Semalam, setelah mengecek ulang jadwal kuliahnya di hari ini, Chloe justru tidak bisa tidur.
Sepanjang malam yang dilakukannya hanyalah telentang memandangi langit-langit kamar—yang membuat Chloe ingin menempelkan hiasan bintang-bintang glow in the dark di atas sana—sambil mengetuk-ngetuk jari-jari yang saling berkaitan satu sama lain di atas dada.
Entah apa tepatnya yang menjadikan Chloe tidak bisa tidur, sebab ada begitu banyak hal yang berseliweran di dalam kepalanya dan Chloe tidak bisa memilih satu saja yang bisa disalahkan sebagai penyebab insomnia-nya. Mulai dari memikirkan mamanya, papanya, beasiswanya, bagaimana dirinya menceritakan semuanya pada Grace, hingga memikirkan Juan.
Bahkan seorang Juan yang notabene adalah seseorang yang baru saja dikenal Chloe beberapa hari belakangan pun, ikut berkontribusi dalam penghalang tidur malamnya. Dan pastinya, bukan memikirkan tentang wajahnya yang tampan, bola matanya yang jernih, tubuhnya ya
“Kenapa? Apa ada yang salah sama ucapan gue?”Bermodalkan seringai yang menyeramkan serta tatapan mata yang kosong, Mike perlahan-lahan makin mendekati Chloe, sementara Chloe makin menempelkan punggungnya pada pintu darurat. Berharap dirinya memiliki kekuatan tersembunyi seperti mampu menyerap ke dalam pintu yang padat, kemudian muncul di sisi yang lain.Perasaan Chloe sungguh tidak enak. Agak mual. Seakan sekumpulan organ di dalam tubuhnya tahu bahwa akan ada hal buruk yang menimpanya saat itu juga apabila dirinya tak kunjung membuka pintu. Namun, jari-jarinya yang sudah menggenggam erat gagang pintu, mendadak kaku. Tidak bisa diajak bekerja sama. Terlebih seperti ada yang tidak beres dengan pita suaranya. Ingin rasanya berteriak, tapi suaranya justru teredam, bukannya keluar dengan lantang.“Chloe … hei, Chloe,” panggil Mike berkali-kali. “Chloe, lo ngga apa-apa?” tanyanya lagi dengan raut wajah panik. Aura menakutkan
Sepasang sepatu boots hitam berderap pelan di atas aspal. Berjalan menembus keramaian tanpa seorang pun menyadari keberadaannya. Diperhatikannya orang-orang di sekitar yang hanya berdiam diri, saling berbisik, memotret, merekam, tanpa ada niatan membantu—ada, lima orang, setidaknya. Satunya tampak sedang menelepon. Mungkin menelepon rumah sakit terdekat untuk meminta agar segera mengirimkan ambulans.“Hei, Juan,” sapa seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari seberang jalan. Lelaki yang berpenampilan sama dengannya.“Bareng lo ternyata.”“Aduh, sibuk banget kayaknya sampai ngga sempat liat di aplikasi siapa yang ikutan jemput.”Juan menyeringai tipis sambil melihat ponselnya yang menampilkan deretan informasi perihal orang yang akan dijemputnya kali ini. Seorang remaja perempuan berumur tujuh belas tahun yang masih mengenakan seragam sekolah. Juan menggelengkan kepala melihatnya.“Uhh, sw
Jadi, Chloe harus mengabari Juan via apa? Telepon kah? SMS? Atau mungkin chat?Sebuah kartu nama milik Juanito Alexander masih dipuntir-puntir di jemarinya. Tak henti-hentinya dipandangi sambil merebahkan diri di atas tempat tidur selagi menunggu Grace membeli camilan larut malam di kantin asrama. Masih ingat betul bagaimana rupa muka Grace ketika Chloe meminta untuk dibelikan mie instan saja.Lagi pula, apakah Juan menunggu kabar darinya? Apakah Chloe akan dimarahi apabila tidak langsung mengabari Juan nomor ponselnya? Membayangkan seberapa penting nomornya bagi Juan, membuat bibir Chloe mengulas senyuman tipis. Sampai dirinya tidak sadar kalau Grace sudah mengamatinya yang tengah senyum-senyum sendiri sejak beberapa detik lalu.“Kesambet apaan lo?” tanya Grace agak takut.Diletakkannya kantong belanjaan di atas karpet, kemudian ikut duduk di sana. Disusul Chloe yang dengan cekatan bangkit dari posisinya.“Apaan nih?&rdq
“Pak, bakso merconnya satu ya. Ngga perlu pakai mie kuning, jadi mie bihun aja. Kalau boleh sawinya banyakin ya, Pak, tapi daun sawinya aja. Jangan pakai tangkainya. Oh, sama jangan lupa taburin bawang goreng.”Bapak penjual bakso mengangkat jempol kanannya ke arah Chloe. Terlalu sibuk menyendok beberapa bakso dari dalam panci besar, sampai tidak ada waktu untuk menoleh. Merasa pesanannya telah tersampaikan dengan baik, Chloe pun pergi. Pipinya berangsur memanas akibat terhempas sekumpulan uap panas dari dalam panci.Chloe melewati beberapa bangku dan meja makan yang bertebaran di kantin pusat, sampai akhirnya berhenti pada salah satu meja kosong yang tak jauh dari penjual aneka soto. Di situlah Chloe menemukan Grace yang tampak begitu tak sabaran menunggu pesanan sotonya. Entah soto jenis apa yang dia pesan, yang pasti yang porsinya banyak, sebab dia sudah mengeluh lapar sejak beberapa jam yang lalu.Di atas meja, Chloe meletakkan
Pernah merasakan meninggal dua kali?Jika pernah, Chloe ingin tahu bagaimanakah rasanya? Apakah terasa lebih baik atau justru lebih buruk? Dengan begitu Chloe bisa lebih bersiap untuk menghadapi setiap kejadian buruk yang menimpanya. Contohnya seperti saat ini.Aura ceria, semangat, riang, kesal, muram yang sebelumnya menghiasi hari demi hari mendadak lenyap seperti uap yang keluar dari tubuh. Lewat sedetik saja, sudah pasti untuk yang kedua kalinya, Chloe melihat tubuhnya sendiri tergeletak tak bernyawa di bawah bongkahan batang kayu besar. Lewat sedetik saja, sudah pasti malaikat maut kembali muncul di sampingnya dan siap mengantarnya ke akhirat yang tak jadi dia datangi sebelumnya.Dan nyatanya memang sudah ada grim reaper yang datang menemui Chloe. Namun anehnya, kali ini sang grim reaper justru datang untuk menyelamatkan nyawanya.“Chloe!” panggil seseorang yang lebih kepada membentak.Chloe terlonjak dalam
Sayangnya, Chloe tidak bisa dengan lantang mengatakan bahwa memang seperti itu yang Chloe pikirkan.Bayang-bayang Juan yang mengerutkan dahi, menyeringai jahil, atau tertawa mengejek—meskipun belum pernah sama sekali Juan memperlihatkan bagaimana rupanya ketika dia tertawa—sudah langsung hadir di dalam kepala sesaat sebelum Chloe benar-benar bicara. Daripada malu sendiri karena dibilang terlalu percaya diri, jadi alangkah baiknya perkataannya diurungkan saja.“Yaudah, Pak. Apa pun itu alasannya, makasih banyak.”Chloe langsung memelesat pergi ke dalam asrama tanpa perlu tahu bagaimana reaksi Juan. Bagi Chloe, cukup tahu satu hal saja kalau hari ini sungguh merupakan hari yang kacau. Setiap hari dimana ada mata kuliah kalkulus, pasti akan berakhir kacau. Chloe berani jamin.***Buktinya hari-hari selain hari kalkulus selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Memang terkadang sempat berpapasan dengan Juan ketika Chloe sedang mampi
Tiga puluh menit sebelumnya.Juan melepas sabit yang tersampir di punggung dan dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. Bagaikan sihir, sabit besar itu perlahan mengecil menjadi seukuran gantungan kunci yang siap dibawa ke mana pun. Bersamaan dengan itu pula pakaian serba hitamnya sudah berganti menjadi celana training abu-abu dan kaus oblong putih. Alhasil, kini Juan telah kembali menjadi seorang dosen matematika yang disegani oleh para mahasiswa.Diiringi helaan napas berat, Juan duduk di atas tempat tidur asrama khusus dosen Universitas Seirios. Menggaruk kasar bagian kepala dan mengusap wajahnya berkali-kali. Lelah, karena hari ini dirinya kebagian tugas penjemputan sebanyak empat arwah. Dua di antaranya tidak mudah. Penuh drama yang itu-itu saja. Sampai Juan ingat berapa kali dia menguap selama menunggu drama penjemputan berakhir. Membuat Juan penasaran perihal apa susahnya menerima takdir? Mudah memang bicara. Padahal dia sendiri tidak pernah merasa
Chloe merasa jantungnya kembali memompa. Udara dingin juga terasa mengalir masuk dari lubang hidung selagi paru-parunya mengembang. Kelopak matanya juga mulai berkedut. Telinganya pun berhasil menangkap suara-suara walaupun samar. Jari-jari kaki maupun tangan sudah bisa digerakkan meski terbatas.Masih hidup? Hatinya bertanya pada diri sendiri.Chloe berusaha memerintahkan saraf-sarafnya untuk bekerja lebih maksimal lagi. Sampai tiba saatnya kelopak matanya benar-benar terbuka dan cahaya terang secepat jutaan kilometer per jam memelesat masuk menyerang kedua matanya.Cahaya ini lagi, pikir Chloe.“Oh, udah sadar rupanya,” ujar seseorang yang masih tampak kabur.Lambat laun penglihatan Chloe membaik. Usai matanya mengerjap beberapa kali, Chloe akhirnya menemukan sesosok lelaki tinggi berpakaian hitam berdiri di sampingnya. Dia membungkuk mendekatkan wajah, kemudian tangannya mulai mengibas-ngibas di depan mata Chloe.