Pov : HudaTiga hari sudah Gina dirawat. Beberapa lukanya masih diperban, tapi dia sudah mulai membaik. Semoga saja besok sudah diperbolehkan pulang.Ningrum yang menjaganya di rumah sakit, sementara aku dan Mas Angga sedang menyelidiki kecelakaan Gina di tempat kejadian. Aku akan tanya ke beberapa warung yang ada di sana, barang kali melihat tragedi kecelakaan itu.Semoga saja ada yang pasang cctv, jadi lebih memudahkan proses penyelidikan kasus ini. Aku dan Ningrum hanya ingin tahu siapa pelaku sebenarnya dan kenapa pelakunya justru menghilang saat kami sibuk membawa Gina ke UGD."Mas, aku tanya ke warung bakso itu, ya? Mungkin tukang parkirnya lihat kejadian itu. Mas Angga bisa tanya ke tukang kebab itu. Dia ada di sana saat kejadian tempo hari," ucapku pada Mas Angga saat kami sama-sama turun dari mobil. Mas Angga pun menganggukkan kepala.Tak banyak tanya Mas Angga mengikuti permintaanku. Dia tanya-tanya ke warung-warung sebelah kanan sedangkan aku tanya-tanya ke warung sebelah k
Pov : Huda|Mas, apa penabrak itu pakai mobil rental?|Kukirimkan pesan itu pada Mas Angga, setelah kulihat mobil penabrak Gina itu berada diantara mobil lainnya. Terjajar rapi, sepertinya memang di sebuah rental mobil.|Benar, Da. Mobilnya ada di rental. Sekarang masih dicek siapa saja penyewa mobil itu tiga hari yang lalu||Oke, Mas. Aku percayakan semua sama Mas Angga. Yang penting pelakunya cepet ketemu. Aku curiga kalau semua ini seperti terencana. Penabrak itu sengaja pakai mobil rental, jangan-jangan dia pakai KTP palsu juga||Tenang saja, Da. Cepat atau lambat pelakunya pasti ditemukan. Kamu fokus kesembuhan Gina saja, soal pelaku itu biar aku yang urus|Aku pun mengiyakan pesan Mas Angga. Kupercayakan urusan itu padanya. Aku yakin dia bisa mengatasi semuanya."Gimana soal penabrak itu, Mas? Apa sudah ditemukan?" tanya Ningrum penasaran. Mbak Sinta pun menoleh ke arahku sembari mengernyitkan dahinya. Mereka sama-sama ingin tahu kelanjutan proses itu."Belum, Sayang. Mas Angga
Pov : HudaPesan dari Ningrum soal tespeknya membuatku begitu penasaran. Gina pun ingin segera tahu hasil tes mamanya. Sejak dulu Gina memang menginginkan seorang adik agar bisa diajak bermain bersama. "Telpon aja, Pa. Atau pesan suara biar nggak perlu ngetik. Kelamaan," ucap Gina menyarankan.Benar juga, gegas kutelpon Ningrum. Terdengar suara tangisnya dari seberang. Kenapa nangis? Hasilnya negatifkah? Atau ada sindiran yang tak enak didengar?"Sayang, Ningrum. Kenapa kamu menangis?" tanyaku setelah terdengar jawaban salam. Aku tahu Ningrum berusaha lebih tenang sekarang meski Isak masih sesekali terdengar. "Nggak apa-apa sih, Mas. Cuma terharu," balasnya kemudian."Terharu? Apa hasilnya beneran positif?" tanyaku sedikit gugup. Kedua mataku mendadak berkaca setelah mendengar jawaban dari Ningrum. Dia mengiyakan.Kuucap hamdallah berulang kali. Gina pun sama, tampak binar bahagia di raut wajahnya. Hamdallah pun meluncur dari bibirnya yang mungil.Akhirnya harapan Gina memiliki adik
Pov : HudaHari kelima di rumah sakit, Gina sudah diizinkan untuk pulang. Ningrum pun datang diantar Mbak Sinta sekalian cek dokter kandungan.Wajah istri cantikku itu berbinar bahagia saat dokter bilang jika dia memang positif hamil. Usia kandungannya menginjak lima minggu.Pantas saja Ningrum tampak lesu dan nggak bersemangat akhir-akhir ini. Kupikir sakit, ternyata dia berbadan dua. Kembali teringat saat dia hamil Gina 11 tahun lalu, begitu kepayahan bahkan dia bilang nggak mau hamil lagi. Ningrum selalu bilang kalau cukup itu kehamilannya yang terakhir, tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Dia harus siap dengan segala takdir yang sudah dilukiskannya."Ingat kata Dokter Alesya 'kan, Sayang?" Ningrum mengangguk pelan."Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu kecapekan. Urusan toko biar dipegang Mbak Nisa sama Mbak Arum dulu. Kamu boleh datang asal hanya mantau saja, nggak perlu ikut bantu packing-packing segala," pesanku lagi."Kalau istirahat terus capek juga, Mas. Sesekali b
Tiga hari pasca tespek itu, tetanggaku mulai berisik. Seperti biasanya julid. Julid. Julid. Seperti pagi ini. Nungguin Mang sayur sembari mengghibah ria.Kemarin mereka ghibahin Mbak Agnes dan Mas Angga. Eh sekarang aku lagi yang jadi sasaran."Kamu nggak takut, Rum?" tanya Mbak Ambar memulai obrolan."Takut kenapa sih, Mbak?""Usia hampir 35 tahun kok ya masih hamil aja. Jaraknya kejauhan sama Gina, Rum.""Nggak apa-apalah, Mbak. Ini rezeki kok, masak ditolak. Yang pengin punya momongan aja banyak loh, Mbak. Allah kasih rezekinya sekarang, jadi ya terima dengan ikhlas saja," balasku lagi sembari menyapu halaman."Iya sih rezeki, tapi umur segitu udah mulai rawan. Bulan lalu di kampung sebelah ada yang meninggal gara-gara lahiran usia 36 tahun. Anaknya hidup juga sakit-sakitan sekarang. Malah kasihan ya, nggak dirawat maksimal oleh orang tuanya," sambung Mbak Ambar lagi. Disertai anggukan yang lainnya. "Itu udah bagian dari takdir, Mbak. Hidup, mati, jodoh dan rezeki kan udah ada yan
Pov : Huda|Mas, kita mau ketemuan di mana? Di rumah Mbah Minah atau di rumahmu saja? Aku mau ke Jakarta hari ini. Kamu tunggu aku di sana, okey|Pesan dari nomor tak dikenal. Ini pasti Mayang. Mau ngapain lagi dia ke Jakarta. Sengaja mengikutiku? Berarti benar kata Ningrum waktu itu kalau Mayang memang mengikutiku sampai kampung.|Mau ngapain? Aku nggak ada waktu buat meladeni kamu. Maaf|Gegas kuambil beberapa snack dan minuman dingin dan membawanya ke kasir. Masih sibuk dengan belanjaan tiba-tiba sebuah panggilan mengagetkanku."Hai, Mas Huda. Gimana kabarnya? Baik-baik saja, kan?"Aku pun membalikkan badan. Perempuan itu benar-benar kelewatan. Saat ini pun dia mengikutiku."Mau ngapain kamu? Aku bisa melaporkanmu ke polisi jika terus meneror keluargaku.""Ohya? Apa kamu punya bukti?""Jelas ada. Kalau nggak ada, mana mungkin aku bicara.""Silakan saja kalau itu maumu. Toh nanti kamu atau Ningrum yang akan menyesal jika kalian menjebloskanku ke penjara. Papa pasti akan sangat kecew
Pov : HudaPagi-pagi sekali aku sudah keluar rumah, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju alamat yang diberikan Pak Santoso waktu itu. Alamat Mbah Minah dan Hendra di Jakarta Timur. Bisa saja aku menelpon Hendra dulu, tanya dia di rumah atau tidak. Namun aku nggak mau gegabah. Jangan sampai dia justru sembunyi atau pergi jika tahu ada seseorang yang mencarinya. Meski aku juga tak mungkin menjelaskan diriku dengan detail padanya.Lebih baik, aku langsung mencari alamatnya saja. Lagipula dengan bantuan google maps, semua jadi lebih mudah. Dia bisa mengantarku ke alamat itu. Pokonya, aku harus segera menyelesaikan masalah Ningrum.Apalagi teror Mayang semakin menjadi. Aku nggak mau Ningrum kepikiran, bahkan bisa saja dia mikir aneh-aneh karena biasanya perempuan hamil cukup sensitif dengan 'kesetiaan pasangan.'|Kamu sudah jalan, Mas? Kulihat mobilmu nggak ada di garasi. Kamu ke rumah Mbah Minah sekarang?|Sebuah pesan masuk. Aku yang baru saja memberikan oleh-oleh wingko babat un
Kupercepat langkah meninggalkan rumah Mbah Minah. Tak pernah menyangka jika yang kutemui justru orang-orang sekolot mereka. Kupikir, semua akan lebih mudah karena aku memakai jalur pendekatan dan kekeluargaan.Tak ada polisi di sini, jadi kupikir mereka cukup aman menceritakan semuanya. Lagipula aku juga sudah jelaskan berulang kali jika kedatanganku itu hanya untuk mengurai teka-teki yang selama ini tersimpan cukup rapi.Aku nggak mau Ningrum hidup dalam kebingungan, bimbang dan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Aku ingin membuatnya bahagia, karena kebahagiaannya juga bagian dari bahagiaku.Aku ingin menghapus jejak-jejak luka di hatinya, agar dia bisa merasakan dan menuliskan hari-hari bahagia sebagai istri seorang Huda Darmawangsa. Mungkin memang begini jalannya. Cukup terjal saat suami ingin membuat istri bahagia.Kubuka pintu mobil, sempat kulirik ke teras rumah bercat abu muda itu. Pak Herman tampak menatap ibunya cukup intens dan mengobrol entah apa. Aku tak lagi mendengar obr