“Lembur?” Pertanyaan itu menyentak Nindi yang tengah berdiri di depan lobi kantor, menghindari gerimis yang datang bersama embusan angin malam.
Pria yang sama seperti yang ditemuinya pagi ini berdiri dengan sebuah senyuman. Wajah ramahnya terlihat jauh lebih tampan. Aroma parfum langsung tercium harum saat ia mendekat.
“Harusnya anak magang nggak perlu ikut lembur,” desah Indra, menatap langit yang masih menaburkan rintik gerimis, yang agaknya tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
“Ah, nggak apa-apa, Pak, justru saat seperti ini saya menjadi merasa melakukan kewajiban saya dengan maksimal.” Contohnya dengan melayani pria itu sebelum ia pulang, dan meninggalkan pria itu karena segudang pekerjaan yang masih menggunung di mejanya
Indra tersenyum tipis.
“Oya, Pak, ini jasnya akan saya cuci dulu. Terima kasih banyak bantuannya pagi tadi.” Nindi menunjukkan goodie bag tempat ia menyimpan jas Indra.
“Lho, itu nggak perlu.”
“Mulai sekarang, sesuaikan semua pengeluaran dengan SOP yang ada. Blokir seluruh ATM atas nama kantor kecuali yang di gunakan oleh divisi masing-masing sebagai dana darurat. Semua uang keluar harus berdasarkan budgeting tahunan per divisi. Di luar itu, harus melalui Permintaan Uang Keluar yang jelas sesuai SOP keuangan perusahaan. Dan pastikan laporan uang keluar harus sesuai dengan penggunaan.” titah Bianca, sambil terus menatap layar komputer di depannya. “Ta…tapi Bu.” Yoshie, sang manager keuangan mendadak tergagap di hadapan atasan barunya. Selama ini, meski perusahaan mereka mempunya SOP dalam mengeluarkan uang perusahaan, tapi SOP itu tidak pernah berlaku untuk Damian dan Dandy. “Kenapa? Ibu takut dipecat Pak Dandy atau Pak Damian?” tebak Bianca tenang. Wajah wanita 49 tahun itu semakin memucat. “Saya sudah lihat data audit dan pencapaian Ibu selama ini. Kinerja Ibu bagus, kenapa saya harus lepas? Dan lagi pula, Ibu lupa seluruh be
Beberapa jam yang lalu.Laksmi duduk gelisah di ruang tamu rumah Dandy dan Bianca. Ia menggenggam erat ponsel di tangannya. Lima menit sekali ia menelepon Dandy yang masih di perjalanan pulang.“KAMU MASIH DI MANA SIH, DAN?”“Aku sudah di jalan, Bu,” jawab Dandy kesal. Ia mengantuk, ia lelah, dan kepalanya sudah hampir pecah karena penat. Ditambah lagi sejak pagi ibunya sudah sibuk menelepon meminta Dandy segera pulang. Andai Dandy tidak harus mengganti pakaian, mungkin ia takkan menemui ibunya sekarang.“DI JALAN MANA? DARI TADI DI JALAN MULU BILANGNYA TAPI NGGAK SAMPAI-SAMPAI!”Arghhh. Dandy memukul kemudinya kesal.“Ini sudah di gerbang!” katanya ketus lalu memutus sambungan telepon.Laksmi langsung berlari ke luar saat mendengar suara mobil putranya. Lalu menyerbu dengan gerombolan pertanyaan yang membuat Dandy semakin geram.“DA
“Apa-apaan ini? Mana mobil saya?!” teriak Dandy kesal saat tidak menemukan mobilnya di parkiran VIP gedung kantor. “SECURITY!” panggil Dandy.Tak lama, seorang pria berseragam keamanan datang menghampiri.“Ada yang bisa dibantu, Pak Dandy?” tanya petugas keamanan gedung Abraham Inc Tower dengan sopan.“MOBIL SAYA HILANG! BR*NGSEK! GIMANA SIH KALIAN KERJANYA?!”Petugas keamanan bernama Tiar itu mengerutkan kening bingung, lalu berbicara kepada seseorang melaluihandy talkydi tangannya. Sejurus kemudian ia kembali menghadap Dandy. “Maaf, Pak, tadi orang-orang dari kantor Bapak yang memindahkan mobilnya,” jelasnya, sesuai informasi yang didapatkan.“JANGAN BERCANDA KAMU! NGGAK ADA LAPORAN APA PUN KE SAYA. MANA MUNGKIN MEREKA BERANI AMBIL MOBIL SAYA TANPA LAPOR DULU?!” teriak Dandy marah. Lagi pula kunci mobil itu ada padanya. “
"Tabrakan beruntun yang melibatkan sebuah tronton dan tiga mobil terjadi di pertigaan Jl. Majapahit, Rabu malam. Akibatnya, tiga orang dilaporkan meninggal dunia dalam peristiwa naas tersebut, dan empat orang lainnya dikabarkan kritis. Kasat Lantas Polresta menjelaskan, peristiwa tersebut bermula saat truk tronton melaju dengan kecepatan cukup tinggi dan mengalami rem blong saat di lampu merah pertigaan, hingga hilang kendali dan menabrak tiga mobil yang berhenti di depannya.” “DANDY!!!!!” BUK! BUK! BUK! “DANDY BANGUN!” Dandy mengerang pelan saat mendnegar suara gebrakan ibunya di depan pintu kamar. “DANDY!!!!! BANGUN!!!” “YA!” jawab Dandy balas berteriak. Ia menyingkap selimut tebalnya, lalu berjalan tanpa alas kaki ke pintu kamar. “Apa sih, Bu, pagi-pagi begini sudah ribut?!” ujar Dandy kesal sambil menguap beberapa kali. “MANA BIANCA?” Argh. Dandy mengera
“Bianca damian peruka.”Petugas polisi itu mengernyit, membaca satu-persatu KTP korban tewas yang sudah ia kumpulkan untuk didata.“Maaf, Pak, tapi tidak ada nama korban itu di sini.”Deg. “Apa?” Indra menatap bingung.“Tidak ada korban atas nama Bianca di sini.” Polisi itu menunjukan empat KTP yang ada di tangannya kepada Indra. “Bapak yakin keluarga Bapak terlibat kecelakaan ini?” tanya polisi itu lagi.Indra sudah memastikan jika mobil yang ringsek itu adalah milik Bianca. Ia hafal betul mobil kesayangan wanita itu. Mobil berwarna merah darah dengan plat seunik kepribadiannya.“Ta… tapi ada mobil dia di sana,” ujar Indra tak mengerti.“Silakan Bapak bisa periksa jasadnya,” ujar petugas polisi itu, memberi jalan tengah saat melihat wajah Indra yang sudah sepucat mayat.Indra men
Rapat Direksi darurat diadakan dua hari kemudian untuk membahas masalah kecelakaan yang menimpa Bianca. Seluruh pemegang saham datang dengan wajah tidak nyaman, kecuali Masaid, yang seakan sudah memperkirakan kejadian seperti ini sebelumnya. “Publik memang belum tau jika saham Bianca akan diberikan ke badan amal jika sesuatu terjadi kepadanya, tapi jika sampai publik tau, jelas harga saham kita akan turun. Sejak keluar berita mengenai kecelakaan Bianca, harga saham kita sudah mulai turun,” jelas Dandy, berdiri di muka ruang rapat, menunjukan grafik di layar. “Untuk mencegah penurunan yang lebih parah, kita harus menunjuk presiden direktur yang baru dan mengumumkannya di acara ulang tahun perusahaan sesuai jadwal yang sudah ditentukan.” “Tapi Bianca masih hidup!” Jeremy menatap tajam sosok Damian. “Keadaannya terus memburuk, Pak Jeremy, dia bahkan masih belum sadarkan diri sampai sekarang,” ujar Dandy. “Kita tidak bisa men
BRUK.Tubuh Tini ambruk di ambang pintu dengan wajah pucat, sedangkan Sandra mematung bagai tiang di sampingnya.Indra dan Bianca saling melempar pandang, sama-sama terkejut.“Apa aku harus pura-pura tiduran sekarang?” bisik Bianca, berbicara kepada Indra yang masih duduk membeku di samping ranjangnya. “Atau sapa mereka?”Tak ada jawaban dari Indra, akhirnya ia memilih yang kedua.“Hai, girls,” sapa Bianca kikuk.Indra menghela napas panjang, lalu bangkit berjalan ke arah kedua pria yang menjaga kamar Bianca.“Kenapa kalian izinkan mereka berdua langsung masuk?!” hardik Indra kepada kedua anak buahnya.Keduanya saling melempar pandang kebingungan. “Tapi Ibu Sandra dan Ibu Tini termasuk ke dalam daftar hijau,” ujar salah satu dari mereka.Indra mendesah panjang, menyematkan tangan di dalam saku celana. Mereka tidak salah, tapi
“Apa-apan ini?” Sheila berdiri di ambang pintu dengan napas terengah. Ia baru saja berlari di sepanjang lorong rumah sakit dengan air mata berderai dramatis, sampai-sampai orang berpikir salah satu kerabat gadis itu pasti sudah meninggal. Setidaknya, itu yang sebelumnya Sheila pikirkan, sampai ia menemukan kakaknya tengah tertawa tanpa rasa sakit sama sekali. Padahal ia hampir saja mati karena khawatir. “Shei? Kenapa kamu ke sini?” Itu bukan pertanyaan yang Sheila harapkan. Andaikan Kakaknya benar-benar sekarat, apakah pertanyaan itu pantas diajukan? “Apa ini salah satu permainan kamu, Bi?” tanya Sheila dengan wajah dingin. Bianca menghela napas panjang. Tidak ada gunanya juga menutupi lebih lama, toh sebentar lagi semua sandriwaranya harus selesai. “Apa cuma aku yang nggak tau soal ini?” tanyanya, melirik Indra yang berdiri di samping ranjang Bianca. “Ka… kami juga baru tau, Shei.”