Share

4. ANCAMAN SANG IBLIS

"Saya nggak ikut disuruh masuk juga bu?"

Suara yang tak asing di telinganya itu membuat Rina menoleh.

Benar saja, begitu dia menoleh, Rina melihat musuh besarnya berdiri persis di sebelah kanannya. Entah mengapa sedari tadi dia tak menyadari keberadaan pria yang paling dibencinya itu, yang ternyata begitu dekat dan sekarang malah menyeringai ke arahnya.

"Iya kamu juga! Yang lain... bubar semua! Bel pelajaran sudah bunyi kok masih bergerombol disini! Ayo masuk kelas semua!" hardik Bu Rahma dengan nada tegas.

Baru pertama kalinya seumur hidup Rina berada di ruang guru karena melakukan kesalahan, lain dengan Adit yang sudah langganan keluar masuk tempat itu karena berbagai masalah yang dibuatnya.

Begitu sampai di mejanya, Bu Rahma langsung memandang tajam ke arah kedua muridnya itu dan berkata, "Sekarang jelaskan ke ibu, kenapa bisa ada foto-foto seperti itu di mading kita? Kalian yang nempel itu semua?!"

"Enggak bu! Saya baru tau tadi waktu saya sampai bu," jawab Rina dengan panik.

"Trus kok bisa foto kalian disitu. Ngapain juga kalian berpose kayak gitu? Masih anak sekolah lho masak sudah berani berbuat begituan—di area sekolah lagi! Kalian mau mempermalukan sekolah ya?!"

"Itu foto yang motret Paul bu. Kemaren yang nyebarin ke teman-teman juga dia. Saya sudah bilang jangan, tapi tetep saja disebarin kayak gini! Tanya saja sama anaknya, bukti-buktinya juga masih ada di hpnya kok bu," aku Adit yang anehnya diutarakan dengan nada sopan.

"Lho... ngapain juga dia ngambil foto kalian trus disebarin gitu? Nggak ada kerjaan kah?!"

"Itu kemaren dia ngambil foto itu juga karena kebetulan hari itu hari jadian saya dan pacar saya ini, makanya dia inisiatif mau mengabadikan momen penting kami bu. Cuma saya nggak tau kalau foto itu malah dijadikan bercandaan kayak gini. Paul memang anaknya kalau bercanda suka kelewatan."

Penjelasan Adit itu sambil lalu saja terdengar di telinga Rina. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri yang panik memikirkan jalan keluar.

"Benar yang dibilang Adit itu, Rin?!" tanya Bu Rahma masih terlihat curiga dengan penjelasan Adit.

Masalahnya kedua muridnya tersebut terlalu bertolak belakang karakternya. Yang satunya suka dan bangga saat membuat masalah, yang satunya kebalikannya, sangat amat menghindari masalah sebisa mungkin.

"Apa bu? Yang mana maksudnya?" tanya Rina balik, bingung dengan apa yang dimaksud gurunya itu.

"Kamu nggak denger kata Adit tadi? Katanya Paul memang sengaja memotret kalian karna kalian baru aja jadian kemaren!"

"Ha? S-saya..." Adit langsung menginjak kaki Rina supaya cewek itu tidak mengungkapkan hal sebenarnya ke Bu Rahma.

"Diam saja kamu kalau nggak mau aku permalukan lebih lagi!" ancam Adit lirih ke telinga Rina.

"Beneran bu, banyak yang jadi saksi kok. Memang kami salah. Harusnya kami memang nggak melakukan HAL ITU di area sekolah. Tapi, waktu itu kami terbawa emosi, jadi akhirnya seperti ini. Kami janji pokoknya nggak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama. Foto-foto itu juga nanti kami bersihkan dan buang langsung, bu!"

Rina melongo saja mendengar tiap kebohongan yang mengalir dengan mudahnya dari mulut musuhnya itu. Rina tak pernah melihat seseorang berbohong begitu alaminya dan tak terlihat tegang atau cemas sedikitpun.

Saat itulah dia menyadari betapa bahayanya musuhnya itu. Ditambah lagi ancamannya yang membuat bulu kuduknya berdiri tadi. Jelas baginya sekarang kalau Adit bisa mencelakai dirinya kapan saja dia mau, detik permintaannya tidak dipenuhi.

"Bagaimanapun saya nggak suka dengan apa yang kalian lakukan! Kalau saya biarin begitu saja bisa-bisa terulang lagi nanti. Menghukum kalian dengan membersihkan mading saja nggak cukup. Setiap pulang sekolah selama satu semester kalian harus ikut membersihkan dan merapikan buku-buku di perpustakaan. Trus saya nggak mau liat nilai merah di rapot kalian berdua semester ini. Itu artinya Adit, kamu juga nggak boleh seenaknya lagi main absen-absen terus atau kabur dari jam pelajaran seperti biasa. Satu pun dari hukuman itu tidak dilakukan dengan baik, kalian berdua saya skors! Mengerti?!"

"Tapi bu nilai Adit dari dulu memang selalu di bawah rata-rata, jadi nggak mungkin dengan waktu singkat bisa berubah!" protes Rina tiba-tiba karena merasa hukuman yang satu itu sangat nggak mungkin dilakukan. Hanya mujizatlah yang dapat mengubah nilai berantakan Adit jadi bagus.

"Ya kamu bantu dong. Ajari dia. Kamu kan pacarnya!" semprot bu Rahma menciutkan nyali Rina.

"Iya bu ada benarnya juga!" jawab Adit dengan nada serius, yang masih terdengar seperti olok-olok di telinga Rina.

"Ya uda beresin mading dulu sana, setelah itu langsung masuk ke kelas. Saya nggak mau lihat kalian lama-lama disini!"

.

Rina tahu dia lebih baik diam dan segera memunguti foto-foto mereka di mading. Nggak ada gunanya lagi protes dan membahas masalah ini lagi pada iblis tak berperasaan di sebelahnya.

"Kenapa tiba-tiba diam?" tanya Adit dengan ekspresi menyelidik.

"Bukannya kamu yang mengancamku tadi dan menyuruhku diam! Daripada aku mati konyol di tanganmu, lebih baik aku diam dan cepat-cepat menjauh."

Setelah mengatakan itu, Rina merobek-robek foto-foto itu dengan kesal dan membuangnya ke tempat sampah.

"Aku memang suruh kamu diam. Tapi yang nyuruh kamu menjauh itu siapa?! Kita baru jadian kemarin, masak uda mau jauh-jauhan?" goda Adit sambil menghalang-halangi Rina yang ingin pergi dari tempat itu.

"Denger ya... aku capek dengan permainanmu yang nggak jelas ini! Maumu apa sih? Uang kah? kalau memang iya, bilang aja berapa yang kau mau?"

Mata Adit tiba-tiba saja menyala garang. Dia berjalan ke arah Rina dengan begitu mengintimidasi.

"Simpan saja uangmu itu atau buang kalau kamu sudah bosan memilikinya. Sekali lagi aku dengar kamu pamer harta lagi di depanku, aku akan menciummu sekali lagi di depan banyak orang!"

"Trus maumu apa?! Aku nggak ngerti!" protes Rina kesal.

"Aku hanya mengajakmu pacaran. Apa susahnya sih itu untuk dimengerti?"

"Oke..." Rina menghembuskan nafas frustasi dan mencoba menenangkan diri. "Seingatku yaaaa... hanya dua orang yang saling menyukailah yang bisa berpacaran. Emang kita saling suka? Enggak kan! Makanya tolong berhenti mengatakan hal yang nggak masuk akal!"

"Masuk diakal kok. Kan kita kemaren sudah berciuman, di depan banyak orang lagi. Kalau kita nggak jadian, apa kata orang nanti?! Aku bisa dicap nggak bertanggung jawab," jelasnya dengan ekspresi yang terlihat serius.

"Ughhh... lupakan soal apa kata orang. Kamu nggak mengerti ucapanku tadi ya? Aku ini nggak suka sama kamu! Nggak suka! Bersamamu sebentar saja aku nggak nyaman, bagaimana aku bisa tahan menjalin hubungan sama kamu!" Nada frustasi Rina justru membuat Adit geli.

Dia menatap Rina dan berseru, "Nggak usah khawatir, nanti kamu pasti terbiasa. Kamu nggak ingat pepatah Jawa 'tresno jalaran soko kulino'? Suatu saat tanpa kamu sadari, kamu sudah jatuh cinta padaku!"

Terlihat mulut Rina komat kamit ingin memprotes, tapi Adit langsung menghentikannya dengan menggandeng tangannya tiba-tiba.

"Kamu kebanyakan protes, ntar malah ketinggalan pelajaran kita. Ayo cepat... kamu mau kita kena marah lagi?!"

Rina terkejut karna gerakan tiba-tiba itu, tapi dia menyerah dan membiarkan saja Adit menggandengnya dan menariknya masuk ke dalam kelas.

Dia sudah kehabisan kata-kata untuk memprotes makhluk aneh disampingnya, yang tak bisa dimengerti jalan pikirannya.

Pikirannya benar-benar buntu untuk menghindar dari tawaran-tak-masuk-akal musuhnya itu. Tapi Rina memutuskan untuk saat ini, lebih baik dia menurut saja dulu sambil mencari cara bagaimana bisa lepas dari cengkeraman iblis satu ini.

Semakin dia menurut, semakin semua ini cepat selesai, pikirnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status