadi les, kan?]

Pesan terkirim, namun tak kunjung dibaca bahkan setelah sepuluh menit berlalu. 

“Van?” Mas Hanif masuk ke dalam kamar dengan wajah tak enak. Kenapa dia? Ingin memarahiku karena tak menyambut tamu tak diundang itu?

“Apa?” tanyaku.

“Kita harus bicara,” ucap Mas Hanif.

“JIka kamu ingin membicarakan hal yang sama seperti kemarin, maka aku minta maaf, Mas. Ber-angan lah jika kamu ingin menikah dengannya. Namun akan kupastikan hal itu takkan terjadi.”

“Kamu memang benar-benar egois, Van.”

“Aku? Egois? Otakmu masih bisa berpikir waras kan, Mas?”

Mas Hanif hanya melengos kemudian berlalu ke luar lagi. Aku jadi penasaran, apa yang telah dilakukan Lia hingga Mas Hanif berubah seperti ini? Kuputuskan untuk ke depan, sepertinya memang benar. Semua ini takkan berakhir kalau aku tak mengakhirinya. Tentu aku takkan memberikan izin itu.

“Bagaimana, Mas?” 

“Vania tak bersedia ke luar juga. Sepertinya kita salah moment.”

“Lagipula, bukankah kamu sama sekali tak mencintainya? Kamu terpaksa menikahinya karena aku, kan?”

Apa maksud ucapan Lia? Mas Hanif menikahiku karena terpaksa?

-

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ilham Maulana
menarik juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status