Share

Oh, My Ex!
Oh, My Ex!
Author: Itsmeyeya

Mimpi yang Sama

Di dalam sebuah ruangan yang didominasi dengan warna putih, juga kental dengan bau obat-obatan yang begitu menusuk indera penciuman, seorang wanita tengah tergugu menangis dengan sangat memilukan. 

Tubuhnya bergetar hebat akibat tangisan itu, berkali-kali ia menghapus air matanya, berkali-kali juga cairan bening itu kembali keluar. Netranya yang berair menatap lekat pada sosok mungil yang tengah menghisap sumber nutrisi dari dadanya. 

 "Maafkan Mama, Sayang." Tangannya yang rapuh mengelus lembut wajah bayi laki-laki yang baru saja ia lahirkan dengan penuh perjuangan. Bahkan, mengorbankan nyawanya sendiri. 

Wanita berwajah pucat itu berkali-kali mencium seluruh wajah bayi mungil yang ada di gendongannya saat ini. 

Dialah Faranisa Inara, terpaksa menjadi wanita kejam dengan meninggalkan bayinya demi perjanjian yang sudah ia buat bersama Keenan Dirgantara—suaminya dan Rachel Aulia—madunya. 

Tak pernah terbayangkan oleh Nara, akan sesakit ini saat dirinya harus kehilangan bayi yang masih merah dan masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang mama.

"Mama sayang banget sama kamu, tapi Mama harus meninggalkanmu di sini. Percayalah, Mama terpaksa melakukannya," bisik Nara di telinga bayi mungil itu, berharap sang putra memaafkannya. 

"Mama harap ... kamu tumbuh sehat, pintar, dan jadi anak baik bersama Papa dan Mama Rachel. Kamu harus hidup bahagia agar penyesalan Mama karena sudah meninggalkanmu tidak semakin besar."

Nara terus saja terisak, sedangkan bayi yang belum diberi nama itu sangat anteng di dalam pelukannya. Bibir mungilnya tak henti menghisap sumber nutrisi, seakan tau kalau itu adalah nutrisi pertama dan terakhir yang ia dapatkan dari sang mama.

"Mama sayang kamu." 

Seorang lelaki yang tengah terlelap dengan nyenyaknya terpaksa harus bangun karena mendengar suara tangisan yang begitu memilukan di sebelahnya.

Lelaki itu mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, duduk di sebelah wanita yang terisak pilu.  

"Sayang, bangun," ujarnya sambil mengelap sudut mata Nara yang tertutup rapat, tetapi tak hentinya meneteskan cairan bening. 

Keringat dingin sebesar biji jagung turut membasahi wajah Nara, menandakan wanita itu tengah bermimpi buruk.

"Hei, Sayang," panggil Darren Mahendra—satu-satunya saksi hidup yang menyaksikan bagaimana Nara terpuruk setelah meninggalkan darah dagingnya sendiri.

Lelaki itu juga menjadi saksi bagaimana Nara mencoba bangkit dari keterpurukannya. Mencoba melepaskan label 'ibu kejam' yang melekat dalam dirinya karena kejadian lima tahun lalu. 

Dan pemandangan Nara menangis dalam tidurnya seperti ini, bukanlah pertama kali Darren saksikan. Hampir setiap hari. Jika saat sadar Nara terkenang anaknya, maka di malam hari Nara akan bermimpi dan menangis seperti saat ini. 

Terkadang, Darren juga ikut menangis. Tangisan Nara begitu memilukan dan menyayat hati, bagaimana ia bisa tahan untuk tidak menangis? 

"Tenanglah, semua akan baik-baik aja," bisik Darren mengelus puncak kepala Nara, ia juga meninggalkan kecupan hangat di sana. 

Nara masih menangis, meski sudah tidak tergugu seperti tadi. Perlahan, wanita itu tenang dan membuka matanya.

Darren selalu menjadi orang pertama yang ia lihat setelah membuka mata. Dialah satu-satunya orang yang menghentikan tangisnya, di saat orang lain membuatnya menangis. 

"Are you okay?" tanya Darren lembut.

Nara mengangguk, lalu beranjak duduk dibantu oleh Darren.

"Kamu mimpi yang sama lagi?" 

Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi karena jawabannya sudah pasti iya. Setiap kali Nara menangis dalam tidurnya, ia hanya akan memimpikan hari di mana ia meninggalkan bayinya yang tak berdosa. Hanya saja, Darren ingin memastikan. 

"Iya," jawab Nara singkat dengan anggukan dan mata yang berkaca-kaca.

Darren menghela nafasnya, "Menangislah, jika ingin menangis," ucapnya lembut dan hal itu berhasil mendorong air mata Nara keluar dari kelopak matanya. 

Wanita itu kembali menangis, Darren membawanya ke dalam dekapan yang selalu menghangatkan Nara. 

"Menangis tidak membuatmu lemah, justru ia akan menjadikanmu semakin kuat." Darren mengelus punggung Nara yang bergetar. 

"Jangan memendam semuanya sendiri karena Kamu punya aku untuk menumpahkan semua keluh-kesahmu, aku akan mendengarkan semuanya." 

Nara semakin tergugu mendengar ucapan Darren. Lelaki yang selalu memberikannya kehangatan itu paling bisa membuatnya semakin menangis, tetapi ia juga bisa meredakan tangis Nara. 

"Aska pasti membenciku, 'kan?" tanya Nara dengan suara serak. 

Aska adalah nama bayi Nara, Darren yang memberikannya karena mereka tidak tahu Keenan dan Rachel memberi nama apa untuk bayi malang yang harus kehilangan ibu kandungnya sehari setelah dilahirkan. 

Darren melerai pelukannya, memegang kedua bahu Nara dengan tatapan terkunci pada netra Nara yang basah. "Aska tidak akan membencimu. Dia anak baik, sama seperti kamu mamanya. Jadi, Aska pasti bisa mengerti dan menerima alasan kamu meninggalkannya." 

"Semoga aja," ucap Nara penuh harap. 

"Mandilah, aku sudah menyediakan air hangat untukmu," ucap Darren dengan senyum manisnya. 

"Kebalik, seharusnya aku yang menyediakan air hangat untukmu." Nara cemberut, membuat wajahnya terlihat imut di mata Darren. 

"Gak papa, sesekali," sahut Darren mengelus puncak kepala Nara dengan penuh kasih sayang. "Sana buruan, nanti Dara nyariin kamu," imbuhnya.

Dara Mahendra adalah putri kedua Nara bersama Darren. 

"Oh, iya. Aku hampir melupakan kalau aku juga punya Dara," ucap Nara merasa bersalah. 

Terlalu memikirkan Aska, terkadang membuatnya mengabaikan Dara. 

"Maafkan aku," sesal Nara.

"Gak papa, tapi jangan keseringan," sahut Darren dengan senyum lembutnya. 

Senyuman yang paling bisa membuat Nara tenang dan merasa bersalah sekaligus. Dalam kondisi apa pun, Darren tidak pernah marah. Lelaki itu hanya terus memahami dan memberikan senyuman setiap kali Nara melakukan kesalahan. 

Seperti saat ini, wanita itu melupakan keberadaan Dara—cinta kedua Darren. Anak mereka.

"Siap, bos!" Nara mengangkat tangannya ke atas, membuat gerakan hormat. Kemudian, wanita itu berlalu pergi ke kamar mandi.

Sementara itu, Darren menggelengkan kepalanya melihat tingkah Nara—wanita malang yang selalu menutupi kesedihan dengan keceriaan. 

Di depan semua orang, Nara akan memakai topeng. Menjadi wanita ceria demi menghalau kesedihan di hatinya. Tidak ada yang tau di balik senyum manis Nara tersimpan ribuan luka. 

Darren satu-satunya orang yang mengetahui duka dan luka dari pemilik hatinya. Tidak ada satu hal pun dari Nara yang tidak diketahui lelaki itu. 

"Papa!" 

Suara anak kecil diiringi dengan ketukan pintu membangunkan Darren dari lamunannya. 

"Sayang, aku tunggu di luar, ya. Dara nyariin aku," teriak Darren agar suaranya terdengar oleh Nara yang ada di dalam kamar mandi.

"Iya," sahut Nara. 

Darren keluar dari kamar disambut oleh anak kecil bermata bulat, "Kenapa, Sayang?" tanya Darren berjongkok di depan putrinya yang baru berumur empat tahun.

"Ayo sarapan, Dara lapar," ucap Dara. 

"Nungguin mama bentar lagi, ya," pinta Darren membujuk. "Kasian mama nanti makannya sendirian, gak ada temannya." 

"Oke, Papa," sahut Dara dengan ceria. 

Darren tersenyum, membawa Dara ke dalam gendongannya. 

"Kita tungguin mama di dapur aja sekalian siapin sarapannya, ya." 

"Siap, Papa." 

Darren mencium putrinya dengan gemas. Gadis kecil berusia empat tahun itu sama menggemaskannya dengan Nara. 

"Selamat pagi," sapa Nara yang baru saja memasuki dapur.

Wanita yang sudah berpakaian rapi itu menghampiri Darren dan Dara, lalu meninggalkan kecupan mesra di pipi mereka. 

"Pagi," sahut Darren dan Dara bersamaan dengan senyuman yang melekat di wajah keduanya.

Ketiganya menikmati ritual pagi mereka seperti biasa, menikmati sarapan dengan penuh kehangatan. 

Nara memperhatikan Dara dan Darren, dua orang yang selalu membuat nya bahagia. Keduanya bisa membuat Nara sejenak lupa akan pedihnya penderitaan di masa lalu karena harus meninggalkan bayinya.

"Jangan dipikirkan lagi," tegur Darren yang mengerti isi pikiran Nara. "Kalau kamu mau, aku bisa mencari tau tentang Aksa." 

"Jangan," tolak Nara dengan senyum kecut.

Nara tidak pernah mau, jika Darren menawarkan diri untuk mencari tau segalanya tentang Aksa. Bukan karena tidak menyayangi putranya itu. Justru karena Nara sangat menyayanginya.

Nara yakin, jika menerima tawaran itu … ia tidak akan sanggup berada jauh dari Aksa. Dan hal itu hanya akan membuatnya mengingkari janji pada Keenan dan Rachel.

Nara tidak akan pernah mau melakukannya. 

"Hari ini aku ada meeting terkait kedatangan klien dari Indonesia yang akan melihat-lihat desainku. Jadi, aku gak bisa makan siang bersamamu," ujar Nara memberitahu jadwalnya pada Darren.

"Indonesia?" gumam Darren. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status