Share

5-Canggung

Cinta sama seperti keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman.

•••

Keesokan harinya...

Mata Mery perlahan membuka, cahaya dari gorden yang disingkap membuat cewek itu silau, kepalanya masih pening, mungkin efek alkohol malam tadi yang belum hilang.

Beralih ke mata cewek itu yang terlihat bengkak efek menangis semalaman. Ia tidak bisa tidur nyenyak, sesekali meracaukan nama Arga lalu menangis sesegukan.

Ingatannya pun masih belum penuh, Mery hanya ingat ketika Arga mencium bibirnya, lalu membawanya ke mobil, setelah itu... ia tidak ingat apa-apa lagi.

Rasanya sakit jika harus mengingat semua, tak mau ambil pusing, Mery bersandar pada sandaran kasur. Ia mengernyit, tatkala menemukan orang yang menyingkap gorden itu yang ternyata-Marina-bundanya.

"Bun-bunda?" tanya Mery, Bundanya yang memakai cardigan abu itu tersenyum. Bagi Mery, setua apa pun bundanya, bahkan hampir menginjak umur 38 tahun wanita paruhbaya itu semakin cantik, meski dengan rambut yang digulung.

"Udah nangisnya?" Marina mendekat, duduk di samping Mery, lalu mengusap lembut rambut cewek itu.

Mery menunduk, matanya seketika perih. Dadanya seolah tertusuk ribuan jarum.

"Bunda sejak kapan ada di sini?" tanya Mery.

"Sejak pacar kamu nelpon, Bunda udah tau masalah kalian," jawab Marina, ia memeluk Mery. "Kamu nggak sadar ini kamar siapa?"

Mery mengernyit, ia mengedar pandang, mulutnya menganga menyadari di kamar siapa ia sekarang, Arga.

"Kamar Arga, Bunda kenapa nggak bawa aku pulang? Aku nggak mau di sini, aku mau pulang, Bunda. Arga jahat! Dia nggak sayang lagi sama aku," rengek Mery. Tatapannya berubah sendu.

"Sayang, Arga itu nggak jahat, dia cuma mau kamu ngerti keadaan dia, Arga bentak karena nggak bisa mengontrol emosi. Wajarlah kalian remaja, masih labil, tapi satu yang harus kamu ingat, kalau Arga itu sayang banget sama kamu, dia nggak mau kehilangan kamu."

"Kok Bunda malah belain Arga, sih?"

"Bunda bukan belain Mery, bunda hanya meluruskan apa yang sebenarnya pengen pacar kamu katakan. Kalian hanya salah paham." Marina membawa kepala Mery bersandar di bahunya, mengusapnya penuh kasih sayang. "Kadang, kita juga harus ngerti keadaan orang yang kita sayang, kita nggak harus maksa buat orang itu ngerti keadaan kita. Kamu masih ingat, kan kata Arga kalau cinta itu nggak bisa dipaksakan?"

Mery mengangguk, bagaimana bisa ia lupa hal itu, Argalah yang membuatnya mengerti keadaan Marina dan Riko.

"Nah, cinta itu sama kayak keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman."

"Mery nggak ngerti, Bun."

Marina menghela napas, ia harus mencari cara lain agar Mery mengerti. Hubungan Mery dan Arga memang sangat rentan, keduanya sama-sama egois. Yang satu sulit mengontrol emosi, sementara satunya selalu mengambil keputusan tanpa berpikir dua kali.

Marina menatap lekat mata Mery. "Begini, coba pikir apa kesalahan kamu sampai Arga berani ngebentak?"

Mery menunduk, sambil menggigit bibir, sakit rasanya harus mengingat itu lagi.

"Mery loncat-loncat di kasur sambil teriak-teriak, padahal Arga lagi fokus ngerjain soal."

"Terus?"

"Yaa terus Arganya marah, bentak aku. Aku kan mau ngasih tau aku bisa nyelesain soalnya, Bunda. Nggak ada niat ganggu Arga."

"Dengan cara lain kan bisa, kamu nggak harus teriak sampai loncat-loncat. Toh, Arga udah bilang kamu harus tenang terus kasih kertasnya kalau udah selesai. Jadi, siapa yang salah?"

Mery mengetukkan kedua jari telunjuknya, persis seperti anak kecil yang ketahuan ngompol. Cewek itu tidak bersuara, sampai akhirnya ia sadar jika ...

"Aku. Aku yang salah."

"Pinter. Kita nggak harus gengsi mengakui kesalahan, selagi kita jujur, respect orang itu akan semakin tinggi," jelas Bundanya.

"Nggak mau ah, Arga juga tetep salah, dia tetap nyakitin hati aku. Pokoknya Arga udah jahat!"

"Masa? Malam tadi aja dia rela tidur di kamar sebelah yang penuh debu. Sampai batuk-batuk, jam sebelas baru bisa tidur, padahal ada satu kamar bersih lagi yang kosong. Eh, dia malah nyuruh bunda aja yang tidur di sana. Itu yang namanya jahat?"

Mery melongo, dia merinding memikirkan Arga membersihkan kamar besar yang penuh debu itu sendirian. Pasti rasanya sesak napas, plus kotor.

"Masa sih, Bunda? Aku-"

Uhk. Uhk.

Suara batuk dari ambang pintu membuat keduanya menoleh, Arga yang sudah memakai seragam SMA-nya menatap Marina sambil tersenyum tipis. Lingkaran hitam tampak jelas di bawah mata cowok itu.

"Tante buruan ajak Mery mandi terus sarapan sama-sama, takutnya telat," ucap Arga, setelah mendapat anggukan dari Marina cowok itu pergi begitu saja.

"Tuh, masih batuk-batuk, nggak kasihan? Dari situ keliatan dia sayang kamu," celetuk Marina.

Batin Mery mendadak merasa bersalah.

Jadi, aku harus minta maaf gitu?

★★★

Pagi ini meja makan diisi dengan empat orang, Anggie tampak sibuk menyiapkan piring, Marina yang baru saja turun dari lantai atas langsung menuju dapur. Sementara Mery dan Arga duduk berseberangan, tidak ada yang berani membuka obrolan.

Arga berusaha sibuk bermain ponsel, meski batinnya terus mengumpat ingin berbicara dengan Mery. Hari ini cewek itu terlihat murung, tidak ada sapaan atau 'Hai pacar' seperti biasanya.

Sedangkan Mery, dia tidak melakukan apa pun, sesekali melirik Arga, lalu tersenyum ketika Anggie meletakkan piring di hadapannya. Suasana canggung ini kembali terulang saat Anggie kembali ke dapur lagi. Namun, suara dari arah tangga menghilangkan kecanggungan antara mereka.

"Pagi semuaa," Marina menyapa sambil merapikan kemeja blusnya.

"Pagi, Na. Duduk dulu, kita sarapan sama-sama." Anggie mendekat dengan tiga gelas susu di nampan, setelah meletakkan susunya, Anggie menghampiri Marina. Mereka cipika-cipiki.

"Aku udah telat nih, Nggie. Roti aja ya," jawab Marina, ia menghampiri Mery dan mencium puncak kepala putrinya hal yang sama ia lakukan pada Arga.

Anggie tersenyum dan mengangguk, Marina langsung mengambil duduk di samping Mery.

"Bunda mau ke butik lagi? Kita nggak jadi liburan sama Papa, dong," tanya Mery.

"Jadi kok sayang, kamu kan masih ujian. Belajar dulu yang bener baru kita liburan. Bunda juga masih banyak klien yang harus dilayani."

"Sama Papa, kan?"

Marina tercekat, tangannya yang sibuk mencari sesuatu di tasnya seketika terhenti. Ia menghela napas, mencari jawaban yang tidak menyakiti hati Mery. Marina tersenyum canggung.

"Iya," jawab Marina. "Kalau Papa kamu nggak sibuk."

Bahu Mery merosot kecewa. "Bun."

"Oh ya, Nggie, Davina sama Suami kamu mana?" Anggie bertanya, cara klise yang Mery ketahui, jika Marina hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

"Udah berangkat duluan, suamiku ada kerjaan penting, terus Davina ada tugas kuliah pagi," jawab Anggie, dia mendekat bersama beberapa lembar roti dalam satu piring.

"Nih, rotinya dimakan dulu." Anggie duduk di samping Arga. "Ga, ponselnya disimpan."

Arga yang merasa lengannya disikut segera menyimpan ponsel, setelahnya keempat orang itu sibuk dengan aktivitas sarapan. Canggung itu terulang lagi, saat Mery dan Arga secara bersamaan mengambil toples selai coklatnya.

"Ka-kamu aja duluan," putus Mery canggung, jantungnya berdegup tidak karuan.

"Enggak kamu aja," sahut Arga.

"Aku bisa nunggu, kok." Mery tidak mau kalah. Mendorong toples itu mendekati piring Arga.

Melihat tingkah kedua remaja itu Marina mendesah pendek. Ia berdecak. "Duh, kalau gini Bunda aja yang duluan." Lalu, Marina mengoleskan selai pada rotinya. Anggie terkekeh. Mery dan Arga sama-sama menunduk malu.

"Sini piring kalian."

Mery dan Arga menyerahkan piringnya bergantian, usai mengoleskan selai di piring kedua remaja itu Marina menyerahkannya lagi.

"Makasih," ucap Arga dan Mery bersamaan. Lagi, kedua remaja itu saling melirik canggung. Mery meremas roknya gugup. Hati Arga berdesir aneh, ia mengalihkan pandangan dari Mery.

"Emm, oke, Bunda berangkat dulu, kalian makan yang banyak, belajar yang rajin."

Bangkit dari duduknya, Marina mencium pipi Arga dan Mery bergantian, lalu cipika-cipiki lagi dengan Anggie.

"Titip Mery ya, Nggie. Aku percaya sama anak kamu."

"Iya."

"Tapi Mery mau berangkat sama, Bunda. Mery ikut, Bun," potong Mery, menghampiri Marina.

Marina lantas menoleh lalu mengusap bahu anaknya. "Bunda sibuk sayang, lain kali ya. Bunda janji kok, dahh."

Setelah mengatakan itu Marina pergi begitu saja, hati Mery berkecamuk, kecewa, pedih dan sakit menjadi satu, ia hendak mengejar, namun tangannya ditahan oleh cowok jangkung dari belakang.

Iris coklat itu menatapnya sendu sekaligus prihatin. Disekanya air mata Mery dengan ibu jari, lalu menariknya dalam satu pelukan menenangkan.

"Jangan nangis, Ry. Kamu harus ngertiin Bunda."

Usapan lembut terasa di bahu Mery, cewek itu menarik satu sudut bibirnya. "Maaf."

"Lupain, makan lagi, yuk!"

Mery mengangguk, mereka pun kembali ke meja makan, kali ini Arga dan Mery duduk bersebelahan. Arga tidak sanggup jika melihat Mery disakiti berkali-kali, ia tidak mau jika Mery kehilangan semangat hidupnya lagi, walau dirinya adalah satu dari orang yang sering menyakiti Mery.

Setidaknya, keberadaan dia dan keluarganya bisa menjadi pengganti sosok keluarga Mery.

Arga menyodorkan satu roti ke mulut Mery. "Aaa... biar aku suapin."

Mery pun menerima suapan cowok itu, bersama pipinya yang memerah tomat. "Maawhih." (Makasih)

"Makan dulu, makasihnya entar." Arga mengacak gemas rambut Mery.

"Ciee yang udah baikan," goda Anggie.

Keduanya pun tersenyum malu-malu, mulai sekarang Arga berjanji harus bisa mengontrol diri.

Akan tetapi, sanggupkah ia menepati janji, kalau hubungan mereka terasa makin sulit dijalani?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status