***Aku memejamkan mata untuk menetralisir degup jantungku. Baru saja aku dan mas Rama saling melepaskan hasrat. Yah, kami memang baru selesai menyelami indahnya surga dunia setelah kepergian mas Rama untuk merantau selama kurang lebih dua minggu. "Mas," panggilku pada mas Rama. Saat ini kami masih sama-sama merebahkan diri di atas kasur king size di kamarku dan masih sama-sama belum memakai apa pun, hanya memakai selimut saja. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanya mas Ramaa. Kini wajahnya sudah menatapku. Aku pun kini menghadap ke arahnya dan juga menatapnya. "Aku boleh bertanya sesuatu? Mungkin ini agak sensitif tapi ini juga hal yang penting menurutku." "Ada apa memangnya?" "Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu sudah melakukan hubungan seperti kita ini dengan Zea?""Kok kamu tiba-tiba tanya begitu? Kenapa memangnya?" "Jawab saja dulu, sudah ataukah belum. Nanti akan aku jelaskan.""Belum." Degh. Belum? Itu artinya selama tiga bulan ini mereka ngapain aja kalau saat satu rumah? "Bel
***Adzan maghrib berkumandang. Aku dan mas Rama sudah siap dengan pakaian wajib kami untuk sholat berdua. Yah, beginilah yang kami lakukan jika mas Rama sedang berada di rumah. Alih-alih mas Rama berjamaah di masjid, dia lebih suka jika berjamaah di rumah saja berdua denganku. Katanya sih biar aku juga mendapatkan pahala shalat berjamaah juga. Ah, betapa romantisnya suamiku ini. Alhamdulillah, aku memang tidak salah memilih imam. Iqamat pun sudah dikumandangkan. Kini aku dan mas satria sudah bersiap di tempat kami masing-masing untuk melakukan ibadah shalat maghrib. "Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh.""Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh." Setelah salam ke kanan dan ke kiri, aku meraih tangan kanan mas Rama dan mencium takzim punggung tangan yang sudah beberapa tahun ini mencarikan dan memberikanku nafkah dengan sangat layak. Setelahnya aku menengadahkan tanganku dan berdoa kepada sang pencipta agar rumah tanggaku dengan mas Rama dilanggengkan hingga akhir hayat d
Aku dan mas Rama pun akhir nya mengarungi indahnya malam yang penuh bintang dengan hasrat halal yang menggebu-gebu. Setelah kelelahan kami berdua pun terlelap sembari berpelukan dan menutup tubuh polos kami dengan selimut tebal yang disediakan pihak hotel. ***"Jadi, berapa lama kira-kira kami mendapatkan sertifikat itu?" tanya mas Rama pada sang pengacara. Aku dan mas Rama memang sedang berada di kantor advokat yang tentunya sudah terpercaya di kota kami. Yah, pada akhirnya aku dan mas Rama benar-benar melakukan apa yang mas Rama janjikan kepadaku kemarin. "Kurang lebih satu minggu, Pak. Tidak terlalu memakan waktu yang lama. Tapi saya ingin tegaskan apakah Bapak sudah yakin untuk mengalihkan semuanya menjadi atas nama istri?" tanya pengacara yang bernama Ibrahim itu pada mas Rama. "Sangat yakin, kenapa memangnya, Pak? Kok sepertinya anda meragukan?" tanya mas Rama pada pak Ibrahim. "Tidak ada hanya saja saya perlu tekankan jika sudah menjadi atas nama istri Bapak maka segala se
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu Anin!" hardik mami dengan matanya yang sudsh melotot seolah-olah mata itu ingin sekali melompat dari tempatnya. "Lho, kok Mami nyalahin Anun? Kan Mami sendiri yang mau nyerang Anin? Anin dari tadi enggak ngapa-ngapain lho, Mi," ucapku dengan santai seolah-olah memang aku tidak bersalah. Eh, kan memang aku enggak salah sih? Hahahaha."Sialan kamu ya Anin! Sini kamu biar tak unyet-unyet jadi peekedel!" maki mami lagi sembari tangan tua itu ingin menggapai rambut panjangku dan mungkin saja ingin menariknya. Sebenarnya sih tenaga mami tentu saja tidak sebanding denganku, karena sudah pasti mami kalah tenaga dan kalah usia. Hanya saja sepertinya bermain sandiwara kali ini akan terasa menyenangkan. Baiklah aku akan bermain peran di depan mereka semua seolah-olah aku ini istri yang tersakiti. Yah, meski memang aslinya sudah tersakiti sih. "Mami, sebenarnya Anin ini punya salah apa sih sama Mami? Padahal Anin ini mnantu Mami sudah lama lho. Mami juga ken
***"Anin, Sayang, bangun dong, jangan bikin Mas khawatir." Aku mengerjapkan mata berkali-kali saat telingaku mendengar suara dari pria yang sangat kucintai. Tepukan pelan dapat kurasa di sekitar pipiku. "Mas," ucapku saat aku sudah tersadar sepenuhnya. Entah apa yang terjadi padaku karena yang kurasakan terakhir tadi aku merasakan perutku sangat mual seperti diaduk-aduk. Ditambah sekarang ini kepalaku terasa sangat pusing. "Anin, kamu sudah sadar Sayang?" tanya mas Rama sembari ia menangkup wajahku. Aku berusaha tersenyum tipis meski rasanya kepalaku masih sangat pusing."Mas aku kenapa?" tanyaku lirih. Sesekali aku meringis merasakan kepalaku ini. Namun, tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mas Rama. Aku kembali menatapnya dan bertanya lewat tatapan mataku ini. "Anin, terimakasih Sayang. Mas sangat bahagia sekali. Akhirnya apa yang kita impikan dan kita inginkan terwujud juga." Aku mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan mas Rama. Sungguh aku tidak mengerti dengan apa yang di
"Kenapa kamu diam, Zea? Berarti benar kan apa yang Mas Rama katakan?" tanyaku akhirnya pada Zea. "Apaan sih, Mbak Anin? Ikut campur aja deh urusan orang!" ketus Zea. Aku menatapnya sinis. Namun, tidak dengan mas Rama, dia tampak tidak suka dengan jawaban Zea."Hei Zea! Anin ini istriku! Istri sah secara agama dan negara! Jadi yang berhubungan denganku maka berhubungan juga dengannya. Paham kamu!" harfik mas Rama. "Sudahlah Rama, Mami rasa kalian hanya salah paham saja. Iya kan Zea? Mana mungkinlah seorang gadis baik-baik dancantik seperti Zea melakukan perbuatan hina seperti itu. Bukankah begitu Zea?" tanya ibu mertuaku sembari menatap pada Zea dan bergantian menatap ke arah kami. Zea dengan cepat mengangguk dan kembali berkata dengan percaya dirinya yang tinggi. "Tentu saja aku tidak akan melakukan itu, Mi, ini pasti bisa-bisa nya saja si Mbak Anin. Dia pasti iri karena Mami jauh lebih menyayangiku ketimbang dirinya," ucap Zea dengan pongahnya. Aku merasa tidak terima lantas aku
kini aku dapat tersenyum lega, sebab ponselku benar-benar berada di tangan mami. Zea terus saja meronta lantaran tangannya masih dicekal oleh mas Rama. "Mi jangan pernah percaya sama apa yng mereka berikan pada Mami! Mereka hanya ingin mengadu domba kita saja, Mi! Mas lepaskan aku! Akan kuberi pelajaran buat istrimu yang mandul itu!" pekik Zea sudah seperti orang kesetanan. Dapat kulihat wajah mami kini berubah menjadi pias. Warna kulitnya yang putih kini menjadi memerah mungkin saja karena malu atau marah karena video yang aku tunjukkan pada mami. Mata mami membulat sempurna melihat adegan demi adegan yang diputar di ponselku. Seketika saja mami secara tiba-tiba berjalan dengan cepat menuju kamar mandi dan dapat kudengar sura mami persis seperti orang sedang muntah-muntah. Apakah mami mual saat melihat video tak senonoh dari Zea dan rekan mainnya di ranjang? Entahlah, itu hanya mami yang tahu dan hanya mami yang rasakan. Karena aku pribadi sendiri pun sedikit mual karena melihat
POV Zea"Duduk di belakang atau kau pulang dengan berjalan kaki!"Dengan brutal perempuan sialan itu mendorongku. Untung saja tidak ada bagian tubuh yang kena luka serius. Kalau sampai kejadian demikian, aku tuntut si nenek lampir. Benar-benar perempuan titisan Dajjal. "Cepat duduk di belakang. Jangan buang-buang waktu kami!" sentak Rama. Dia meluapkan semua emosinya kepadaku. Emosi membara di hati. Ingin rasanya aku cekik nenek lampir itu. Namun, aku harus tenang. Jangan ceroboh menghadapi semua ini. Aku sudah kebobolan satu langkah. Akibat tidak hati-hati, kelakuan nekatku ketahuan mereka. Memang apes sekali hidupku. Lihat saja, seorang Z3a tidak akan menyerah begitu saja. "Bagus. Gitu dong dari tadi. Akui kekalahanmu," ujar Anin tersenyum penuh kemenangan. Bibirku melengkungkan senyum sinis. Mau tak mau, kali ini harus mengalah. Bukan karena takut menghadapi Mak lampir. Akan tetapi, saat ini, tak ada pilihan lain. Mereka berdua harus mengantarkanku ke rumah. Setidaknya, jika di