Dika bingung, Bu Inah jatuh sakit. Mila tak bisa dihubungi, ingin datang ke rumah Amel lelaki itu masih tak punya nyali. Maka pilihan satu-satunya ialah menunggu sampai hari esok selesai. Terpaksa nyonya besar dilarikan ke rumah sakit. Sinta juga ikut, terbesit rasa tak tega di hati menantu itu ketika mertuanya terbaring lemah tak berdaya, dan sesekali mengigaukan nama Mila. “Coba aja dari dulu Mama nggak terlalu keras sama aku. Kita pasti bisa jadi best friend,” ucap Sinta sambil mengupas sebuah apel. Ia bergantian jaga dengan perawat yang sedang makan di kantin. Sampai kondisi Bu Inah membaik, Sinta akan bersikap lembut layaknya kapas. Namun, jika mama mertuanya keras hati lagi ia pun akan mengembalikan hal yang sama juga. Sinta memandang wajah wanita tua itu. Betapa dari awal menikah sudah banyak sekali perdebatan yang selalu saja menemukan jalan untuk diperbincangkan. Keduanya sama-sama tak merasa bersalah dan mau mengalah. Bu Inah yang menuntut Dika tinggal di rumah karena ana
Bu Inah membuka matanya ketika merasakan Mila sudah datang. Senyum pun terkembang sempurna di bibir wanita tua itu. Akhirnya apa yang ia inginkan tercapai juga. Dirawat oleh cucu sendiri ketika sedang sakit. Tangan mama Dika gemetar, ia menyentuh kepala Mila yang tak sengaja tertidur di ranjang pesakitan.“Eh, Oma, udah bangun. Maaf Mila ngantuk tadi. Oma mau apa?” Cekatan Mila bertindak ketika sang nyonya besar sudah sadar. Wanita tua itu menggerakkan bibir, cucunya mendekat dan terdengar kata bahwa ia meminta makan. Lekas saja Mila membuka makanan jatah dari rumah sakit yang semuanya serba putih. “Minum obat ini dulu, ya, Oma. Yang ini sebelum makan, yang ini sesudah makan,” tunjuk Mila. Lagi-lagi mama Dika hanya mengangguk saja. Jika dengan Mila ia tak akan banyak bantahan. Ia sanggup mengalah asal mendapatkan cinta tulus dari cucu perempuannya. Dengan telaten dan sabar Mila menyuapi orang tua itu. Setiap ada bubur yang jatuh di dekat bibir akan ia bersihkan dengan tisu. Suap de
“Kamu tunggu di sini saja, ya,” ucap Dika pada supirnya. Bukan Satria, sebab pria itu tugasnya hanya menjaga Camila saja. Lingkungan perumahan di mana Amel tinggal sedang sepi. Orang-orang sedang pergi bekerja dan anak-anak ke sekolah. Dika melihat depan rumah mantan istrinya. Rumah makan itu sudah benar-benar tutup. Amel fokus menjaga anak keduanya. Seketika pikiran lelaki manja tersebut melayang. Ia akan menerima anak bawaan Amel jika mantan istrinya mau menerima pinangan darinya lagi. Wanita yang baru ia pikirkan keluar rumah. Ia membawa sepiring makanan. Lalu wanita yang memang dari dulu penyayang itu memanggil kucing-kucing peliharannya. Ia ajak makan satu piring beramai-ramai, sembari bercerita. Ya, sejak Akmal tiada dan Mila sibuk merawat oma, mantan istri Dika hanya percaya curhat pada kucing peliharaannya. Sebab mereka makhluk lucu, penyayang dan yang paling penting tak menghakimi orang. Amel takut jika ia mencari teman baru untuk curhat, yang ada malah ia dinilai salah
Gilang sedang melajukan motor besarnya. Ia rutin ikut taruhan balap liar terus menerus untuk mengisi kekosongan waktu setelah pulang kuliah. Hal itu pula yang menyebabkan dirinya pulang pagi hari. Sinta hanya sesekali menanyai dirinya, bagi wanita angkuh itu, sudah biasa laki-laki berpetualangan sebelum menikah. Sedangkan Dika, tak terlalu ambil pusing dengannya. Bagi papanya pula, anak laki-laki harus bisa menjaga dirinya sendiri. Berbeda dengan anak perempuan yang harus dijaga. Padahal Dika sendiri sudah menelantarkan Mila dari kecil. “Sial!” umpat adik kandung Mila. Ia kalah lagi malam itu, sudah yang kelima dan uangnya sudah habis. Malahan dia berhutang sangat besar dengan temannya. “Gimana, Bro, masih mau ngulang?” tanya temannya. Gilang hanya melambaikan kelima jarinya. Ia tak punya cadangan devisa lagi. Uang jajannya sudah habis tak bersisa. Hanya tinggal untuk membeli bensin saja. “Gue pulang duluan, ya,” ucapnya ingin lari dari masalah. “Eits, tunggu dulu, nggak bisa gitu
Dua sepeda motor yang mengikuti Mila terus berusaha menggapai mobil itu. Yang di dalam sana sudah panik bukan kepalang lagi. Mereka takut sebab harus berurusan dengan orang-orang berseragam. Salah satu motor berhasil melampaui dan menghadang mereka. Satria langsung melompat turun. Tanpa basa basi, ia buka jaket dan tutupi tangannya dengan benda tersebut lalu memukul kaca mobil hingga pecah. Ia tak suka berbasa-basi, pecahan kaca itu sedikit mengenai pipi Mila yang sedang tertidur. “Keluar!” bentak pria muda itu.“Cepet telpon Gilang, bilang kita dalam bahaya,” ujar salah satu dari tiga penculik itu. Namun, belum sempat terjadi ponsel mereka telah dirampas lebih dahulu. Menyerah, satu-satunya cara yang tersisa. Dua tangan para penculik itu pun naik ke kepala, mereka tak berani melawan orang-orang yang memang ahli. “Urus mereka. Cari tahu siapa yang perintah, pasti ada dalangnya ini,” pinta Satria pada teman-temannya. Kunci mobil sudah diambil dan saatnya introgasi mencari otak pengg
Dika membeli sepasang sepatu baru dari luar negeri. Cantik dan elegan, sangat cocok untuk Amel dan wanita itu akan semakin anggun jika mengenakannya. Ia kemas sendiri benda mewah tersebut di dalam kantornya. Lalu ia minta sekretaris untuk mengirimkan ke alamat yang telah ia tulis.Kebetulan pula Sinta sedang menuju kantor suaminya. Ia melihat sekretaris Dika membawa paket ke luar dari ruangan suaminya. Rasa-rasanya selama menikah tak pernah Dika memberinya hadiah atau suatu kejutan. Sinta, jika ingin sesuatu akan ia minta sendiri baru suaminya akan memberikan uang. “Dari siapa, buat siapa?” tanya Sinta langsung pada sekretarisnya. Perempuan yang bekerja di sana menunjukkan alamat yang diberikan oleh bosnya. “Biar saya yang antar, sekalian juga mau ke rumah dia.” Wanita itu mengambil paket dari tangan seretaris Dika.“Sampai kapan kalian akan terus tutupi kenyataan itu. Anggap saja aku membantu Mila untuk tahu siapa ayah kandungnya. Tapi kalau masalah harta jangan harap aku mau berba
Paket yang dibawa Sinta waktu itu tertera pula alamat rumah Dika. Dengan mengumpulkan keberanian juga semua kepercayaan dirinya, Amel bersiap-siap menuju rumah mantan suaminya. Ia memakai gamis, jilbab, serta sepatu terbaik. Walau bisa dikatakan harganya sangat murah. Bukan Dika yang ditakutkan oleh Amel. Melainkan mantan mertuanya, sebab Sinta pernah mengisyaratkan wanita yang pernah mengusirnya dulu masih hidup dan sehat. Katanya lagi ada perawat yang mengurus Bu Inah sangat baik. Hari masih siang menjelang sore dan Mila bekerja di sana. Gadis itu sedang menuntun omanya untuk berjalan kaki lebih jauh lagi. Kondisi kesehatan Bu Inah semakin membaik, tensinya tidak tinggi lagi, begitu juga dengan gula darahnya. Biarlah ia menutupi kenyataan bahwa Mila adalah cucunya asal gadis itu tak pergi jauh darinya. “Kita masuk dulu, ya, Oma. Udah waktunya makan cemilan. Mila kukuskan pisang barusan, dimakan, ya, Oma. Biar perutnya nggak gampang lapar,” ujar gadis itu. Bu Inah pun menurut saja,
“Mila, Nak, kita pulang sekarang, ya. Ini bukan rumah kamu.” Amel meraih foto di tangan putrinya. Ia letakkan di meja lalu menggamit tangan anak gadisnya untuk pulang. “Jangan kamu bawa cucu saya pergi, Amel. Biarkan dia tinggal di sini.” Bu Inah berdiri, tapi ia tak kuat menahan gemuruh di dadanya hingga wanita tua itu terduduk lagi di kursi. Mila yang telah hampir tiga bulan merawat Oma, tak tega dan membantu omanya untuk duduk baik-baik. Amel hanya membiarkan saja. “Gitu, donk, terang benderang semua tanpa rahasia lagi,” ucap Sinta tanpa ada beban. “Puas kamu?” tanya Dika pada istrinya. “Jelas. Udah, ah, aku mau shopping dulu.” Tanpa rasa bersalah sama sekali wanita angkuh itu pergi. “Mila, udah, Sayang. Kita pulang, Mama jelaskan di rumah nanti semuanya.” “Amel, tolong, kasih waktu anak kita sama Mama sebentar. Mama sudah terbiasa sama Mila.” Dika memohon. “Anak kita?” Ulang Amel juga Mila bersamaan. Gadis itu semakin bergetar tangannya. Ia mengambil kursi roda lalu memind