Share

4. Jungkir Balik

Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.

Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri.

"Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?"

Setelah menahan diri selama seminggu, sore itu akhirnya Naima bertanya juga pada Madina, istri dari Gilang, kakak iparnya yang tertua.

"Eh, kamu udah berani protes, ya. Kamu pikir aku senang-senang aja di rumah ini, gitu? Sebelum kamu jadi menantu di rumah ini, aku udah ngerjain semuanya. Kamu bisa bayangin nggak gimana rempongnya aku waktu itu? Aku kerja, tapi juga harus menyapu, nyuci piring, masak sarapan. Kamu pikir itu mudah? Tapi aku kerjain semuanya tanpa mengeluh. Ini kamu baru satu minggu aja udah protes."

Tanpa Naima duga Madina marah besar mendengar pertanyaannya. Ia menjawab pertanyaan Naima dengan suara melengking sehingga menarik perhatian Maisya, istri dari Gema, kakak Gala yang lain.

"Ada apa sih, Mbak? Kok ribut-ribut?" tanya Maisya dengan suaranya yang tenang. Di bandingkan Madina, Maisya memang lebih pendiam, tetapi urusan pekerjaan rumah dia sama saja cerewetnya dengan Madina.

"Ini si Naima, Sya. Dia protes kenapa cuma dia yang disuruh kerja di rumah ini padahal kita sama-sama berstatus menantu, katanya. Ya, jelas aku marahlah. Dia nggak tau aja kalau sebelum ada dia, kita yang ngerjain semuanya."

Maisya menyilangkan tangan di depan dada sambil mengulas senyum miring pada Naima.

"Kamu bisa kok lepas dari semua pekerjaan rumah ini, dengan syarat cari ART untuk menggantikan kamu. Tapi, gajinya harus kamu yang bayar, jangan harap aku dan Mbak Madina akan bantuin."

"Betul," timpal Madina. "Kita di rumah ini udah punya tanggungan masing-masing. Seharusnya kamu bersyukur karena nggak dibebankan biaya rumah. Sementara aku dan Maisya, harus merogoh kocek dalam tiap bulan."

Madina dan Maisya terus mencerocos tanpa memberi Naima kesempatan untuk menyela. Padahal Naima juga ingin memberitahu kalau dirinya juga bekerja, dan harus segera masuk karena masa cutinya sudah habis.

"Ada apa ini, kenapa pada ngumpul di dapur. Kalian merumpi?" Maya yang baru kembali dari arisan langsung memasang wajah masam melihat para menantunya berkumpul tanpa bekerja, sementara tumpukan piring kotor masih menggunung di wastafel.

Maisya spontan menarik tangan Madina untuk menjauh, seraya berkata, "oh, enggak kok, Ma. Kami sedang menjelaskan kewajiban menantu di rumah ini pada Naima. Sepertinya dia masih bingung."

Maya mengalihkan pandangannya pada Naima dengan tatapan penuh tanda tanya. "Apanya yang kamu tidak mengerti?"

Naima menggigit bibir gelisah, mendadak takut melihat air muka Maya yang berubah. Beberapa hari tinggal bersama membuat Naima mulai paham dengan tabiat ibu mertuanya itu. Orangnya keras dan cukup temperamental. Dia tak segan-segan menggunakan kekerasan jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi.

"Kok diem? Kamu nggak bisu, 'kan?" Suara Maya mulai meninggi, membuat nyali Naima semakin menciut.

"Itu, Ma. Tadi Naima tanya kewajiban dia di rumah ini apa saja? Kenapa cuma dibebankan pekerjaan rumah tangga, apa dia nggak ada kewajiban lain seperti biaya dapur, listrik, atau yang lain. Begitu."

Madina menjawab sambil tersenyum ke arahnya, membuat Naima spontan mendelik protes. Mana ada dia bertanya seperti itu? Naima geram karena Madina benar-benar licik sampai tega memfitnahnya kali ini.

Dan sesuai perkiraan Naima, wajah Maya seketika berubah cerah mendengar perkataan Madina.

"Kamu serius menanyakan itu?" tanya Maya pada Naima.

"Hmm ... itu ... anu, Ma. Hmm ... yah, kurang lebih begitulah." Naima pasrah, karena tak sanggup membayangkan murkanya Maya jika tahu dirinya protes tentang pekerjaan rumah.

"Mama senang kamu memiliki inisiatif, Naima. Itu artinya kamu menantu yang pengertian. Mumpung kamu sudah membahasnya, Mama tidak akan sungkan lagi," ucap Maya seraya menghenyakkan bokong di meja makan. "Mulai besok kamu bertanggung jawab dengan biaya dapur seperti gas, minyak goreng, dan juga tagihan air."

Maisya yang selama ini bertanggung jawab penuh di urusan dapur terlihat puas dengan keputusan Maya, tetapi tidak dengan Madina. Wanita itu keberatan karena bebannya sama sekali tidak berkurang.

"Cuma itu saja, Ma? Naima juga bantu di tagihan listrik dan WIFI rumah dong. Masak aku sendiri, pemakaian kita 'kan bertambah sejak ada dia."

Maya melirik Madina sekilas, lalu kembali menatap Naima. "Kamu dengar 'kan apa yang Mbak-mu katakan tadi. Kalau begitu tagihan WIFI jadi tanggung jawab kamu."

Madina tersenyum puas, sementara Naima terdiam dengan tatapan tak percaya. Bukan soal biaya yang ia permasalahkan, melain pekerjaan rumah tangga.

"Kenapa diam? Kamu keberatan?"

"Oh, nggak kok, Ma. Tapi, soal pekerjaan rumah bagaimana? Apa semua masih aku yang mengerjakan?"

"Lha, iya dong. Kan cuma kamu yang nggak ngapa-ngapain. Maisya kerja, gitu juga Madina."

"Tapi aku juga kerja lho, Ma, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti. Mulai Senin aku harus masuk kerja lagi."

Maya berdecak kesal.

"Kamu itu kerja apa, sih? Mama kamu bilang kamu cuma kerja di toko perabot. Emangnya dapat gaji berapa kerja di sana?"

Dada Naima bergemuruh mendengar nada cemooh yang tersirat di dalam pertanyaan Maya. Dirinya memang hanya karyawan toko, tetapi dia berkerja sebagai staf keuangan yang dibayar dengan nominal nyaris dua kali UMR Jakarta. Toko tempatnya berkerja juga bukan toko kecil. Qishan Furniture bahkan sudah menjadi pemasok tetap untuk perumahan-perumahan yang ada di kota itu. Hanya saja dibandingkan dengan pekerjaan Maisya yang karyawan bank, atau Madina yang punya butik, di mata Maya dirinya mungkin hanya bagaikan butiran nasi kering di pinggiran magic com. Hanya remahan yang tak berarti.

"Gajiku cukuplah, Ma. Memang tidak besar, tapi cukup untuk bantu-bantu biaya rumah tangga," jawab Naima merendah.

Maya mendengus kesal. "Kalau cuma cukup untuk makan, gimana kamu mau bayar ART kalau kamu kerja. Udahlah berhenti aja, gaji Gala juga cukup untuk membiayai rumah tangga kalian."

"Tapi, Ma ...."

BRAK!

Tiba-tiba Maya menggebrak meja sambil berdiri. "Udah. Jangan protes lagi. Lakukan tanggung jawab kamu tanpa banyak mengeluh," potong Maya sebelum Naima sempat menyelesaikan kalimatnya. "Udah jam segini tapi kamu belum masak apa pun untuk makan malam. Piring kotor juga masih menumpuk. Untuk malam ini pesan di luar aja., Mama udah laper." Ia pun beranjak. Tepat dua langkah sebelum masuk ke kamar, Maya berhenti lalu menoleh pada Maisya. "Sya, kamu aja yang pesen. Naima belum tau selera kita serumah."

"Oke, Ma," sahut Maisya cepat, dengan semangat ia mengeluarkan ponsel, bergegas membuka aplikasi SendFood, lalu memesan makanan untuk mereka semua. "Udah, beres," ucapnya seraya beralih pandangan ke Naima.

"Kenapa bengong? Mana uangnya?"

"Hah? Uang apa, Mbak? Tadi Mama bilang 'kan Mbak Maisya yang pesenin."

"Lha, iya. Ini kan udah aku pesenin, tapi yang bayar kamu dong. Makan malam ini kacau 'kan gara-gara kamu juga." Maisya melirik Madina yang menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan.

"Tapi ... tadi Mama juga bilang kalau makan malam tanggung jawab Mbak Madina."

Kini giliran Madina yang kesal mendengar jawaban Naima. "Kamu tuh banyakan protesnya, ya. Nggak ngerti bahasa Indonesia atau gimana? Aku cuma bertanggung jawab menyediakan bahan, yang masakin ya kamu. Tapi gara-gara kamu bertingkah, waktu terbuang percuma. Sekarang waktunya makan malam udah tiba, Mas Gilang, Gema, dan Gala juga bentar lagi pulang, sementara makanan belum tersedia. Mereka mau kamu suguhi apa? Angin?"

Suara Madina meninggi. Maisya cepat-cepat menarik tangan Madina agar mengendalikan emosinya.

"Udahlah, Nai. Nggak usah protes lagi, deh. Nurut aja sebelum para lelaki pulang. Aku nggak tanggung jawab ya kalau Mas Gilang sampai marah."

"Hmm ... kamu nggak akan bisa menghadapinya kalau dia udah ngamuk," timpal Madina, turut menakut-nakuti Naima.

Naima pun menciut. "I-iya deh, Mbak. Berapa semuanya?"

"Lima ratus ribu."

"Hah? 500 ribu?" Meski tumbuh di keluarga yang sangat berkecukupan tetap saja Naima tidak pernah menghabiskan uang sebanyak itu untuk sekali makan. Lama-lama bisa bangkrut dirinya kalau menuruti pola hidup keluarga ini. 'Mereka makan apa, sih? Emas? Atau perak? Kok bisa mahal sekali?' gumam Naima di dalam hati.

"Iya. Buruan bawa sini uangnya. Itu kurirnya udah mau sampai lho, Nai!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status