Pelakor Itu Tanteku
Selesai makan siang, Mas Pram keluar dan duduk di kursi panjang yang ada di taman rumah. Sedangkan aku masih sibuk membereskan dan membersihkan meja makan."Fadil, main dulu sana sama Papa! Aku menyuruh Fadil untuk keluar."Ayo, Tante anter kamu ke tempat Papa! ajak Tante Lili pada Fadil.Akhirnya Tante Lili dan Fadil keluar menuju taman tempat Mas Pram duduk. Aku masih tetap sibuk beres-beres dilanjutkan mencuci piring dan gelas yang kotor.Setelah itu aku menyapu lantai ruang makan yang kotor sisa Fadil makan. Tanpa disengaja, aku menoleh ke arah taman di mana ada Mas Pram, Tante Lili dan Fadil di sana.Betapa terkejut dan kagetnya diriku sampai-sampai sapu yang kupegang lepas dari genggaman. Kakiku bergetar hebat, tubuhku terasa lemas. Aku melihat Tante Lili bersandar di bahu Mas Pram dengan tangan yang bermain nakal di wajah Mas Pram.Fadil, anakku yang masih bocah dan polos itu masih tetap asyik bermain mengambil batu-batu kecil dan menatanya. Sedangkan Mas Pram begitu pasrahnya atas sikap Tante Lili.Di depan Fadil mereka melakukan hal seperti itu? Sungguh keterlaluan. Padahal di rumah ini ada aku.Rasa marah dan kecewa berkecamuk di dalam dada. Aku meremas kedua tangan. Mataku basah melihat pemandangan yang begitu menyakitkan.Sejak kapan? Sejak kapan mereka memiliki hubungan terlarang di belakangku.Kuusap air mata dengan kasar dan menghela napas panjang, enggan rasanya melihat semua itu terlalu lamaAku harus mencari tahu sejak kapan dan sudah sejauh mana hubungan terlarang Tante Lili dan Mas Pram.Sengaja berjalan dengan hentakan kaki yang kencang agar mereka tahu kalau aku akan keluar."Fadill, Nak ...," panggilku teriak.Aku keluar dengan sikap biasa. Seolah-olah tidak tahu atas apa yang mereka lakukan barusan. Meskipun dada ini terasa sesak menahan perasaan yang begitu sakit."Sa - sayang," ucap Mas Pram terlihat gelagapan.Sungguh luar biasa. Pintar sekali akting mereka di depanku. Tante Lili yang tadi begitu nakal menggoda Mas Pram, sekarang pura-pura sibuk menemani Fadil bermain.Seandainya tadi aku keluar diam-diam, tidak mungkin mereka bisa akting sebagus ini sekarang. Tetapi semua itu memang kusengaja, karena aku ingin tahu lebih jauh lagi hubungan Tante Lili dan suamiku.Karena kalau aku pergoki mereka sekarang, aku tidak akan tahu hal apa saja yang sudah mereka lakukan selama ini di belakangku.Aku harus bermain cantik untuk menghadapi Tante Lili. Meskipun memang begitu sakit harus berpura-pura bodoh seperti ini."Aku senang, Mas, kamu pulang awal. Fadil jadi bisa bermain lebih lama denganmu," ucapku mendekati Mas Pram.Aku gantian menyandarkan kepala di bahu Mas Pram dan menggenggam erat tangannya. Bukan kehangatan lagi yang aku rasakan, tapi amarah yang begitu kuat dalam diriku.Sesekali aku melihat lirikan Tante Lili ke arah kami.Kenapa, Tan? Cemburu? Tidak ada alasan untuk kamu merasakan cemburu. Mas Pram suamiku, dan dia bukan siapa-siapa kamu.Mas Pram membelai rambutku. Harusnya aku merasa bahagia seperti biasanya. Harusnya aku merasa nyaman dengan belaian ini, tapi semua itu tidak aku rasakan lagi setelah melihat Mas Pram di sentuh oleh perempuan lain, dan itu tanteku sendiri."Mas, malam ini kita keluar, yuk! Kita nonton atau jalan-jalan ke mana. Sekalian makan malam berdua di luar," ajakku sengaja membuat Tante Lili panas."Makan malam berdua? Fadil bagaimana, Sayang?"" Fadil kita titipkan sebentar di rumah orang tuamu, Mas!"Akhirnya Mas Pram setuju denganku. Terlihat sekali wajah Tante Lili yang kesal mendengar obrolanku dengan Mas Pram."Apa ngga kasihan, Fa, kalau Fadil dititipkan di rumah kakek, neneknya? Jarak rumah dari sini ke sana 'kan lumayan jauh," sela tante ikut nimbrung."Ngga begitu jauh juga sih, Tan. Paling tiga puluh lima menit sampai," jawabku."Iya, tapi pulangnya pasti malam 'kan?"Sepertinya Tante Lili memang sengaja mencegah acaraku bersama Mas Pram."Oh ... kalau begitu, Sifa titip Fadil sama Tante saja. Kita ngga lama kok, Tan. Lagian Sifa jarang minta tolong sama Tante 'kan? Fadil anaknya juga ngga nakal kok."Tante Lili terlihat sangat kesal dengan ideku menitipkan Fadil padanya."Bagaimana, Mas, kalau Fadil di rumah sama Tante?"Mas Pram hanya menganggukkan kepala. Pertanda dia setuju."Fadil, nanti di rumah sama Nenek, ya! Jangan nakal sama Nenek! Kalau mau maem, minta Nenek untuk nyuapin," ucapku menahan tawa. Karena Tante Lili paling tidak suka kalau aku menyebut dia dengan sebutan Nenek. Padahal dia memang neneknya Fadil."Sekarang kita ke kamar yuk, Mas. Kita istirahat sebentar."Aku langsung mencuci tangan Fadil dan menggendongnya. Kami masuk ke dalam. Sedangkan Tante Lili tetap duduk di taman sendirian.Sebenarnya untuk berpura-pura seperti ini sangat tidak mudah. Apalagi baru kali ini hatiku sangat terluka selama lima tahun pernikahan. Dan itu karena hubungan terlarang Tante dan suamiku sendiri.BersambungPelakor Itu TantekuSesampainya di kamar, aku langsung menurunkan Fadil dari gendongan dan mendudukkan dia atas kasur bersama papanya.Aku sendiri duduk di kursi meja rias untuk menyisir rambut dan merapikan kunciran. Deg ... tiba-tiba teringat kejadian tadi saat Mas Pram dan Tante Lili di kamar berduaan. Mereka beralasan ada kecoa di kamar ini. Lalu pintu kamar di kunci dari dalam. Sebenarnya apa yang mereka lakukan di kamar ini? Aku merasa ada yang aneh dengan alasan kecoa di dalam kamar. Apalagi mereka terlihat begitu tegang tadi.Bau parfum Mas Pram di baju Tante Lili? Ucapan Tante Lili saat di kamar bersamaku? Berarti semua itu ada hubungannya dengan cinta terlarang antara Mas Pram dan Tante Lili?Sebenarnya aku sudah tidak mampu menahan air mata, tapi tidak mungkin aku menangis di depan Mas Pram. Aku tidak ingin dia curiga dengan apa yang telah aku ketahui tentang hubungannya dengan tanteku sendiri.Aku masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ku tumpahkan air mata tanpa
Pelakor Itu Tanteku"Kenapa lagi, Sayang? Aku lihat dari tadi kamu banyak melamun, seperti ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan. Cerita sama aku!"Aku pasti akan cerita, Mas, tapi bukan sekarang. Nanti kalau aku sudah mendapatkan bukti yang lebih. Aku akan cerita soal pengkhianatan suami bersama tanteku."Mas ... kita batalkan saja, ya, makan di luarnya!""Lho. Bukannya tadi kamu yang pengen kita pergi berdua?"Sebenarnya aku tidak pengen, Mas. Aku hanya ingin membuat Tante Lili panas. Aku hanya ingin tahu sejauh mana dia menaruh hati padamu. "Lain kali saja, Mas."Mas Pram tiba-tiba memelukku begitu erat. Biasanya aku merasa senang saat Mas Pram ingin bermanja denganku. Tetapi setelah aku melihat kejadian di taman tadi, rasanya jijik saat melihat Tante Lili memegang wajah Mas Pram dengan begitu nakal. "Mas, aku mandiin Fadil dulu," alasanku agar bisa menghindari kemanjaan Mas Pram yang lebih lagi.Mas Pram langsung melihat jam yang melingkar di tangannya."Baru jam segini, Sayang.
Pelakor Itu TantekuBuru-buru ganti baju agar bisa segera keluar menyusul Mas Pram. Bahkan sampai tidak sempat mengeringkan dan menyisir rambut yang habis keramas. Aku langsung berjalan dengan begitu cepat mencari Mas Pram dan Fadil. Kulihat mereka sedang duduk di ruang keluarga. Hatiku merasa lega karena tidak melihat Tante Lili.Segera menghampiri Mas Pram dan Fadil di sana. Aku duduk di samping Mas Pram dengan menghembuskan napas kasar.Seketika Mas Pram menoleh ke arahku dengan pandangan aneh. Langsung kurapikan rambut yang terurai dan sedikit berantakan. "Kenapa?" tanyaku membalas balik pandangannya. "Cantik." ucapnya dengan senyum yang begitu menawan."Cantik? Mas Pram ngeledek aku, ya? Orang belum sisiran gini dibilang cantik.""Lha, kenapa tidak di sisir dulu rambutnya?" Mas Pram mengelus rambutku begitu hangat. Dengan sikap Mas Pram yang selalu membuatku terpesona. Rasanya ingin sekali untuk tidak percaya dengan apa yang aku lihat tadi. Tapi ... semua itu nyata, dan aku t
Pelakor Itu TantekuPintu kamar Tante Lili terbuka karena dorongan tanganku."Eh ... ada apa, Fa?" tanya tante membuyarkan keteganganku."Ti - tidak apa-apa, Tan," jawabku sembari melangkahkan kaki ke dalam kamar."Terus?" tanya tante dengan wajah penasaran dan alis yang naik ke atas.Sepertinya Mas Pram tidak ada di sini. Lalu apa yang harus aku katakan pada Tante Lili? "O - oh. Sifa mau minta tolong Tante buat bantuin masak. Iya. Masak," jawabku agak sedikit gugup karena bingung harus berkata apa.Ayo Sifa, relaks!"Oh, ya sudah, nanti Tante bantu. Tante mau mandi dulu." "Mandi? Bukannya tadi Tante sudah mandi, ya? Habis luluran," "Iya, Fa, tapi rambut Tante lengket. Tante mandi dulu, nanti Tante susul ke dapur."Aku keluar dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Mas Pram memang tidak kutemukan di kamar ini, tapi kenapa aku merasa curiga dengan Tante Lili. Aku melangkahkan kaki ke garasi. Ternyata mobil Mas Pram tidak ada. Hah ... aku terlalu cemas dan takut dengan hal yang kuli
Pelakor Itu TantekuAku mencoba mendengarkan obrolan mereka yang samar-samar dan mengintip mereka dari balik tembok. Terlihat Tante Lili memegang tangan Mas Pram. Seketika Mas Pram menarik tangannya dengan kasar.Tante Lili pun langsung memeluk Mas Pram. Saat itu Mas Pram terlihat menolak, tapi Tante Lili terus memeluknya dengan erat. Aku benar-benar sudah tidak tahan melihat hal tersebut. Apa yang aku lihat sudah lebih dari cukup memberi bukti kalau mereka mempunyai hubungan terlarang.Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah. Karena aku sendiri yang ingin membuktikan sejauh mana hubungan mereka. Kulangkahkan kaki dengan cepat dan menarik lengan Tante Lili kasar.PLAKKKK Tamparan itu aku layangkan ke wajah suamiku. Suami yang selalu kubanggakan karena kebaikannya, tanggung jawabnya, dan sikapnya yang selalu membuatku terpesona.Seketika Mas Pram terdiam bak patung. Kutatap matanya tanpa berkedip dengan amarah yang sudah kutahan dari tadi siang. Aku memergoki Mas Pram dan Tante Lili d
Pelakor Itu TantekuAkhirnya aku hanya terdiam. Percuma berontak sekuat apapun untuk melepaskan diri, karena Mas Pram lebih kuat dariku.Aku biarkan Mas Pram tetap memeluk erat diriku. Bukan karena aku terlena dengan pelukannya, Tetapi karena aku tidak bisa melepaskan pelukan Mas Pram. Aku tidak ingin terpesona lagi dengan semua sikap manisnya selama ini. Aku tidak ingin hatiku lemah karena rasa cinta yang begitu dalam pada Mas Pram.Akhirnya Mas Pram sedikit melonggarkan pelukannya. Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya. Dia menatapku begitu dalam. Ingin rasanya kupalingkan wajah, tetapi kedua tangan Mas Pram mengapit pipiku, membuat pandangan tetap tertuju padanya."Sayang. Aku tahu, perbuatanku begitu melukai perasaanmu. Aku minta maaf!"Dadaku begitu sesak mendengar pengakuan Mas Pram atas perbuatannya. Air mataku sudah membendung, aku berusaha untuk tidak mengerdipkan mata. Aku takut air mataku jatuh di depan Mas Pram dan terlihat lemah. Ternyata sekuat apapun menahannya,
Pelakor Itu Tanteku"Kamu mengusirnya atau menyuruh dia tinggal di tempat lain, Mas? Tempat yang sudah kamu sediakan agar lebih mudah untuk bermesraan dan melanjutkan hubungan cinta terlarang kalian.""Kamu kenapa bicara seperti itu, Sayang? Di mana Sifa yang aku kenal? Sifa yang yang selalu bersikap lembut, Sifa yang selalu percaya dengan suaminya."Aku memang sudah berubah, Mas. Dan semua perubahan itu karena kesalahanmu. Seandainya kamu tidak melakukan semua ini, mungkin kamu masih akan merasakan kelembutan dan mendapatkan kepercayaan dari seorang Sifa."Kamu masih ingin mengharapkan kelembutan dariku, Mas? Kamu masih berharap aku akan mempercayaimu seperti dulu lagi? Tidak semudah itu, Mas. Bahkan bisa saja untuk selamanya aku bersikap seperti ini padamu."Aku langsung menggendong Fadil yang masih terpejam. Dan memindahkan dia ke kamarku. Aku langsung mengunci pintu kamar agar Mas Pram tidak mengikuti lagi.Hahh ... kuatkanlah aku menghadapi semua ini. Aku tidak pernah menyangka k
Pelakor Itu TantekuPOV PramSudah beberapa hari aku tidak merasakan kelembutan dari istriku. Bahkan dia mengambil keputusan untuk pisah kamar denganku. Senyum ayu yang selalu membuat hatiku tenang sudah tidak kulihat. Suara lembut yang selalu berbisik manja di telingaku sudah tidak kudengar lagi.Semua itu salahku. Ya. Salahku. Seorang istri yang begitu sempurna telah aku lukai hatinya. Seorang istri yang telah membuatku jatuh cinta karena kesederhanaannya tetapi tetap anggun dan cantik.Sifa. Perempuan yang telah kupilih menjadi teman hidupku. Dan ibu dari anakku, Fadil. Aku telah kehilangan sosok Sifa yang aku kenal dulu. Dan semua itu berawal dari kesalahanku yang tidak bisa menahan rayuan Tante Lili, yang tak lain tantenya Sifa. Rayuan perempuan itu sudah membuatku tidak bisa menahan hasrat sebagai seorang lelaki. Aku menyesal. Tapi penyesanlanku tidak ada gunanya. Tante Lili datang ke rumah kami saat dia mendapatkan panggilan kerja di sebuah perusahaan yang satu Kota dengan