Share

8. Rahasia Besar

Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam.

"Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."

Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.

Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa.

"Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelamatkan kamu dari penjara! Tapi seenaknya mulut kotormu membongkar semuanya di depan Naima!"

Gilang benar-benar meradang. Tadi bisa saja dia membantah apa yang Gema katakan, tetapi Naima pasti akan tetap mencari tahu kebenarannya. Siapa orangnya yang akan berdiam diri ketika mendengar berita aneh tentang dirinya?

"Aku tidak bilang apa-apa tentang pernikahan mereka, Mas. Aku cuma bilang kalau Naima itu anak angkat. Aku pikir dia sudah tahu, tetapi ternyata belum."

Gilang menghela napas panjang, tak habis pikir dengan pola pikir adiknya yang satu ini. Gala meskipun cuek, tetapi tidak liar. Sementara Gema selalu berbuat sesukanya, bahkan sering melanggar hukum. Gilang bukannya tidak tahu kalau tadi Gema mencoba melecehkan Naima.

"Itu bukan urusanmu. Mengapa kamu ikut campur dengan masalah pribadi Naima? Mau kamu sebenarnya apa sih? Tadi kamu mencoba untuk melecehkannya, 'kan? Jujur padaku! Kamu tertarik pada Naima?"

"Memangnya Mas Gilang enggak? Meski tubuhnya mungil, tapi Naima itu kan seksi," jawab Gema dengan senyum mengejek. Ia memperbaiki posisi duduknya, sedikit condong ke arah Gilang. "Katakan padaku, apa yang membuat Mas Gilang tiba-tiba pulang siang ini? Mas juga ingin berduaan dengan Naima, 'kan? Nggak usah bohong deh."

BUG!

Pukulan Gilang kembali mendarat di wajah Gema. "Jangan samakan aku dengan dirimu, Bangsat! Aku pulang karena ada berkas yang tertinggal. Untung saja aku pulang, kalau tidak entah apa yang sudah kamu lakukan pada Naima."

"Alaaaah, nggak usah munafik deh, Mas. Kamu pasti sudah dengar curhatan Gala malam itu. Ya, kan? Aku dengar kok Mas keluar kamar waktu itu." Pipinya perih, karena sudah tiga kali dipukul di area yang sama, tapi tetap tidak mengurangi sikap tengilnya.

Gilang terdiam mendengar perkataan Gema. Ia tidak berkelit karena malam itu memang mendengar curhatan Gala tentang malam pertama mereka. Dia tidak percaya begitu saja karena keesokan harinya ia bisa melihat kondisi Naima yang kesulitan berjalan. Gilang bukan pria berpikiran sempit, ia juga sudah membaca banyak artikel itu jauh sebelum menikah dengan Madina. Sayangnya, Gala yang konservatif sulit diberi pengertian. Itu sebabnya Gilang bersimpati pada Naima.

"Aku memang dengar, tetapi otakku tidak kotor sepertimu," sahut Gilang. "Dengar, Gema. Mulai malam ini jaga sikap kamu di hadapan Naima kalau tidak ingin aku adukan pada Gala. Aku yakin, meskipun Gala sedang mendiamkan istrinya, tetapi dia pasti tidak akan terima kamu melecehkan Naima."

Gema mengangguk pasrah. Di hadapan Gilang ia tak mampu berkata banyak lagi karena sudah tertangkap basah. Dari pada berurusan dengan Gala, Gema memutuskan untuk menurut saja.

***

Naima sampai di rumah orang tuanya. Tak sabar ingin bertemu ayah dan ibunya, Naima pun mendorong pagar rumah itu dengan kuat. Rumah tampak sepi, Naima yakin saat ini kedua saudaranya sedang pergi. Semoga saja ibunya ada di rumah, karena ayahnya juga pasti sedang berada di toko.

Namun perkiraan Naima salah karena dari pintu samping ia bisa mendengar suara orang sedang berbincang di ruang tengah.

"Oom serius? Dia hanya anak angkat?!"

Naima tertegun. "Suara Kak Yara. Dia lagi ngobrol dengan siapa?" gumam Naima sambil mendorong pintu dengan pelan. "Oh ... ada Mama juga. Tapi yang satu lagi siapa?"

Naima berdiri di belakang lemari, menunggu sebentar sebelum masuk karena tidak ingin mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung.

"Iya, Yara. Oom tahu pasti karena Oom sendiri saksinya."

Naima bisa mendengar jelas decak kecewa Yara. "Kenapa Mama nggak pernah cerita sih, Ma? Padahal ini berita besar, lho! Kenapa harus dirahasiakan?"

"Mama nggak mau kalian dimarahi Papa. Mama yakin kalau kalian tahu sejak dulu, kalian pasti akan bersikap buruk padanya. Mama tidak mau itu terjadi."

Naima masih belum paham siapa yang sedang mereka bicarakan, ia pun penasaran ingin tahu, tetapi tetap memilih untuk bertahan di balik lemari itu.

Beberapa saat, ruangan itu sunyi. Ketiga orang itu seperti larut dalam pikiran masing-masing.

"Jadi sekarang sudah amanlah ya, Mbak. Naima 'kan sudah nggak tinggal di sini lagi, nggak ada lagi yang menghalangi Mbak memiliki harta Mahesa," kata sosok yang wajahnya masih terhalang lemari.

Kening Naima berkerut mendengar percakapan itu. 'Apa maksud orang itu? Aneh, Mama 'kan istri Papa, mengapa tidak bisa memiliki harta Papa? Lalu apa hubungannya denganku? Aku tidak mengerti.'

"Tetap saja nggak bisa langsung diambil alih." Kali ini suara Asmita yang menjawab. "Mas Mahesa pasti nggak mau mengubah nama pemilik rumah ini."

"Tapi kasihan putri kandungmu dong, Mbak. Toko sudah milik Naima, masak rumah juga? Mahesa keterlaluan sekali kalau tidak memberikan sedikitpun untuk Yara dan Yana."

DEG!

Jantung Naima seolah berhenti berdetak mendengar perkataan pria itu. Ia masih sangat terkejut mendengar perkataan pria itu, tetapi ia menahan diri karena masih ingin mendengar lebih banyak.

"Iya, Ma. Masak semuanya atas nama Naima. Lalu aku dan Yana dapat apa?" Dari rengekan manjanya tentu saja Naima tahu kalau yang baru saja berbicara adalah Ayara.

Naima kembali mendengar suara decakan kesal dari mulut Asmita. "Itu yang sedang Mama perjuangkan untuk kalian. Makanya kalian bantuin Mama dong, ngomong sama Papa kalian, minta dia bagi hak kalian sekarang. Kalian itu anak kandungnya, masak iya kalah dari anak angkat yang nggak jelas juntrungannya itu!"

Dada Naima seketika bergemuruh mendengar perkataan Asmita. Ia tidak bisa melihat raut wajah wanita itu, tetapi ia bisa membayangkan ekspresinya.

'Jadi benar yang dikatakan Mas Gema tadi. Aku hanya anak angkat? Pantas saja sikap Mama selama ini berbeda terhadapku. Tetapi kenapa mereka merahasiakannya? Mengapa tidak jujur saja padaku?'

Pertanyaan Naima belum terjawab, ia kembali mendengar suara Yara.

"Aku nggak berani, Ma. Mama tahu sendiri gimana sifat Papa. Dia selalu marah setiap kami meminta sesuatu. Aku minta dibeliin mobil aja dari zaman kuliah sampai sekarang nggak dikabulkan. Katanya aku nggak boleh manja. Bus kampus ada, kenapa nggak pake itu aja kayak mahasiswa lainnya? Itu cuma mobil, lho. Apa lagi kalo aku minta warisan, bisa-bisa digantung leher aku, Ma! Aku pikir selama ini Papa cuma pelit, ternyata karena dia mau kasih semua miliknya pada Naima? Kok bisa gitu sih, Ma? Nggak masuk akal banget lho!"

"Tidak akan Mama biarkan. Enak saja semua mau diberi pada anak itu? Mama yang merawat dan membesarkannya dengan susah payah, seharusnya Papa kamu berterima kasih pada Mama. Karena Mama tidak membedakannya dengan kalian."

Decak kesal Ayara kembali terdengar. "Aku heran deh, Ma. Naima 'kan cuma anak angkat, tetapi kenapa Papa sayang banget sama dia? Jangan-jangan Papa selingkuh dengan ibu kandung Naima, dan Naima itu anak kandungnya."

"Itu tidak benar. Papamu adalah pria yang setia." Suara pria itu kembali terdengar.

"Emangnya Oom bersama Papa setiap saat? Papa juga laki-laki, Oom. Bisa saja dia tergoda oleh perempuan itu."

Beberapa saat hening, baik Asmita ataupun pria itu tidak menanggapi kata-kata Yara. Hal itu membuat Naima yang bersembunyi balik lemari menjadi curiga.

"Tidak, Yara. Papamu ... bukan pria seperti itu. Naima bukan anaknya." Suara tegas Asmita menjawab.

"Tetap aja aku penasaran. Apa sih hubungan Papa dengan ibu kandung Naima? Kenapa dia mau dititipkan anak? Ini anak lho, Ma. Bukan sekaleng rengginang yang bisa ditaruh di sudut ruangan tanpa perawatan apa pun. Kenapa juga Mama mau bantuin Papa menerima Naima jadi anak Mama? Aku mengerti kalau Papa dan Mama belum punya anak, tetapi saat itu kalian 'kan sudah punya aku. Aku lebih tua tiga tahun dari Naima, berarti aku udah lahir dong waktu Naima dibawa ke rumah ini?"

"Papamu dulu adalah ma—" Kalimat Asmita terputus karena tiba-tiba terdengar suara ART-nya dari pintu samping, sedang menyapa seseorang.

"Lho, Non Naima pulang? Kapan nyampenya, kok Bibi nggak tau. Silakan masuk, Non. Jangan berdiri aja."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status