10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Kamarnya di mana, Pak?”Pria paruh baya berambut putih itu menunjuk lantai dua kamar indekosnya. Ia melirik dua orang pria bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam di belakang wanita itu, dan dua orang wanita yang sudah siap dengan ponsel mereka.Malam masih begitu tinggi, ia terpaksa mengikuti langkah orang-orang asing yang datang ke rumahnya ketika ia tertidur pulas.“Tolong jangan buat keributan,” ujar Warsono, ketua RT di tempat itu yang langsung dihubungi oleh pemilik indekos.“Pak, kami bukan mau buat keributan, kami mau cek kebenaran apa suami teman kami selingkuh sama salah satu anak kosan Bapak ini. Lagian Bapak masa kos-kosan khusus putri bebas bawa cowok nginep,” ujar Tini, salah satu dari tiga wanita yang datang malam itu.“Kalau ternyata kami salah, kami akan bertanggung jawab. Kami akan ganti rugi semua kerusakan yang ada, dan kalau perlu, kami juga akan bayar kosan ini satu tahun penu
“Kamu serius mau ceraikan perempuan itu demi aku, Mas?” Suara itu terdengar cemas dan senang di saat bersamaan. Ia memeluk manja punggung pria yang tengah memakai kembali kemejanya.“Sayang, aku belum bisa ceraikan Bian sekarang. Tapi, gugatan cerai ini akan buat dia takut setengah mati. Kamu tau sendiri dia itu nggak bisa apa-apa tanpa aku. Selama ini ayah mertuaku cuma percaya sama aku buat handle semua kerjaan penting di kantor. Dia nggak bisa apa-apa, Sayang. Gugatan cerai ini akan buat dia sadar sama posisi dan kemampuannya, dan nanti, dia pasti akan ngemis-ngemis buat minta aku batalin gugatan ini.” Dandy berbali, memeluk mesra gadis itu.“Tapi kalau sampai ayah mertuamu tau hubungan kita gimana, Mas?”“Kamu tenang aja, Sayang. Walaupun tau, dia nggak akan peduli. Baginya uang itu yang paling penting, dan lagi pula, selama ini dia juga punya banyak simpanan. Makanya, selama keadaan finansial perusaha
2 Bulan Sebelumnya.BRAK! BRAK! BRAK!“BI! BUKA!” Tini berteriak panik di depan kamar Bianca. Ia melirik Sandra yang juga berwajah serius.“Sudah berapa lama Bianca di dalam?” tanya Sanda kepada Lia, asisten rumah tangga Bianca yang kini tampak pucat pasi. Ia meremas lap di tangannya, gemetar ketakutan.“Se… sekitar dua jam…,” ujar Lia gugup. Ia berusaha mengingat-ngingat kembali untaian kejadian sebelum majikannya membanting pintu kamar, lalu mengunci diri dan belum keluar lagi setelah itu.BRAK! BRAK! BRAK!“BIANCA, BUKA PINTUNYA!”Lagi-lagi Tini menggebrak pintu kamar Bianca yang masih tertutup rapat. Kedua tangannya sudah mulai memerah karena terlalu keras memukul pintu itu.Setelah menerima telepon panik dari Lia satu jam yang lalu, keduanya langsung bergegas berangkat ke rumah Bianca. Wanita itu sangat panik, ia menelepon sambil menangis, mengatak
“BIANCA!”Teriakan itu bergema marah. Dandy hartono, sang menantu yang digadang-gadang akan menggantikan mertuanya untuk menjadi direktur, datang dengan murka.Ia baru saja melihat video yang tengah viral di sosial media, dan sialnya, dia tau betul siapa yang berada di dalam video itu meski wajahnya disamarkan.“BIANCA!”Bianca muncul di anak tangga teratas.“Mas, akhirnya kamu pulang.” Bianca tidak bisa menahan air matanya saat melihat pria itu. Ia berlari menuruni tangga, lalu melompat ke dalam pelukan Dandy. “Akhirnya kamu pulang, Mas. Aku kangen kamu.”Namun, dengan kasar pria itu mendorong tubuh istrinya menjauh.“Mas?”“DIAM! KAMU KAN YANG SUDAH SEBAR VIDEO SEMALAM?! KAMU GILA, HAH?!” bentak Dandy geram. Ia mencengkram lengan istrinya, membuat lengan putih Bianca memerah seketika.“Video apa, Mas?” tanya Bianca dengan mata basah.