Share

Wanita yang Selalu Di Rumah

"Mas pulang jam berapa semalam?"

Satriyo yang baru saja menggeliat bangun langsung mengucek mata saat jemari lembut Manda mengusap pipinya. Lelaki itu menatap sang istri yang juga baru bangun. Dari jauh, sayup-sayup suara adzan terdengar mendayu. Sudah subuh rupanya, pikir Satriyo. Padahal dia baru tertidur beberapa jam saja. Lelah dan penat membuatnya tertidur dengan lelap.

"Hampir jam satu. Banyak kerjaan," jawab Satriyo duduk dan mengusap jemari dingin Manda. Wanita itu meremas telapak tangan kekarnya dan mengecupnya perlahan. Ada kerinduan membuncah dari sorot mata yang semakin lemah itu.

"Maaf, ya, aku sudah tidur."

Satriyo mengusap rambut lembutnya dan tersenyum. "Tak apa. Kamu butuh istirahat."

Satriyo lantas membimbing Manda ke kamar mandi. Dengan telaten dia menunggu sang istri mengambil wudhu. Satriyo hanya khawatir jika air dingin membuat Manda menggigil lantas tak kuat berjalan dan terjatuh seperti beberapa hari lalu.

Sholat subuh dipimpin Satriyo dengan khusyuk. Langit dan Pelangi sesekali menguap di belakang sang papi. Meski begitu, hawa sejuk dan menenangkan seolah menyelimuti hati dan rumah itu.

"Mas mau sarapan apa?" tanya Manda ketika dia menyalami sang suami. Kedua anak mereka sudah kembali ke kamar, belajar atau ... malah tidur.

"Apa aja," jawab Satriyo singkat sembari melipat sajadah. Manda mengerutkan kening. Tidak biasanya Satriyo akan menjawab begjtu. Biasanya lelaki penyuka pedas itu akan memesan sarapan padanya. Nasi goreng, roti isi cokelat, atau hanya segelas sereal. Manda termenung masih dalam balutan mukena.

Satriyo terdiam ketika mendapati Manda hanya diam saja. Dia seolah menyadari sesuatu. Namun lelaki itu cuek saja dan langsung meninggalkan Manda. Tujuannya sekarang adalah teras. Tempat dia menghabiskan waktu dengan gerakan-gerakan kecil hingga melompat-lompat di tempat. Sedikit olahraga tapi rutin akan lebih baik, begitu pikirnya.

"Mas, nasi gorengnya sudah siap. Mau makan sekarang atau mandi dulu?" Manda muncul di pintu dan menatap Satriyo yang terengah-engah setelah berolahraga.

"Aku mandi dulu!"

Tanpa pamit atau sepatah kata pun, Satriyo meninggalkan Manda yang bengong lagi. Wanita itu merasa sikap sang suami berubah. Namun hati kecilnya memaksa untuk tidak berpikir buruk.

Sarapan siap, begitu juga penghuni rumahnya. Langit yang belum mandi dan masih terlihat kusut, serta Pelangi yang sudah siap dengan seragamnya. Sementara sang papi masih berganti pakaian setelah mandi.

"Abang mau nganterin Pelangi nggak?" tanya Pelangi menatap sang kakak yang masih terlihat mengantuk.

"Ehm, boleh."

"Tapi abang belum mandi!"

"Belum mandi aja udah ganteng, kok."

Pelangi cemberut dan melempar secuil kerupuk ke arah sang abang. Pertempuran kecil hampir terjadi andai Satriyo tidak segera muncul. Lelaki itu bergabung dengan kaus pendek dan celana oblong. Matanya fokua menatap ponsel.

"Mas nggak ke kampus?"

"Nggak!" jawab Satriyo tanpa menatap sang penanya. Langit dan Pelangi saling tatap melihat sikap papinya.

Sepanjang sarapan, keempat penghuni rumah saling diam. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu. Satriyo fokus ke layar ponsel sembari menyuap nasi goreng. Sementara Manda sesekali curi pandang ke arah sang suami yang terlihat sibuk. Langit dan Pelangi mencoba tak ambil pusing karena tahu sang papi pasti sibuk mengurus pekerjaannya.

Selepas sarapan, tanpa pamit Satriyo juga langsung meninggalkan meja makan. Meninggalkan anak dan istrinya yang bertanya-tanya. Tidak biasanya papi mereka bersikap begitu. Merasa tak mau ambil pusing, Manda meminta Langit mengantar Pelangi ke sekolah saja. Keduanya lantas berangkat.

"Pi, Pelangi sekolah dulu." Pelangi mengulurkan tangan berniat bersalaman, pamit.

"Ya, hati-hati," jawab Satriyo menerima uluran tangan Pelangi dan mata yang masih fokus pada ponsel. Langit hanya menghela napas panjang.

"Mas sibuk, ya?" tanya Manda duduk di samping sang suami. Satriyo hanya mengangguk.

"Urusan nilai?"

Satriyo mengangguk lagi.

"Masih banyak, ya?"

Satriyo menghela napas panjang dan menatap sang istri. "Kamu nggak mau ngapain gitu? Aku masih ada kerjaan!"

"Ehm, udah beres kok, Mas. Pelangi juga udah nyuci tadi."

"Ya kan biasanya kamu betah sibuk ngapain gitu."

"Ehm, kan memang harus banyak istirahat, Mas."

"Ya terserah lah!"

Manda hanya diam saat Satriyo kemudian berdiri dan meninggalkannya.

"Mas?" panggil Manda membuat Satriyo menghentikan langkah.

"Apa lagi?"

"Mas kenapa?"

"Kan udah kubilang, banyak kerjaan!"

Manda terdiam dan menunduk. Matanya mendadak berkaca-kaca. Semakin mendung saat menyadari jika langkah Satriyo semakin jauh. Terdengar pintu yang dibuka. Satriyo pasti sedang di kamar.

***

[Lagi libur kok BeTe?]

Satriyo tersenyum dan dengan cepat membalas pesan Janice.

[Nggak tau nih, liat Manda di rumah aja, jenuh aku]

[Kan dia emang selalu di rumah, Mas.]

[Iya, sih.]

[Makanya cari istri jangan yang cuma di rumah aja. Kayak aku dong, sibuk kuliah juga bisnis, hehe.]

[Iya, nih. Kamu hebat. Istri siapa, sih?]

Emot tertawa dan love membanjiri kolom chat Satriyo. Lelaki itu kegirangan dan berguling-guling di ranjang. Jantungnya berdebar seolah baru pertama merasakan jatuh cinta pada seseorang.

Saking asyiknya chat dengan Janice, Satriyo tidak menyadari jika Manda sudah berdiri di depan pintu, memperhatikannya. Wanita itu hanya diam dan perlahan keluar dari kamar ketika Satriyo semakin asyik dengan ponselnya.

[Aku kerja dulu, ya.]

Sebaris kalimat yang menjadi pemungkas chat mesra pasangan sejoli itu. Satriyo lantas terdiam dan manyun menelusuri isi chat-nya pagi itu. Dia menghela napas panjang dan meletakkan ponsel di atas bantal. Matanya lantas menerawang jauh. Hingga membentur sebingkai foto pernikahannya dengan Manda. Hatinya mendadak sendu.

"Maafin, Mas, Manda," ucapnya lirih.

Samar terdengar suara mesin penghalus bumbu. Satriyo lantas bangkit dan menuju sumber suara. Dilihatnya Manda tengah mengiris daging dan beberapa bumbu lain sembari menunggu bumbu halus. Satriyo ragu untuk mendekat. Hingga akhirnya Manda yang melihatnya terlebih dahulu. Mereka saling tatap. Namun kemudian Manda melengos. Satriyo tahu, Manda tengah menyembunyikan mata sembabnya.

"Kamu masak apa?" tanya Satriyo memeluk Manda dari belakang. Dia tahu Manda baru saja menangis dan itu pasti karena dia.

"Semur daging, Mas. Mas suka?"

Satriyo hanya mengangguk.

Untuk menebus rasa bersalahnya karena mengabaikan Manda, Satriyo lantas membantu Manda memasak. Canda tawa menghiasi acara masak mereka. Sesekali Satriyo menggoda sang istri, begitu juga sebaliknya. Saat itulah Langit pulang. Dia tersenyum dan merasa sejuk melihat maminya sebahagia itu. Pemuda itu lantas berlalu dan berniat mandi.

Saat menuju kamar, Langit melirik ponsel sang papi yang tengah dicas. Dia mengerutkan kening. Layar ponsel itu menyala, memperlihatkan notifikasi yang masuk. Lima panggilan tak terjawab dan tujuh pesan dari orang yang sama, Damar FISIP. Langit iseng menggeser layar ponsel dan kemudian terdiam ketiak muncul layar berkode.

"Sejak kapan papi mengunci ponselnya?"

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status