Share

3. SKANDAL DENGAN MUSUH

Rina menarik tubuhnya turun dari ranjang dan terhuyung-huyung berjalan ke arah kamar mandi. Dengan malas dia membasuh wajahnya yang masih mengantuk.

Menyadari perutnya yang keroncongan, Rina keluar dari kamarnya menuju dapur.

Hanya Mbok Sah saja yang ada di sana sedang mencuci piring.

"Non kok baru bangun? Dari tadi dibangunin Nyonya mau diajak makan malam di luar tapi non nggak bangun-bangun," tanya Mbok Sah sambil mengeringkan tangannya.

"Nggak apa-apa Mbok. Palingan juga diajak ke resto teman papa. Nggak enak makanannya. Enakan masakan Mbok. Ada lauk apa aja Mbok? Aku lapar berat!"

"Ada sayur kangkung, ayam kecap dan ikan pindang bumbu balado kesukaannya Non. Duduk aja dulu di meja makan, nanti saya siapkan!"

Rina sebenarnya benci makan sendiri tapi dia sudah terbiasa ditinggal seperti ini berkali-kali. Mempunyai kedua orang tua yang pedagang dan gemar bersosialisasi membuat Rina harus sering ditinggal sendirian.

Usaha karaoke orang tuanya yang biasanya ramai malam hari, membuat mereka berdua sering berada di luar rumah pada malam hari dan baru pulang subuh atau bahkan sampai pagi hari saat Rina baru saja berangkat sekolah. Kesempatan bertemu dengan mama dan papanya kadang hanya bisa siang atau sore hari. Tapi sebenarnya Rina sudah tak terlalu peduli.

Yang harus dilakukannya adalah belajar dan belajar. Ambisinya untuk menjadi seorang yang jauh lebih sukses dari kedua orangtuanya membuatnya bisa bertahan walaupun harus sering menghabiskan waktu sendirian.

Makanan sudah disiapkan di hadapannya dan dia memakannya dengan lahap sambil melihat isi instagramnya satu persatu.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba Nissa si ketua kelas mengirim pesan singkat di instagramnya. Tanpa pikir panjang Rina membuka apa isinya dan betapa kagetnya dia saat melihat beberapa foto yang dikirimkan Nissa padanya. Tepatnya ada sepuluh foto yang kelihatannya diambil dari sudut yang berbeda beberapa kali.

"Apa-apaan ini, ngapain kamu ngambil foto ginian?!" ketik Rina membalas pesan singkat dari Nissa

"Bukan aku. Itu aku aja dikirimin Paul, temannya Adit! Aku juga kaget dikirimin foto ciuman kalian berdua kayak gini. Makanya aku kirim ke kamu supaya kamu tau!" balas si ketua kelas.

"Kurang ajar! Kerjaan Adit nih pasti! Kamu tau nomer HP Adit nggak, biar aku yang nanya ke dia langsung."

"Ya... tapi jangan bilang aku yang kasih tau kamu ya, aku nggak mau kena masalah."

Tak lama kemudian, nada pesan masuk berdering di ponsel Rina dan segera dia mendapati nomer ponsel Adit yang dikirimkan padanya. Tanpa mempedulikan makanannya yang belum habis dan omelan pembantunya, Rina lari ke kamarnya dan langsung menghubungi Adit.

Nada suara dalam dan rendah Aditlah yang terdengar saat panggilan tersambung.

Rina langsung saja mendamprat makhluk yang pernah mempermalukannya di depan gerbang sekolah tersebut.

"Maumu apa sih? Kamu kan sudah balas dendam siang tadi. Masih kurang puas memangnya? Brengsek! Hapus foto-foto sialan itu atau aku akan melaporkanmu ke kepala sekolah besok!"

"Oh soal itu. Kalau soal itu bukan urusanku sih. Itu kan ulahnya si Paul. Tanya aja anaknya sendiri kalau nggak percaya."

Rina seakan bisa mendengar senyuman geli lirih dari mulut musuhnya itu. Saat seperti ini pun Adit tak membuang kesempatan untuk mempermainkannya.

"Alasan! Aku tau kok kamu yang nyuruh dia! Pokoknya aku nggak mau tau, malam ini semuanya harus sudah beres. Foto-foto itu harus sudah lenyap. Ancamanku tadi bukan gertak sambal belaka. Jadi kalau kamu nggak mau di skors, foto-foto itu harus kamu musnahkan secepatnya!" tegas Rina sebelum menyudahi panggilannya.

Saking kesalnya, Rina mematikan ponselnya dan melemparnya begitu saja ke atas ranjang. Tapi yang penting dia sudah menyelesaikan masalah foto-foto terkutuk itu. Menurutnya, Adit pasti juga tak mau foto mereka sampai tersebar dan dilhat lebih banyak orang lagi. Tak ada keraguan sedikitpun di benaknya bahwa laki-laki itu akan segera melakukan permintaannya dengan segera.

Dengan sedikit perasaan lega, Rina melirik ke arah jam dan melihat waktu masih menunjukkan jam delapan malam. Masih ada waktu beberapa jam untuk belajar, pikirnya.

Dengan cepat dia mengambil buku soal matematika yang didapatnya dari guru privatnya dan melampiaskan stres dengan mengerjakan beberapa halaman soal yang bahkan belum dibahas oleh guru matematikanya di sekolah.

Belajar dan segala sesuatu yang menyangkut di dalamnya, membuatnya tenang dan melupakan masalahnya sejenak. Baru setelah waktu menunjukkan jam dua belas malam lebih, dia berhenti dan langsung melompat ke tempat tidurnya dan tertidur lelap.

.

"Tumben makannya dikit. Biasanya harus tambah beberapa piring dulu baru kenyang!" tanya Sigit Wibowo, papa Rina yang baru pulang kerja pagi itu dan tiba-tiba saja menghampiri meja makan, hanya untuk mengkritiknya seperti biasa.

"Lagi males!"

"Baguslah! Semoga aja kayak gitu seterusnya. Emang kamu nggak pengen punya badan langsing kayak teman-temanmu! Malu papa setiap ngajak kamu ke pesta pasti repot cari baju yang muat atau cocok dulu buat kamu. Tapi itu juga ujung-ujungnya setiap gaun atau baju yang dibeli malah kelihatan kayak daster pas kamu pakai!"

Perkataan ini sudah ratusan atau bahkan ribuan kali didengar oleh Rina. Ritual yang tidak lagi asing di telinganya. Anehnya, seberapa sering pun perkataan pedas itu terdengar oleh telinganya, hatinya masih saja tak terbiasa. Karena setiap kali mendengar perkataan penuh hinaan itu, hatinya selalu saja merasa sakit dan terluka.

"Sejak kapan papa tau bentuk dan berat badan teman-temanku? Banyak kok dari mereka yang jauh lebih gendut dari aku tapi biasa aja—"

"Selalu aja melawan kalau dibilangin orang tua! Udah... pergi sana ke sekolah. Lama-lama kamu disini, tambah bertengkar kalian!" potong mama Rina yang baru saja datang dari dapur.

Dengan kesal Rina beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar.

"Jangan pakai angkot lagi, Rin! Ada mobil dan sopir kok malah naik angkot terus!" teriak mamanya saat dia sampai di depan pintu.

Rina ingin sekali membalas mamanya dengan menolak, tapi setelah kejadian kemarin, dia merasa risih juga satu kendaraan dengan anak-anak lain yang kemungkinan besar sudah melihat atau mengetahui kejadian kemarin.

Hanya perlu waktu sepuluh menit sebenarnya kalau naik angkot dari rumahnya ke sekolah. Namun yang paling disukainya adalah dia tak perlu kesepian dan merasa bosan, tidak seperti saat dia naik mobil sendiri.

.

Saat Mas Ridho, sopir papanya menurunkan dia di depan pintu gerbang sekolah, sebenarnya Rina sudah melihat beberapa anak yang melihatnya dan berbisik-bisik. Namun tetap saja dia menegakkan kepalanya dan berjalan terus dengan tak menghiraukan sekitarnya.

Sialnya... dia melihat sesuatu yang membuatnya syok saat dia berjalan melewati ruang guru. Sesuatu yang terpampang di majalah dinding sekolah yang terletak di depan ruang gurulah yang membuatnya berhenti dan membelalakkan matanya.

Gimana nggak syok? Foto-foto yang dikirimkan Nissa tadi malam terpampang dengan lengkapnya di sana.

Foto-foto yang sudah disuruhnya dilenyapkan oleh Adit, ternyata malah dengan kurang ajarnya ditempelkan satu persatu di majalah dinding yang berukuran sebesar papan tulis di kelasnya tersebut. Entah kegilaan apa yang ada di otak si iblis itu, yang jelas sekarang dia sudah berhasil mempermalukannya sekali lagi.

Satu per satu murid bahkan guru-guru mengerubungi majalah dinding tersebut dan menunjuk-nunjuk ke arahnya.

Namun di tengah-tengah kerumunan itu, terlihat satu orang yang memandangnya dengan ekspresi marah. Bu Rahma melambaikan tangannya ke arah Rina dan berkata, "Ayo ikut ibu ke ruang guru! Ibu perlu bicara dengan kamu!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status