Share

bab 6. Jadikan Saja Umpan Lele

Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA.

"Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo.

Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas."

"Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?"

"Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku.

Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."

Aku menghela nafas panjang.

"Baiklah. Jadi apa yang harus aku lakukan?"

"Ajak mereka berdua bertemu dengan kamu secara khusus di sebuah restoran. Lalu bicarakan tentang tawaran itu. Pastikan tidak ada anak kamu."

"Lah, bagaimana cara aku mengajak keduanya makan bareng? Kalau mas Herman nggak mau?"

"Aku yakin bakal mau. Aku ada rencana, Din. Dan aku tahu kamu bisa mengeksekusinya!"

Fifi kemudian membisikkan rencananya ke telingaku. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Bagus rencana kamu, aku bisa kok melakukan improvisasi. Aku juga sudah menyadap W******p mas Herman." Aku mengacungkan kedua jempol.

"Nah ini baru Dinda yang kuat dan nggak menye-menye. Hidup istri sah! Memang pelakor yang nggak tahu malu itu harus dilenyapkan dari negara ini kalau perlu dari dunia.

Dan yah, kamu jangan sedih, jangan berlemah hati. Air mata kamu terlalu mahal untuk menangisi seorang pengkhianat. Kalau khawatir anak kamu nggak serumah lagi sama bapak kandungnya, jangan khawatir bilang saja kalau bapaknya sebenarnya masih ada hanya pindah rumah. Nanti dia pasti tahu alasan kamu berpisah dengan bapaknya."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Fi. Aku akan maju terus untuk mendapatkan hakku dan anakku!"

***

Aku baru saja pulang kafe, saat mendapati bi Inah sedang menyetrika baju.

"Bu Dinda, baru pulang?"

"Iya, Bi."

Aku melewati ruangan Bi Inah menyetrika dan menuju ke arah kulkas untuk mengambil air minum.

Bi Inah menatapku lama seolah ingin membicarakan sesuatu.

"Ada apa, Bi? Ada yang ingin dibicarakan?"

Bi Inah dengan tegang memberikan sebuah nota padaku.

"Tadi saya menemukan ini di saku celana pak Herman saat mencuci baju kotor, Bu. Tapi kenapa ...?"

Bi Inah menggantung kalimatnya dan mengulurkan secarik kertas warna putih padaku.

Dengan mengerutkan dahi aku menerima kertas itu dan seketika aku mendelik. Kertas itu adalah nota pembelian gelang emas atas nama Dita Rahmawati dengan tanggal yang sama dengan pembelian gelang emasku. Aku menelan ludah.

'Bagus! Ini bisa menjadi tambahan bukti kalau mas Herman menyeleweng!'

Mas Herman memang membelikanku gelang emas saat hari ulang tahun ku dan dia juga memberikan notanya padaku.

Pasti mas Herman memberikan gelang yang sama pada Dita tapi dia tidak memberikan notanya.

"Bu, maaf kalau saya lancang. Kenapa pak Herman membelikan gelang emas atas nama Dita? Apa semua baik-baik saja?" tanya Bi Inah dengan nada khawatir.

Aku tersenyum. Bi Inah ini memang dekat denganku. Kadang aku merasa dia sudah seperti tante untukku.

"Bi Inah tidak usah khawatir. Kalau pun terjadi sesuatu, saya sudah siap dan tidak akan terjatuh. Terima kasih nota ini diberikan pada saya. Saya ke kamar dulu ya."

"Baiklah, Bu Dinda. Semoga semuanya baik-baik saja."

"Aamiin. Oh ya, jangan lupa nanti saat pulang, Bi Inah bawa semua lauk yang ada di meja makan ya?"

"Baik, Bu. Bi Inah mengerti."

Aku tersenyum dan berlalu dari ruangan menyetrika. Sebenarnya ruangan itu adalah sebuah kamar kosong yang khusus berisi tempat baju-baju yang sudah kering dan belum dilipat. Jadi sekalian kufungsikan sebagai tempat menyetrika.

*

Aku masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu. Merebahkan diri di ranjang yang bertahun-tahun menjadi saksi aku dan mas Herman yang saling mencintai.

Kuamati lagi nota itu. Ah, masih ada perih di hati. Aku belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan ku. Kenapa mas Herman selingkuh setelah perjuangan yang kita lewati bersama.

Aku meraih ponsel dan mengecek W******p milik mas Herman yang telah kusadap.

Ternyata ada beberapa pesan yang sudah dibaca tapi belum dihapus oleh mas Herman dari kontak yang bernama Dito.

[Sayang, istri kamu menjengkelkan banget. Masa aku mau numpang berangkat kerja aja nggak boleh?]

[Sayang, kan kita sudah sepakat akan merahasiakan hubungan kita? Kamu jangan seperti tadilah. Nanti Dinda bisa curiga.]

[Tapi kamu kan sudah berjanji akan menikahiku, Mas? Apa kamu sudah lupa pada janjimu? Kita sudah melakukan hubungan ranjang lho.]

[Astaga, iya. Iya. Aku pasti menepati janji untuk menikahi mu. Aku juga harus mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Dinda, agar dia tidak kaget sekaligus mengijinkan kita menikah.]

[Kapan, Mas? Jangan lama-lama. Aku mau segera resmi menjadi milikmu. Pemilik kontrakan yang kutinggali semakin gencar ingin menjadikanku istri kedua.]

[Iya. Nanti aku pasti bilang. Mungkin setelah anniversary pernikahan kami ya? Kamu sabar dulu.]

[Oke. Aku tunggu lamaran kamu, Mas. Ngomong-ngomong kamu enggak kangen aku? Masa jatah buat aku cuma dua hari seminggu?]

[Sabar dulu. Minggu ini Dinda baru aja dinas malam dan sekarang libur dinas. Selain dinas malam, Dinda kan di rumah terus.]

[Ya sudah sekarang aku mengalah. Kalau aku sudah menjadi istri mu yang sah, aku mau kamu harus membagi waktu dan gajimu yang adil padaku!]

[Iya, sayang. Kamu jangan khawatir. Aku pasti adil. Sudah ya, aku kerja dulu. Mau ada rapat hari ini.]

[Hm, aku maunya malam ini kamu pamit lembur dan di hotel sebentar sama aku sebelum kamu pulang ke rumah, Mas!]

Aku mengepalkan tangan. Hanya sampai di situ pesan percakapan mereka dalam aplikasi hijau. Mas Herman tidak menjawab chat sari Dita lagi. Pelakor itu benar-benar tidak tahu malu. Tapi mas Herman tidak meminta ijin lembur padaku. Kemungkinan dia menolak tawaran Dita.

***

"Bu, Bu! Itu tuh lihat! Pak Andre datang dengan mbak Dita. Kayaknya pak Andre menjemput mbak Dita dari warung terus diajak belanja. Wah, lihat saja barang yang dibawa mbak Dita dari dalam mobil pak Andre. Banyak banget," bisik Bi Inah di teras rumahku, sesaat sebelum berpamitan pulang karena hari sudah sore.

Aku tersenyum dan meraih ponsel, mengambil foto mereka diam-diam, lalu mengirimkan nya ke nomor Bu Cici, istri dari pak Andre. Untung saja saat bertetangga dulu, kami sempat akrab dan saling bertukar nomor ponsel. Bahkan kami masih tergabung dalam satu grup arisan sampai sekarang walaupun setelah Bu Cici pindah ke kecamatan lain.

Dan tak lama kemudian, seperti ku duga, Bu Cici segera menelepon ku.

"Halo, Bu Dinda."

"Halo, Bu Cici. Sudah melihat foto yang saya kirim?"

"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!"

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status