Sinta tersenyum penuh arti dan Vivi mengernyitkan dahinya, heran. "Woy, jawab dong malah nyengir," protes Vivi pada sahabatnya yang menurutnya jadi agak berbeda dari yang lain. "Eemmm-kayaknya gue kenal sih, kayak nggak asing gitu mukanya," papar Sinta santai. Vivi menghela napas dalam mengembuskannya kasar, meletakkan sendok dan mengelus dadanya berusaha sabar dengan jawaban sahabatnya yang datar sekali. "Elo kenal apa kagak? kalo nggak kenal emang lo gak takut diliatin terus? Iiih, ngeri," sambung Vivi bergidik ngeri, dia masih belum paham dengan maksud Sinta. "Udah tenang aja, lanjut makan," titah Sinta menatap Vivi, sahabatnya itu mendengus kesal dan melanjutkan makannya begitu pula Sinta. Mengacuhkan dua pengawal Langit yang terang-terangan mengawalnya ... Ah, bukan, lebih tepatnya membuntuti dirinya. Bagaimana tidak, mereka berdua sangat terang-terangan, seperti belum profesional dalam membuntutinya. Sinta selesai makan begitu pula Vivi. Sebelum masuk kelas dia mengirimkan
"Pak, nanti ikut saya ke showroom," ucap Biru. Dia kemudian membereskan beberapa berkas kemudian memasukkannya ke dalam tas lalu beranjak dari tempat duduknya. "Pak, nanti saya telepon kalo saya udah nyampek sana." "Ba-baik, Tuan." Pak Sony menatap Biru sebentar lalu mengangguk paham, tapi sedikit bingung ... menggaruk tengkuknya pelan, ekor matanya memperhatikan Biru yang keluar dari ruangan. Pintu tertutup, tapi tak lama kemudian langkah kaki terdengar mendekati pintu, dan ... kriit"Pak, siapin kamar dan private dinner buat tanggal 10 di resort kemarin," pinta Biru melongok dari luar pintu. Pak Sony memegang dadanya yang berdetak kencang karena terkejut. "Astaga!""Haha, maaf, Pak-sengaja ..." Biru membuka pintu lebar, terkekeh pelan. "Nggak, Pak, aku bercanda.""I-iya, Tuan," balas Pak Sony sekenanya. "Jangan sampek lupa ya, Pak," pesan Biru, balik badan melangkahkan kakinya melewati pintu ruang kerjanya. Tapi ketika Biru akan menutup pintu, Pak Sony menghentikannya. "Maaf, T
"Jangan deket-deket, Pak!" larang Sinta berjalan mundur, bosnya menyeringai dan Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang, tak bisa berpikir jernih karena takut.Bosnya terus mendekat sampai Sinta hampir terjerembab ketumpukan pakaian-pakaian yang baru datang, belum diberi bandrol harga. "Kamu mau nggak jadi istri simpenan saya? saya udah lama pengen jadiin kamu pacar tapi kamu menghindar terus, Sin. Ayolah, mau ya? Apapun saya kasih, dan jangan panggil saya pak lagi, kita kan cuma beda sepuluh tahun aja, Sin," ucap pria yang tiba-tiba menampakkan belangnya ketika mereka sedang berdua saja di gudang ... lebih tepatnya si bos yang menyusulnya ke gudang. Ia terus mendekat sampai Sinta terpojok ke belakang rak. "Stop, Pak! Jangan deket-deket saya! saya peringatkan Bapak!" Kedua tangan Sinta terulur ke depan, bosnya ingin menciumnya. Sinta mendorong kasar tubuh gempal berisi yang berdiri di depannya, pria itu dengan
Tangan sebelah Sinta dilepaskan mendadak oleh bosnya karena seorang lelaki menarik bosnya mundur dan langsung menghajarnya tanpa ampun. Bugh Bugh Bugh BughSinta ketakutan melihat bosnya dihajar bertubi-tubi diseluruh tubuhnya hingga babak belur. Sampai si bos merengek memohon sambil bersimpuh agar tak dihabisi oleh lelaki yang menolong Sinta. Lelaki yang berpakaian setelan jas itu membiarkan bos Sinta lari tunggang langgang setelah memperingatkannya agar tak mengganggu Sinta lagi. Ya, dia malaikat Sinta, menyelamatkan gadis malang dari bosnya yang cabul. Pria yang masih menggunakan setelan jas itu mendekat ke Sinta yang masih berjongkok di samping trotoar. Melepas jasnya lalu menyampirkannya ke punggung Sinta. Sinta mendongak menatap lelaki itu, belum bisa berkata-kata saking takut dan gemetaran. Dan lelaki itu sama saja dengannya, tak mengucapkan sepatah katapun. Tak lama seorang pria yang lebih dewasa turun dari mobil mewah dan menghampirinya. Berbisik ditelinga laki-laki yang
Sinta panik, ia tak bisa berpikir sekarang kepalanya mendadak pusing. "Lo udah tanda tangan kontrak, Sin. Kalo nggak lanjut lo disuruh bayar, emang mau?" kata Yoyo mengingatkan, bukan ... lebih tepatnya mengancamnya agar tak keluar. Sinta berpikir keras, ia tak mau membayar kompensasi dan juga tak mau kerja menjadi SPG miras, tapi dia tak ada pilihan selain bekerja di sana. Uang dari mana untuk bayar denda? Ah, dia akhirnya pasrah dan mengikuti Yoyo yang sedari tadi meninggalkannya. "Nih, pake baju ini dan tawarin minumannya ke semua pelanggan yang sudah datang, nanti diajarin sama Dewi, lo perhatiin baik-baik." Sinta mengangguk lesu kemudian berganti pakaian di toilet. Ia mematut diri di kaca toilet wanita, sungguh menjengkelkan. Dress mini yang pendek dan ketat, belahan dadanya terlihat bahkan pantatnya sedikit terekspos. "Sialan ini baju apa bikini?" umpat Sinta kesal, menarik-narik dress warna hitam itu agar melar namun sama sekali tak menutupi pahanya. "SPG baru ya?" tanya
Dengan tubuh gemetar Sinta menatap siapa yang menendang pintu bilik toilet. Om yang akan melecehkannya itu ditarik kasar ke belakang sampai terjengkang. Sinta diam ditempat, ia masih syok dengan apa yang menimpanya. Dia menyaksikan om itu dihajar. Lelaki itu duduk diatas om itu, meninju mukanya kanan dan kiri bergantian. Bugh Bugh Bugh Bugh"Aaaaarrrgggghhh!" teriaknya pilu berulang kali. Om itu bahkan tak bisa bergerak karena lelaki itu mengunci kedua lengannya, ia hanya bisa pasrah dihajar membabi buta. Setelah puas menonjok muka sampai memar kebiruan, lelaki muda itu menginjak dada om tersebut. "Masih belum cukup?" Tatap lelaki itu nyalang, tubuhnya yang atletis begitu gagah waktu menghajar si om gembul. "Cukup, ampun. Aku tidak bermaksud memperkosanya." Sinta melihat lelaki itu melirik ke arahnya, ia memalingkan mukanya. Dia belum beranjak dari kloset duduk. "Minta maaf padanya!" teriak lelaki itu lantang. "Maaf-maafkan aku gadis muda, maaf aku minta maaf." Masih dalam kea
Sinta setengah sadar menjawabnya. "Pacar?" "Iya, kamu mau kan?" tanya Biru setelah melepaskan bibirnya dari Sinta. Kedua tangannya menumpu bobot tubuhnya yang berada di atas Sinta. Gadis itu terkekeh pelan. "Apa aku boleh nolak? Ada pilihan lain?" tanya Sinta, ia seperti pelacur saja sekarang. "Kamu nggak boleh nolak dan aku tidak memberimu pilihan lain," ucap Biru memagut bibir Sinta lagi, lidahnya melesak masuk menari-nari memenuhi rongga mulut Sinta. Gadis itu sampai kewalahan dan tak bisa bernapas, ia melepaskan ciuman Biru yang beringas dan menuntut. "Aku anggap ini balas budi karena kamu menolongku tadi, kita impas kan?" "Nggak. Aku nggak menerima balas budimu, di sisiku saja sudah cukup. Kamu nggak perlu ngelakuin apapun selain menuruti inginku." Biru mencumbu setiap senti tubuh Sinta, ia tak melewatkan menciumi tubuh seksi yang tersuguh indah di depan matanya. "Maksudmu memuaskanmu di ranjang seperti ini? Tolong, aku nggak mau jadi pelacur." Sinta mendesah sesekali ka
Sinta refleks berhenti ketika ada yang memanggilnya, kemudian balik badan karena penasaran dengan sosok yang memanggilnya tersebut. Detik itu juga jantungnya berdetak lebih kencang. Gadis itu sedikit terkejut pasalnya bukan Pak Sony yang didapati melainkan Biru yang muncul di depan matanya. Gadis itu mengerjapkan matanya, menatap takjub lelaki tampan yang sudah rapi dengan setelan jasnya, ia kemudian menunduk dan menatap dirinya yang kusut meski mengenakan pakaian bermerek milik lelaki itu. "Kamu mau pulang?" tanya Biru, berjalan menuju meja makan. Sinta termangu ingat kejadian semalam dan beberapa detik kemudian mengerjapkan matanya lagi. "Ehm-iya," jawabnya malu-malu, berdiri mematung dengan pipi bersemu merah. Biru duduk di kursi makan dan siap menyantap sarapan buatan Bibi. Tak lama kemudian dari belakang Bibi tergopoh membawa barang-barang Sinta. Hosh hosh hoshBibi mengulurkan tas dan pakaian Sinta, napasnya masih terengah-engah. Biru menyuap makanan ke mulutnya, Sinta seb