Share

7-Detak

Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.

Arga Adyasta—

•••

Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.

Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.

Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa perutnya yang kotak-kotak. Mery masih ingat saat ia menginap di rumah Arga, ah ralat, tepatnya saat mereka berebut kamar mandi.

Perut Arga memiliki enam kotak yang membuatnya terlihat sangat seksi, alis  tebal, dada yang bidang, bahu yang lebar, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tebal yang terlalu kissable.

Umm, dih, kok gue jadi mikirin itu, sih? batin Mery, mengenyahkan khayalan mesumnya. Ia menyisir rambut dengan jari salah tingkah. Dilihatnya Arga, cowok itu sudah duduk anteng di sebuah kursi kayu panjang berwarna coklat. Cowok itu menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Mau sampai kapan di situ? Cepetan makan, sebentar lagi belnya bunyi." Arga berujar seraya melirik sekilas Mery.

Mery menghela napas, tuh kan, berubah, sedetik seperti itu, detik selanjutnya pasti berbeda. Malas berdebat, Mery akhirnya duduk di sebelah Arga, sedikit mengambil jarak. Dengan kedua tangan terulur mengambil baksonya, Arga malah memundurkan bakso itu hingga Mery mengernyit tidak suka.

"Disuruh makan, tapi baksonya dijauhin. Gimana, sih?! Kalau mau liat aku kelaperan yaudah buang aja baksonya. Bak sampah deket, tuh. Tinggal lempar," ucap Mery kesal. Ia membuang wajah ngambek.

Bukan respon kasar yang Mery dapatkan, ia justru merasakan pergeseran Arga yang menepis jarak antara mereka. Cowok itu menggantung sendok berisi potongan baksonya ke udara.

"Siapa yang mau bikin kamu kelaperan? Sini buka mulutnya aku suapin," ucap Arga.

Mery tergelak detik itu juga, ia menatap Arga dan sendoknya bergantian. "Ma-maksudnya, kamu suapin aku?"

Arga mengangguk cepat. "Kenapa? Aku udah lama, 'kan nggak ngelakuin itu?"

Seketika pipi Mery menghangat, dia akui ucapan Arga benar, sudah jarang mereka menghabiskan waktu berdua saat istirahat. Arga sering sibuk mengurus eskul fotografi, persetan dari jabatan seniornya, Arga bertanggung jawab besar di sana.

Mery pun mengangguk dan menerima suapan Arga. Masih sama, detak jantung yang sering menggila kala cowok beriris coklat itu menatap matanya. Rona merah pun hadir di kedua pipi Mery, dia tersenyum malu-malu ketika ibu jari Arga mengusap sudut bibirnya yang ternodai sambal.

Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba muncul di benak Mery, jika detak jantungnya masih berpacu sama seperti pertama kali bertemu, apakah Arga merasakannya juga? Atau detak itu hilang seiring waktu?

Jika iya, Mery perlu pembuktian, jika tidak mungkin hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan. Cinta ada karena dua jantung saling berdetak dengan kecepatan sama. Saling menginginkan dan saling memberikan perhatian. Benar, bukan?

"Mau nggak?" Arga memastikan.

Mery tersadar dari lamunan dan akhirnya menerima suapan cowok itu.

"Enak?" tanya Arga.

"Hmm. Pwedeh." (Pedes)

"Bawa air?"

"Ewhngga." (Enggak)

Arga mendengus, lalu pergi begitu saja, Mery mengernyit menatap kepergian cowok itu.

Mau kemana, sih? Ninggalin gitu aja, batin Mery. Padahal ia sedang kepedasan luar biasa. Berniat membeli minum, Mery berdiri tapi Arga telah kembali dengan satu botol air mineral.

"Minum." Arga menyodorkan botolnya.

Mery akhirnya menerima, dia langsung meminum airnya hingga tersisa setengah. Sementara Arga duduk kembali di kursi tadi.

"Ahh, lega." Mery mengusap tenggorokannya.

"Minum saat berdiri itu nggak baik," ucap Arga tiba-tiba. "Harusnya duduk."

"Masa? Tapi udah terlanjur gimana dong?"

"Yaudah, lanjutin makannya."

Sedikit kesal karena Arga menjawabnya datar, Mery kembali duduk, masih dengan Arga yang menyuapinya. Entahlah, kebersamaan mereka saat ini terasa hampa. Tidak ada satu pun yang bicara.

"Ga," panggil Mery tiba-tiba, setelah menelan baksonya.

"Kenapa?" Arga menaikkan satu alisnya.

"A-aku mau jawab pertanyaan kamu," jawab Mery terbata, entah kenapa ia gugup tiba-tiba.

"Pertanyaan mana? Aku nggak nanya apa-apa. Ngaco, ah."

Mery memayunkan bibirnya. "Ihh. Ada tau, pertanyaan kamu pagi tadi pas kita lagi ribut."

Kali ini Arga mengernyit. Ia bukan tidak ingat, tapi pura-pura lupa. Mungkin, dengan ini Mery bisa melupakan keributan mereka. "Yang mana, Ry? Coba ulangi pertanyaan aku."

"Yakin?"

Arga mengangguk pelan. "Hmm."

Sebelum berbicara Mery menghela napas, seolah ada ribuan jarum menusuk hatinya. Sakit, bahkan lebih sakit ketika ia ditinggal Bunda. Ia tidak pernah sesakit ini karena cinta. Mengingat sebelum dirinya bertemu Arga, dia adalah sejenis cewek hina.

"Kamu mau pertahanin hubungan kita, atau enggak?" ucap Mery, punggung Arga langsung menegap.

"Itu pertanyaan kamu, kurang jelas? Mau aku ulangi?"

"Ry, aku mohon lupain, aku sedang marah waktu itu, anggap aja aku nggak pernah nanya soal hubungan kita. Oke?"

"Kalau aku mau jawab gimana? Kamu kasih aku waktu buat mikir, dan aku udah manfaatin waktu itu, Ga. Aku akan jawab pertanyaan kamu."

"Ry, pleasee. Jangan diingat lagi, aku janji nggak bakalan bikin kamu kecewa lagi. Aku tarik omongan aku."

"Tapi—"

"MERY!" Arga tidak peduli jika harus memotong ucapan Mery, ia mendekap cewek itu dalam pelukan seerat mungkin. "Aku nggak mau kita putus, aku sayang kamu, Ry. Aku takut kehilangan kamu. Kalau perlu aku kasih nyawa buat kamu, aku lakuin."

Dalam diam Mery tertawa geli, dia kaget dengan sikap Arga, bukan cowok itu sekali. "Apaan, sih?! Kok kamu jadi alay gini, sejak kapan?"

Arga tercekat, dia buru-buru melepas pelukan lalu menggaruk kepala salah tingkah. Melihat wajah Arga yang lucu saat  tengsin, Mery tertawa terpingkal-pingkal.

"Kamu lucu banget, Ga. Liat tuh pipi kamu merah, bisa malu juga ya. Hahaha. Ih gemes, jadi pengen nyubit."

Gemas, Mery menggapai pipi Arga, namun dengan cepat cowok itu menepis tangannya. Mery memayunkan bibir kesal.

"Ih, kasarr, mau cubit pipi doang," sindir Mery.

"Nih cubit," Arga tiba-tiba memajukan pipinya, belum juga tangan Mery sampai mencubit pipi cowok itu, Arga menarik bahu Mery dan memeluknya.

"Ga, lepas ih, susah napas."

"Enggak. Biarin aja."

"Kalau dikira ngapa-ngapain gimana? Kamu juga yang susah," desis Mery, dia takut ada yang melihat lalu salah paham.

"Bodo ah. Coba dengerin."

"Apa?"

Arga membawa tangan Mery ke atas dadanya, dengan berbisik ia meminta Mery diam dan merasakan detak yang berpacu cepat di dalam sana. Masih dalam pelukan, Mery tersenyum, detak ini… detak yang sama dirasakannya sekarang. Iramanya begitu cepat, bahkan Mery bisa membandingkan tempo jantungnya dengan jantung Arga. Sama.

Mery mengurai pelukan ketika Arga menggenggam tangannya yang berada di dada cowok itu, tersenyum kala Arga menatapnya lekat lalu berkata.

"Detaknya masih sama, aku bahkan nggak perlu bilang aku cinta kamu, karena detak yang kamu rasakan ini, sudah mewakilkan semua perasaan aku."

★★★

Sepulang sekolah Mery berjalan cepat menuju kelas Arga. Sudah sepuluh menit berlalu, Mery menunggu cowok itu di depan kelas seperti biasanya tapi Arga tidak datang juga. Lelah menunggu, Mery memilih menemui cowok itu. Di tengah jalan, Mery tidak sengaja berpapasan dengan Kevin yang membawa satu kardus berukuran besar.

"Liat pacar gue, nggak?" tanya Mery.

"Pacar lo lagi sibuk, Arga nggak ngomong sama lo ya hari ini dia ada rapat sama anggota OSIS lainnya?  Bahas masalah classmeeting," jawab Kevin.

Mery menggeleng. "Enggak ada."

"Dih, kasihan. Gue rasa sia-sia deh lo samperin, kelasnya udah tutup. Dia lagi beres-beres ruang properti, maklumlah, cowok lo, kan kepercayaannya Kak Raqa. Numpuk banget dah kerjaan kalau sama tuh ketua OSIS satu."

"Maksud lo kita nggak bisa pulang bareng hari ini?" tanya Mery memastikan.

"Maybe. Coba lo chat."

"Udah sering. Nggak di bales."

"Etdah, mau gimana lagi ya, ikut gue gih, ke ruang properti."

"Nggak usah deh," tolak Mery halus, dia juga tidak mau menganggu Arga yang lagi sibuk-sibuknya. Takut cowok itu malah marah. "Gue pulang naik angkot aja."

"Yakin?" Kevin memastikan, selagi Mery mengangguk, dia mendapati Arlan dengan tangan kosong turun dari arah tangga. "Eh Lan, lo nggak ada kerjaan dari tadi, anterin tuh si Mery. Si bos lagi sibuk."

"Harus gue ya?" Arlan menaikkan satu alisnya lalu menatap Mery. "Gue sih oke-oke aja."

"Nah, gasss. Yaudah lo sama Arlan aja, Ry. Kalau dia mesum tendang aja anunya," celetuk Kevin. Arlan melotot.

Mery mengangguk, toh, dia juga lagi bokek, naik angkot pasti mahal otomatis uangnya tidak cukup. "Oke deh gue dianter Arlan, dah."

★★★

Bodoh, satu kata yang menurut Arga cocok untuk dirinya sekarang. Terlalu sibuk hingga lupa kalau Mery menunggu, dia merasa jadi pacar yang tidak berguna. Usai mendapati Mery tidak ada di kelasnya, Arga berlari menuju parkiran.

Sampailah dia di tempat penuh motor itu dengan napas ngos-ngosan, mengedar pandang, dia menemukan Arlan yang memasangkan helm berwarna hitam di kepala Mery.

Arga mengepalkan tangan, cemburu, siapa yang tidak cemburu melihat pacarnya pulang bersama cowok lain? Apalagi dipasangkan helm seperti itu.

Arga menghela napas, dia terlonjak kaget saat sebuah tangan dari belakang menyentuh bahunya.

"Cemburu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status