Share

Parfum Lavender

"Pi, ada telepon, nih!" Langit mengulurkan ponsel yang masih menyala karena panggilan telepon masuk.

"Dari siapa?" tanya Satriyo mengelap tangan setelah mencucinya. Dia berjalan ke arah Langit.

"Ehm, Damar."

Bola mata Satriyo terbuka lebih lebar. Dengan cepat diambilnya ponsel dari tangan Langit dan segera membawanya pergi. Mendadak jantungnya berdebar hebat. Sesuatu yang dia khawatirkan mungkin saja terjadi.

Sementara Langit hanya menaikkan bahu saat Manda menatapnya seolah bertanya, siapa?

"Kok telpon, sih? Kan Mas bilang nanti aja!" ucap Satriyo pelan dan sedikit berbisik setelah agak menjauh.

"Aku kangen, Mas," jawab suara lembut dan mendayu di seberang sana. Suara yang sukses membuat dada Satriyo semakin berdebar.

"Kamu ngertiin posisi aku, dong!" ucap Satriyo lagi sedikit menekankan suaranya.

"Mas kapan ngerti posisi aku?" Suara lemah Janice membuat Satriyo menghela napas panjang.

Satriyo terdiam. Dia terlihat gelisah dan melirik ke dalam rumah. Dari lorong rumah dia bisa melihat Manda yang masih memasak. Kini tugas membantunya diambil alih oleh Langit yang tidak jadi mandi. Bujangan itu memang sudah biasa mengurus urusan dapur

"Nanti ke sini, ya!"

Satriyo masih diam. Kini matanya lekat menatap Manda yang membelakanginya.

"Aku butuh kamu, Mas!"

Satriyo tetap diam. Dia menggigit bibir.

"Yang kemarin ... kurang, hehe."

Satriyo mengusap wajah. Mendadak momen kebersamaan dengan Janice melintas kembali. Kehangatan, cinta, romantis, dan tentu saja keindahan yang selalu disuguhkan oleh Janice. Satriyo menggeleng, berusaha mengusir pikirannya tentang Janice karena kini dia tengah di rumah, bersama istri dan juga anaknya.

"Telpon dari siapa, Mas?"

Satriyo terperanjat dan salah tingkah saat tiba-tiba Manda muncul di pintu. Di tangannya ada nampan berisi semangkuk soto yang tadi dibuatnya.

"Ehm, anu ... Yanto. Rekan kerja!" jawab Satriyo kelabakan.

"Katanya dari Damar," ucap Manda meletakkan mangkuk di meja dan duduk di kursi sampingnya.

"Eh, iya. Yang tadi Damar."

Satriyo lantas buru-buru mengantungi ponsel yang sudah dimatikan paksa. Manda mengerutkan kening menatap sikap suaminya. Biasanya saat mereka bersama, Satriyo akan meletakkan ponsel di depan mereka. Namun kali ini, Satriyo seolah melindungi ponselnya.

"Aku boleh pinjem ponselnya?" tanya Manda menatap Satriyo yang tengah menyeruput kuah soto. Tak disangka, Satriyo terkejut. Dia bahkan tersedak saking terkejutnya. Manda segera memberikan segelas air padanya.

"Ehm, pedes!" Satriyo mengipas-ngipaskan tangan ke dekat mulut, kepedesan. Manda mengerutkan kening.

"Aku ke dalam, ya, ambil es!"

Belum juga disetujui oleh Manda, Satriyo sudah berlalu dan berjalan terburu-buru memasuki rumah.

Di dalam rumah, Satriyo dengan cepat membuka ponsel dan segera menghapus seluruh riwayat chat dan panggilan telepon pada kontak bernama Damar FISIP.

"Kamu kenapa, Mas?"

Satriyo terkejut lagi. Dadanya berdebar kencang.

"Bisa nggak, sih, nggak usah ngagetin!" bentak Satriyo pada Manda yang langsung terdiam. "Kamu kok kepo banget, ya?"

Dengan wajah sinis dan tidak suka, Satriyo lantas meninggalkan Manda yang masih mematung di samping kulkas.

[Kita ketemu di taman.]

Setelah mengirim pesan tersebut, Satriyo lantas mengganti boxer-nya dengan celana panjang dan mengenakan jaket kulit. Dia lantas meraih kunci mobil dan keluar rumah. Manda yang tengah mencuci piring tak sempat bertanya karena Satriyo pergi dengan buru-buru. Sementara Langit hanya terdiam di kamarnya ketika melihat sang papi keluar dengan buru-buru menggunakan mobilnya. Meninggalkan Manda yang kini semakin teriris hati. Baru saja dia dibentak, hal yang tidak pernah dilakukan oleh Satriyo. Dan kini Satriyo justru pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata pu

***

"Terus kapan Mas ninggalin Mbak Manda?"

Satriyo menghela napas panjang mendengar pertanyaan Janice. Dia baru saja bercerita jika Manda memang sudah tidak menarik lagi. Bahkan sejak dia sering sakit-sakitan. Satriyo merasa jenuh tiap kali melihat sang istri yang kadang hanya bisa terbaring di ranjang, lemah, pucat, dan tak berdaya.

"Nggak segampang itu, Sayang?"

"Kenapa?" tanya Janice merengut.

"Kami menikah sudah lama. Anak-anak kami sudah besar." Satriyo berusaha mencari alasan.

"Lalu? Kita nggak jadi nikah?"

Satriyo terdiam. Diraihnya jemari Janice dan mengecupnya. "Bukan begitu, Sayang, ini keputusan besar dan—"

"Aku mau kita nikah secepatnya!" ucap Janice memotong pernyataan Satriyo. Dia menarik jemarinya dengan cepat dan melengos.

"Ehm, nanti Mas pikirkan, ya."

Merasa pembahasan mengenai rumah tangga Satriyo akan memicu pertengkaran, Janice dan Satriyo lantas memilih untuk berkeliling taman saja. Rona bahagia sebagai sepasang kekasih sangat terlihat. Satriyo melupakan anak istrinya di rumah dan Janice melupakan statusnya sebagai kekasih suami orang.

Sementara itu tak jauh dari mereka, Pelangi tengah menajamkan penglihatannya. Remaja yang baru pulang sekolah itu ragu untuk memanggil seorang lelaki yang dia duga adalah papinya.

"Papi sama siapa, ya?" gumamnya.

Karena sang Abang sudah menjemput, Pelangi urung mendekat. Dia lantas pulang dan melupakan apa yang dia lihat.

"Papi ke mana, Bang?"

"Lagi keluar tadi."

"Ke mana?"

"Ya nggak tahu!"

"Ke taman bukan?"

"Ngapain papi ke taman? Tadi di telpon temen kantor, ke kampus mungkin."

"Oh."

Sementara di rumah, Manda tengah membereskan tas yang dipakai Satriyo saat tidak pulang. Dia mengeluarkan beberapa kemeja kotor dan juga celana panjang. Wanita itu tersenyum ketika mendapati pakaian kotor itu masih berbau wangi. Satriyo tidak pernah berubah, pikirnya. Sang suami selalu menyukai kerapian dan wangi. Lelaki itu bahkan hobi mengoleksi berbagai parfum untuk dikenakan di berbagai momen berbeda.

"Maskulin," gumam Manda menghirup kemeja abu-abu yang baru saja dikeluarkan. Begitu juga celana dan pakaian dalam.

"Eh, kok ...." Manda membolak-balik salah satu kaus pendek berwarna hitam yang dia temukan. Aroma parfumnya sangat berbeda dari baju kotor yang lain.

"Lavender?"

Manda terdiam dengan kaus putih yang masih di tangan. Pikirannya berkelana. Apakah mungkin Satriyo mengenakan parfum yang berbeda dalam satu kali perjalanan? Bukankah Satriyo tidak pernah membeli aroma lavender? Biasanya aroma ini dipakai wanita, kan?

Belum sempat dia menjawab pertanyaannya sendiri, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Satriyo masuk. Mereka saling tatap sebentar. Lelaki itu sedikit terkejut mendapat Manda membuka tasnya.

"Ngapain kamu?" tanya Satriyo pada Manda.

"Ini kok ada aroma Lavender di kaus Mas. Mas punya parfum lavender?"

Satriyo terdiam. Dadanya mendadak berdebar. Dalam hati dia merutuk.

"Itu kan parfum Janice. Aduh!" batinnya.

"Kenapa sih urusan parfum aja kamu ribetin?"

Manda terdiam. Ya, suaminya mungkin benar. Mengapa dia seribet itu mengurusi aroma parfum yang berbeda. Mungkin saja kan Satriyo tengah mencoba parfum saat di toko atau milik temannya?

Namun sebagai seorang wanita yang telah lama menemani Satriyo, Manda tetap curiga. Perasaannya tidak bisa dibohongi. Apalago melihat sikap Satriyo yang mulai berubah akhir-akhir ini. Satriyo tidak lagi hangat dan ramah seperti dulu. Lelaki itu dingin, cuek, dan sedikit kasar. Apalagi dia juga selalu sibuk dengan ponselnya. Entah siapa dan apa yang dia lakukan bersama orang di dalam ponsel itu.

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status