Suasana di kamar hotel terasa canggung. Keluarga Raharja sengaja memesan kamar untuk pasangan yang resmi menikah hari itu. Chika saat ini sedang di bantu oleh Niko melepas berbagai pernak pernik yang tertempel di kepalanya. Selepas acara selesai Chika mengajak Niko buru-buru ke kamar karena ingin cepat beristirahat.
Bukan kenyamanan yang di dapat namun justru rasa sakit yang Chika rasakan ketika sampai di kamar hotel. Chika yang sudah mendambakan tidur di atas ranjang itu, tidak menyadari jika riasan di tubuhnya belum terlepas dan terhapus. Dengan senangnya, Chika menidurkan badannya di atas ranjang empuk tersebut.
Alhasil, rasa sakit di kepala karena sanggul dan mahkota saling terbentur. Niko yang melihat kelakuan Chika, hanya menatap sesaat lalu menghampiri Chika.
“Apa sakit?” tanya Niko yang melihat Chika merasakan ngilu di kepalanya.
“Hiks,” Chika mengangguk dan mengusap kepalanya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya.
“Kamu duduklah, saya bantu melepaskan mahkota itu,” perintah Niko yang nada biacaranya tidak mau di bantah.
“Meskipun raut wajahnya tidak mengenakan, namun laki-laki ini bisa juga perhatian padaku,” batin Chika mengghibah suaminya lalu berjalan menuju kursi tak jauh dari tempat tidurnya.
Satu persatu pernak pernik di kepala Chika, Niko lepas. Dengan telaten dan lembut melepaskannya, membuat Chika sedikit salah tingkah. Chika melihat gerak gerik Niko dari pantulan kaca di depannya. Di lihatnya wajah dan badan atletis Niko.
Wajah tampan itu terlihat tidak membosankan untuk Chika. Alis tebal dengan rahang tegas dan warna bibir yang merah. Tak lupa badannya yang atletis dan badan yang tinggi, membuat Niko semakin sempurna di matanya. Ciri-ciri pria idaman untuk kalangan wanita di luar sana, batin Chika.
“Ehmm. Apa yang kamu lihat?” suara berat itu menyadarkan lamunan Chika dan seketika membuatnya gelagapan.
“Tidak,” Chika berusaha mungkin bersikap tenang agar Niko tidak curiga padanya.
“Mahkota yang ada di kepala kamu sudah terlepas. Sembari kamu menghapus make up, saya mandi dulu,” ucapnya berlalu tanpa menunggu persetujuan Chika.
“Sepertinya dia sangat paham dengan wanita,” lirih Chika yang heran dengan pengetahuan Niko padanya.
“Mungkin karena dia sudah pernah menikah,” tambahnya lagi lalu menghapus wajahnya dengan kapas yang sudah di beri cairan pembersih.
Make up yang memang tebal, Chika membutuhkan beberapa lembar kapas untuk membersihkan wajahnya. Untuk menghilangkan rasa sepi dan bosan, Chika menyalakan TV. Chika beberapa kali memindah chanel TV dengan wajah yang masih ada sisa-sisa make up. Chanel TV yang tidak menarik bagi Chika, akhirnya ia menonton TV dengan chanel yang seadanya. Sebetulnya bukan Chika yang menonton TV, hanya saja TV yang menontonnya.
Lima belas menit berlalu, Niko keluar dari kamar mandi. Mandi membuat badannya lebih segar dan rasa lelahnya sedikit terobati.
“Saya sudah selesai mandi,” ucap Niko lalu berjalan untuk mengambil bajunya yang masih berada di koper.
“Iya,” balas Chika singkat sambil memalingkan wajahnya untuk melihat Niko.
“Astaga ya Allah,” teriak Chika dengan kedua tangannya yang menutupi wajahnya.
“Kenapa?” Niko bertanya sambil menengok ke kanan, kiri, atas dan bawah untuk memastikan apakah ada yang salah pada dirinya.
“Bisakah kamu membalut tubuh kamu Mas? Sungguh itu aurat yang sudah menodai mataku,” pekik Chika yang masih menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Tidak ada balasan dari Niko. Namun beberapa detik kemudian, Niko bertawa terbahak-bahak melihat sikap Chika yang lucu baginya.
“Saya tidak menyangka kamu sepolos ini. Asal kamu tahu, kalaupun kamu melihat seluruh tubuh saya, mata kamu sudah halal melihatnya,” balas Niko yang kembali tertawa sambil memegang perutnya.
Chika mengaga mendengar pernyataan Niko. Dengan sadar, Chika baru ingat jika ia dan Niko sudah resmi menjadi suami istri. Perlahan tangan yang menutupi wajahnya ia buka dan melihat Niko yang bahagia menertawakan dirinya.
“Ternyata kamu bisa tertawa Mas,” ungkap Chika menatap Niko heran.
Spontan ungkapan Chika membuat Niko menghentikan tertawanya lalu kembali ke mode juteknya. Ia lantas fokus mencari bajunya di koper dan tidak menghiraukan pertanyaan Chika.
“Lanjutkan saja tertawa kamu Mas. Tidak perlu sungkan pada saya,” Chika mencoba menggoda Niko yang nampak salah tingkah karena perkataannya.
“Tidak. Lebih baik kamu mandi, wajah kamu jelek sekali,” sahut Niko tanpa melihat ke arah Chika karena masih salah tingkah.
“Benarkah?” sahut Chika melotot lalu berlari ke kamar mandi.
Niko tersenyum manis melihat tingkah Chika. Sepertinya hari-harinya akan lebih ceria dengan kehadiran Chika.
Chika saat ini diam dengan waspada. Setelah ia keluar dari kamar mandi, Niko terus menatapnya tanpa berkedip. Matanya mengunci pergerakan Chika. Di lihatnya Chika dari atas hingga bawah. Perlahan kaki Niko berjalan menuju Chika yang berdiri di depan kamar mandi dengan sehelai handuknya. Bodohnya Chika yang tidak membawa pakaian ganti ke kamar mandi.Laki-laki normal memang, yang melihat badan Chika akan tergoyah imannya. Kulit putih mulus di tambah badan yang berisinya. Tidak munafik, Niko ingin mendekap badan Chika saat itu juga.“Mas mau apa? Jangan mcam-macam ya,” waspada Chika sambil melangkahkan kakinya mundur karena Niko semakin dekat dengannya.“Memangnya saya mau ngapain kamu?” mimik wajah Niko yang serius dengan terangkatnya alis kirinya, membuat Chika semakin waspada. Chika belum siap jika harus melayani Niko malam itu juga.“Jangan berani sentuh saya Mas. Liha
Sudah satu jam lamanya Davan berada di ruang operasi. Terlihat Niko sangat gelisah, jalannya selalu mondar mandir. Sering kali Niko melihat ruang operasi tersebut melalui pintu yang terdapat kaca tembus pandang untuk mengetahui situasi di dalam. Chika memaklumi kekhawatiran Niko pada putranya, namun ia sedikit terganggu dengan sikap Niko. “Mas lebih baik duduk. Kita doakan yang terbaik untuk Davan,” Chika memberanikan diri mengutarakan pendapatnya. Tidak ada bantahan dari Niko saat itu. Wajah pasrahnya menurut dengan perintah Chika. Niko menduduknya dirinya di samping Chika. Di letakkan kepalanya di bahu Chika. Chika terkejut dengan tindakan Niko, matanya melotot karena tidak siap. Perlahan, Chika mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Niko, ia berharap dengan usapan tangannya, Niko sedikit membuatnya tenang. “Terus berdoa Mas untuk kelancaran operasi Davan,” ucap Chika yang masih mengusap kepala
Siang itu Chika sedang berada di mushola rumah sakit untuk menunaikan ibadah. Sebelumnya, Niko terlebih dahulu melakukan ibadah. Mereka sepakat untuk bergantian karena khawatir jika Davan siuman tidak ada orang yang berada di sisinya. Setelah kewajiban telah di laksanakan, Chika segera kembali ke ruang inap. Chika berjalan dengan santai sambil melihat keadaan rumah sakit tersebut. Terpantau banyak orang berlalu lalang meninggalkan ataupun berdatangan ke rumah sakit. Mungkin karena siang itu adalah waktu jam besuk sehingga banyak orang yang ingin menjenguk orang terdekat mereka. Sesampainya di ruang inap, Chika membuka pintu. Langkah kakinya terhenti ketika di lihatnya seorang wanita berambut pendek sedang asik bercanda dengan Davan. Tidak lupa pria yang berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum melihat kelucuan mereka. Pemandangan indah bak keluarga yang bahagia di mata Chika. Dada Chika terasa perih melihat keakra
Saat ini Niko dan Chika sedang berjalan bersama. Pandangan Chika selalu tertuju pada tangannya yang selalu di gandeng oleh Niko. Niko melakukan itu dengan alasan agar Chika tidak kabur dan berjalan lebih cepat. Niko menebak jika Davan urung uringan karena mereka tidak kunjung kembali. “Tante, mama sama papa kenapa belum kembali. Apa mereka meninggalkan Davan sendiri di sini,” ucap Davan sambil menangis ketika Chika masuk ke dalam ruang inap Davan. Tidak tega dengan wajah sembab Davan, Chika mengampiri Davan. “Davan,” ucap Chika lembut. “Mama,” teriak girang Davan melihat Chika telah kembali. Davan mengubah posisinya karena mencoba meraih Chika dalam pelukannya. “Davan tetap di tempat. Davan tidak boleh banyak bergerak karena baru saja operasi,” ujar Chika ngeri melihat Davan yang sudah mulai aktif. Chika khawatir jaitan pasca operasi bisa saja sobek. “Davan kangen mama,
Matahari sudah berganti dengan bulan. Saat itu Chika masih setia menjaga anak sambungnya. Anak sambungnya itu termasuk anak yang cerewet. Banyak pertanyaan yang ia tanyakan pada Chika. Pertanyaan yang termasuk kritis namun untungnya Chika mampu menjawab. Chika terbilang ahli dalam menghadapi anak kecil karena terbiasa menemani ponakannya. Berbicara tentang keponakannya, Chika jadi rindu dengan Galen. Usia Galen tidak jauh berbeda dengan Davan. Galen menjadi ponakan yang bermanfaat bagi Chika. Galen selalu menemaninya ketika hatinya di landa rasa perih dalam menghadapi kepahitan percintaan. Bukan hanya masalah percintaan namun juga masalah lain yang membuat pikirannya pening. Wajah ceria Galen mampu mengalihkan sementara masalahnya. Betapa Chika menyayangi ponakannya itu. Suatu hari nanti, Galen harus bertemu dengan Davan. Situasi di ruangan itu nampak sunyi, hanya ada Chika dan Davan. Belum lama ini Davan kembali tertidur setelah dirinya lelah dengan beribu pertanyaan. Pertanyaan yan
“Apakah selama saya tidak menjaga Davan, kamu pergi kelayapan?” tuduh Niko dengan wajah yang menunjukkan ketidaksukaan dengan sikap Chika. Mendengar pernyataan Niko pada dirinya membuat emosi Chika meninggi. Nafas Chika memburu. Hatinya Chika meradang saat itu. Sekujur tubuhnya mengeluarkan energi panas. Otaknya mendidih ketika tuduhan tidak benar itu mengarah padanya. “Asal anda tahu, saya manusia biasa yang butuh asupan makan. Kalau pun anda memikirkan dan menyediakan makan untuk saya, mungkin saya tidak akan keluar ruangan saat ini. Seharusnya pertanyaan itu untuk anda, mengapa anda kelayapan dari siang sampai larut malam. Apakah anda tidak memikirkan putra anda. Ah, saya pikir anda lebih mengkhawatirkan teman seprofesi anda itu!” balas Chika dengan mata melotot. Jawaban pedas Chika saat itu membuat Niko terkejut. Tutur katanya menunjukkan jika Chika tidak terima dengan tuduhannya. Niko heran mengapa Chika justru lebih galak di bandin
Suara alarm di ponsel membangunkan Chika dari tidurnya. Matanya yang masih terpejam mencoba mengambil ponselnya dengan meraba. Setelah ponselnya berada di tangannya, Chika membuka matanya lalu mematikan alarm itu. Chika mendudukkan dirinya untuk mengumpulkan setengah nyawanya.“Kamu sudah bangun?” tanya Niko yang muncul dari kamar mandi.“Iya Mas,” balas Chika dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.“Hari ini saya mulai kerja. Tolong bantu saya untuk menjaga Davan,” balas Niko sambil merapikan baju dinas lorengnya.Mendengar apa yang di ucapkan oleh Niko, Chika mengengadahkan kepalanya untuk melihat suaminya itu. Suaminya sudah terlihat rapi dan siap untuk berangkat kerja. Sangat cepat Niko berangkat kerja, suaminya hanya meliburkan diri beberapa hari saja. Mungkin memang resiko seorang Abdi Negara yang tidak bisa seenaknya mengambil cuti pikir Chika.&nb
Tak terasa empat hari telah berlalu. Hari itu Davan sudah di perbolehkan kembali ke rumah. Namun Dokter memberi pesan jika Davan masih harus menjalani pemeriksaan rutin setiap satu minggu sekali untuk mengetahui perkembangan ginjalnya. Perasaan senang pun Davan tunjukkan dengan wajah bahagia dan bicaranya yang tiada henti. Perasaan bahagia itu tidak hanya di rasakan oleh Davan, namun juga di rasakan oleh Niko maupun Chika. “Tidur nanti malam Davan ingin di temani oleh Mama,” wajah cerita Davan terus ia tunjukkan. Davan ingin sekali tidur bersama mamanya untuk pertama kali. “Tidak Davan. Davan harus tidur sendiri, kamu anak laki-laki yang sudah besar,” sahut Niko yang tidak mengizinkan jika Davan tidur bersama Chika. Bulu kuduk Chika merinding ketika Niko tidak memperbolehkan Davan tidur bersamanya. Itu bearti Chika ia harus tidur kembali bersama Niko. Pasangan pengantin baru identik dengan malam pertama dan mereka