Sinta heran siapa lelaki yang berani menolongnya dari geng Lolita yang terkenal beringas dan sadis. Hanya karena ayah Lolita salah satu penyumbang dana terbesar di kampus makanya tak ada yang mau berurusan dengannya, ayahnya juga cukup berkuasa di luar sana. "Eh, ka-kamu ganteng bangeeet," ucap Loli langsung melepas tas Sinta. Mereka bertiga langsung mendekat pada lelaki itu, Sinta dan Vivi tak sempat melihat siapa lelaki itu karena buru-buru kabur agar bisa lepas dari geng Lolita. Keduanya berlari kencang sambil tertawa terbahak. Napas keduanya tak beraturan, akhirnya mereka berhenti berlari dan langsung bersandar di samping gedung perpus. "Siapa ya tadi yang nylametin kita?" tanya Vivi penasaran. "Tauk, tapi berani juga ya?!" "Sekilas tadi kayak kenal deh gue suaranya," kata Sinta mengingat-ingat, napasnya mulai kembali teratur dan ia melangkah menuju di mana motornya terparkir. "Emang lo tau siapa dia? Kayaknya asing ditelinga gue." Vivi melangkah mencari motornya. "Ya ... ka
Langkah Sinta terhenti kala Biru memanggilnya. "Sin!" Gadis itu bimbang antara menoleh atau terus berjalan, penampilannya kalah jauh dibandingkan wanita yang tadi cipika-cipiki dengan Biru, ia tak mau membuat Biru malu karena jalan dengannya. "Sinta!" panggil Biru lagi. Akhirnya Sinta terus melangkah, dadanya terasa sesak melihat Biru dicium mesra oleh wanita lain, padahal dirinya dengan Biru juga tak ada hubungan spesial. Sekarang ia berlari kecil menjauh dari sana dan masuk ke dalam lift. Gadis itu buru-buru menyeka buliran bening disudut matanya yang hampir jatuh. 'Aneh, kenapa gue nangis segala?!' batinnya kesal. Sepasang kekasih di samping kirinya memperhatikannya dan kelihatannya mereka langsung iba padanya. Saat pintu lift baru saja terbuka Sinta langsung keluar dahulu saking tak nyamannya berada di dalam lift. Ia berlari menuju ke pinggir jalan raya, menoleh ke segala arah mencari apa yang bisa ditumpanginya. Namun, ia baru sadar bahwa ia punya sahabat yang bisa diandal
Sinta terbatuk-batuk karena terkejut, Biru duduk di samping kirinya. Suasana menjadi canggung, seorang ibu paruh baya mendatanginya dan bertanya. "Mau makan apa, Nak?" tanyanya ramah. "Oh, maaf saya hanya menunggunya tidak untuk makan," jawabnya dengan nada dan ekspresi datar. Sinta dan Vivi tercengang. "Ooh, begitu," balas Ibu itu lirih hendak pergi. Namun Biru langsung berkata. "Saya bayar makanan mereka saja, berapa totalnya?" Ibu itu menghadap ke arah makanan Sinta dan Vivi, menghitung totalnya. "Lima puluh ribu, Nak," balas Ibu itu sambil tersenyum. Biru berdiri, mengeluarkan dompet dan mengambil uang di dalamnya yang hanya tinggal selembar saja. "Ambil saja, Bu, kembali-" ujar Biru namun segera dipotong Sinta. "Dibungkus dua lagi sama es jeruknya dua, Bu. Pas kan nggak kembali uang?" tanya Sinta memastikan. "Eh, iya, Neng. Pas kok," kata Ibu itu berlalu, ia tak jadi menerima uang lima puluh ribu cuma-cuma. "Masih muat maka
Kokokan ayam terdengar nyaring, Sinta merentangkan kedua tangannya sambil menguap. HoaaamSetengah sadar ia lantas duduk ... termenung, mengucek sebelah matanya. "Kamu itu pacar aku jadi biasa aja jangan canggung gitu." Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya, masih teringiang-ngiang ucapan Langit alias Biru. Tanpa mengungkapkan perasaan, ataupun ada adegan tembak menembak dan ia juga belum menyetujuinya, lebih tepatnya tidak karena Biru seenaknya saja memutuskan secara sepihak bahwa mereka pacaran. 'Nggak salah dia mau sama gue? Apa yang diliat dari gue? Cantik enggak, seksi ... eh, iya sih lumayan ... kaya juga enggak, boro-boro kaya, buat makan lusa aja masih harus mikir duit dari mana,' batinnya frustasi, ia mengacak rambutnya menjadi lebih parah seperti singa. Sinta kemudian meraih ponsel di bawah bantalnya, ia memeriksa pesan juga panggilan di aplikasi, ternyata Biru semalam mengucapkan selamat malam padanya, sayang sekali ponselnya kehabisan baterai dan baru ia isi pukul tiga
Laki-laki tersebut keluar dari mobil dan bersandar dimobil sport-nya. Melepas kaca mata hitam yang ia kenakan, barulah Sinta sadar siapa lelaki tersebut sampai ia menutup mulutnya karena terkejut. "La-langit ..." Sinta tak berkedip beberapa detik, setelah degub jantungnya mulai normal ia mendengar ponselnya berdering. Seketika ia melompat dari kursi ruang tamu dan merogoh saku piyama yang dipakainya. Menggeser tanda telepon hijau dilayar ponselnya. "Ya ... halo?" sapa Sinta gugup, gemetaran. "Kamu di rumah kan? Yuk, berangkat," ajak Biru santai. Sinta mengintip dari jendela kaca lagi, ia ragu dan bingung. "Sin ...." "Eh, iya maaf. Emm, ak-aku masih belum mandi," jawab Sinta lirih. "Aku boleh masuk?" tanyanya. "Emmm-" Sambungan telepon diputus Biru mendadak, Sinta heran dan ia gelisah mondar-mandir membelakangi pintu depan. Ia menggigiti kuku telunjuknya, tangan kiri memegang ponsel berada dipinggang rampingnya. "Permisi." Sinta membelala
Sinta gugup dan terkejut akibat perbuatan Biru. Ia langsung membuang muka karena wajahnya terasa panas akibat malu, lelaki itu lantas terkekeh. "Apa kamu nggak pernah ciuman? kaku banget," ejek Biru, menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya kembali. Sinta bingung harus menjawab apa karena tebakan Biru benar, ia belum pernah ciuman sebelumnya. Namun, ia tak mau mengakuinya. "Eng-enggak, kata siapa?!" sanggahnya tanpa menoleh ke Biru. "Masa sih? Tapi kok kayak masih malu-malu gitu," balas Biru, menjawil dagu pacarnya sambil terus tersenyum manis. "Stop!" tukas Sinta. Biru refleks mengerem mobilnya membuat keduanya hampir terantuk kaca mobil. Sinta memandang sinis ke arah Biru, lelaki itu terheran-heran dengan sikap Sinta yang gampang sekali berubah tiap menitnya. "Kenapa? Aku sampai kaget." "Hehe ... maaf, aku turun sini aja." Klik. Biru menekan tombol di sampingnya, otomatis semua pintu terkunci, Sinta langsung mengiba padanya, ked
Pak Lukman terkejut mendengar anak gadisnya dekat dengan seorang yang katanya Bos, ia membayangkan hal yang tidak-tidak, namun ia meminta utusan bos tersebut untuk masuk dan menjelaskan duduk perkaranya. "Begini saja, silahkan masuk ke dalam kita bicara di dalam ya, Pak. Tapi maaf keadaannya begini." Pak Lukman mengajak Sony masuk ke dalam rumah. "Iya, Pak. Tidak apa-apa," balas Pak Sony mengekor di belakang Pak Lukman, kedua pengawal tetap berdiri di luar rumah. Keduanya lantas duduk di kursi ruang tamu, Pak Lukman meminta kejelasan atas ucapan lelaki di depannya tadi. "Jadi bagaimana, Pak. Anak saya kenapa?" "Bos saya menolong anak bapak saat kecelakaan, jadi ini juga bentuk pencegahan dari ancaman orang-orang jahat agar tak mengganggu anak bapak." "Anak saya kecelakaan? Kenapa dia tidak bilang ke saya ya, Pak, itu kapan? Tapi anak saya baik-baik saja, setahu saya tidak ada luka.""Hehe ... bukan kecelakaan seperti itu, Pak. Anak bapak diganggu ol
Sinta membereskan buku juga ranselnya, Vivi memberi semangat sahabatnya, menasihatinya agar bersikap baik dengan Langit. Tak ada salahnya meminta pekerjaan darinya, malah bagus kalau Langit memberinya uang secara cuma-cuma. Sungguh, teman yang menyesatkan, batin Sinta. Gadis itu melangkah lesu menuju depan gerbang kampus, benar saja ... ada mobil sport Biru terparkir di seberang sana. Sinta menghela napas dalam, menengok kanan dan kiri lalu menyeberang jalan. Namun, belum sampai seberang jalan mobil berwarna hitam melaju kencang, Sinta yang berjalan lamban diserempet mobil hitam tersebut sampai jatuh, terantuk aspal langsung pingsan. Biru menyalahkan dirinya karena parkir di seberang jalan, ia keluar dari mobil dan menghampiri Sinta yang tergeletak dijalan. Orang-orang datang satu persatu untuk melihat siapa korban tabrak lari, Biru mendekap Sinta, ia tak bisa berkata apa-apa, ia memerintahkan orang-orang mengangkat Sinta dan membaringkannya ke dalam mobilnya. "Maaf, Tuan. Kami sed