Share

PUTRA sang PEWARIS
PUTRA sang PEWARIS
Author: SenyaSSM

Bab 1 | Wanita Murahan

“Luis aku ingin kita ... ce-cerai.”

Bibir kecil pucat Alice bergetar. Sepasang lututnya lunglai, ia tak berani menatap lelaki yang kini berdiri di depan Alice dengan kelopak mata nampak memberat.

Rambut blonde teracak basah seperti habis tercebur, ditambah dengan kemeja yang kusut membuat tampilan kacau Luis tak layak dipandang.

“Cerai? Apa karena kau tidak kunjung hamil anak dariku?” Luis bertanya dengan kekehan dingin, sembari mengatur tungkai kaki yang berdiri tak tenang di ambang pintu, “Alice, ... Alice. Kau memang wanita yang sangat licik!”

Aroma alkohol menyeruak kuat ke dalam hidung Alice, membuat wanita itu menarik wajah ke belakang dengan pangkal hidung berkerut.

“Apa kau juga sudah mendapatkan harta dari pria tua itu?” imbuh Luis menatap remeh Alice, membuat jemari tangan di kedua sisi tubuh wanita itu mengepal kuat, “kalau kurang, tenang saja, aku akan memberimu tambahan. Tulis saja berapa nominal yang kau mau.”

Alice sudah bertahan selama ini, dan Luis menganggap kesabarannya, hanya demi uang?

Waktu tiga tahun tidaklah mudah untuk Alice. Wanita cantik yang menutup dirinya dengan tampilan sederhana itu, menahan perih saat Luis memilih menghabiskan malam dengan para teman kencannya dibandingkan pulang.

Bola mata bulat Alice terangkat melurus, tanpa sadar bulir bening tergelincir dari sudut mata.

Ia menatap tajam sang suami, seakan ingin mengatakan, “Tak bisakah Luis menyadari cinta tulus yang telah ia berikan selama ini?”

“A-aku ti-tidak lagi bermimpi memiliki anak darimu, Luis. Sebesar apa pun usahaku mempertahankan pernikahan ini, pada akhirnya kamu tidak akan pernah menginginkanku,” ungkap lantang Alice dengan suara bergetar.

“Bagus. Kalau kau sudah sadar. Sekarang mau apa lagi, minggir, Bodoh! Kau ingin, cerai? Ya, cerai saja. Apa kau pikir aku peduli?”

“... hahaha, dasar wanita murahan. Aku sepertinya terlalu meremehkan kemampuanmu merayu kakekku. Hebat, kau memang hebat!” imbuh Luis menghardik melengking bercampur sindiran atas kedekatan Alice dan sang kakek sembari tertawa kencang.

Lengan berotot lelaki itu berhasil mendorong kasar bahu kecil Alice hingga tubuh rampingnya tersentak, lantas terbentur ke daun pintu kamar.

Ini bukan kali pertama Alice mendapat kalimat pedas serta perlakuan kasar dari sang suami.

Namun, entah kenapa ... kalimat menyakitkan itu lagi-lagi seperti bola api, yang terlempar tepat membakar hati Alice.

Ingatan di kala malam pertama kembali terputar di benak Alice, saat mengingat hinaan yang dilontarkan Luis. Hanya karena Alice Gracia berasal dari sebuah kota kecil, dan Luis menganggap dirinya sebagai aib.

Alice merintih, bahu mungilnya terasa nyeri. Kelopak mata kian menyipit basah, menangkap pergerakan punggung lebar Luis kian bergerak gontai menjauh dari posisi Alice berdiri.

Kedua tangan Alice mulai terjuntai di kedua sisi tubuh, perlahan jemari lentiknya meremas kuat sisi pakaian. Lapis demi lapis kuku wanita itu menjadi memerah, menahan rasa sesak di dada ketika disakiti oleh sikap Luis untuk kesekian kali.

Cukup! Alice sudah sangat muak dengan semua ini.

“Luis, berhenti!” pekik Alice sekuat tenaga kemudian menambahi, “Aku sungguh ingin kita berpisah.”

“... mulai detik ini. Aku akan kembali ke Meersburg. Karena kamu benar, tempatku memang bukan di istana megahmu ini.” Alice berkata dengan suara serak sangat lirih, ia melontarkan seluruh emosinya yang bergejolak.

Entah didengar Luis atau tidak, Alice tak peduli.

“Aku hanya wanita kampung, lulusan dari kampus yang tidak setara denganmu, dan tidak akan pernah pantas menjadi Nyonya di sini, di rumah Tuan Muda Pietro.”

“... kamu memang benar! Sekarang, kamu bisa menikahi Davina.” Kalimat terakhir ini sebagai keputusan final wanita menyedihkan itu.

Setelah mengatakan, Alice membalik tubuh, ia bergegas pergi ke kamar. Kamar yang sejak awal pernikahan telah dipisah dengan milik Luis.

Kamar Alice tak ubahnya seperti kamar pelayan rumah. Sederhana, terbatas, dan tak memiliki fasilitas mewah yang seharusnya dimiliki oleh para nyonya muda lainnya.

Sekembalinya ke kamar. Wanita cantik yang membalut tubuh dengan blus berbahan katun, dipadu dalaman kerah turtleneck itu segera bergegas mengambil koper, memasukkan berbagai potong pakaian kumal dari lemari ke koper sembari terisak.

Ia sama sekali tak menyentuh satu pun pakaian mahal yang terpaksa dibelikan Luis kala itu di depan Tuan Besar Pietro.

Meski hidup menyakitkan selama tiga tahun bersama Luis, tetapi dengan bodohnya hati Alice terus saja berporos, dan memilih Luis. Pilihan yang diakuinya sangat pahit dan berduri.

“Sudah tiga tahun, dia bahkan tidak pernah sekali pun menyentuhku, apalagi mengatakan menyukaiku. CK!”

“... dan, aku justru mencintai pria brengsek itu. Alice, kamu sungguh sangat bodoh!” Entah sudah berapa kali Alice merutuki dirinya sendiri.

Mencintai Luis Pietro seperti menggenggam sisi tajam sebuah belati.

“Aku ingin memiliki anak darimu, tapi kamu terus mengatakan membenci anak kecil, apalagi yang terlahir dari rahimku, dasar pria jahat!”

“... seharusnya aku tidak menyetujui permintaan kake ..., Luis? Kenapa kamu ke kamarku?!” Kalimat Alice seketika terpotong, saat mendengar hentakan keras dari pintunya yang didobrak.

Bibir basah Alice yang sempat mendumel seketika terbungkam, saat menatap nanar sosok Luis dengan tampilan yang jauh lebih kacau dari beberapa menit lalu, telah berdiri di bibir pintu.

Kemeja kusut tadi telah hilang, menyisakan dada bidang dengan kulit putih terhiasi lelehan keringat.

“Mau apa kamu, hah?” Alice mengulur sebelah tangan waspada ke depan tubuh, untuk menghalau langkah Luis yang kian mendekat, sebab Alice pikir lelaki itu akan menyakitinya lagi, “kamu sudah setuju kita akan cerai.”

“... lalu untuk apa kamu datang ke sini, dan terlihat marah? Apa ini karena harta kakekmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status