Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA.
"Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo.Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku.Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku menghela nafas panjang."Baiklah. Jadi apa yang harus aku lakukan?""Ajak mereka berdua bertemu dengan kamu secara khusus di sebuah restoran. Lalu bicarakan tentang tawaran itu. Pastikan tidak ada anak kamu.""Lah, bagaimana cara aku mengajak keduanya makan bareng? Kalau mas Herman nggak mau?""Aku yakin bakal mau. Aku ada rencana, Din. Dan aku tahu kamu bisa mengeksekusinya!"Fifi kemudian membisikkan rencananya ke telingaku. Aku mengangguk dan tersenyum."Bagus rencana kamu, aku bisa kok melakukan improvisasi. Aku juga sudah menyadap W******p mas Herman." Aku mengacungkan kedua jempol."Nah ini baru Dinda yang kuat dan nggak menye-menye. Hidup istri sah! Memang pelakor yang nggak tahu malu itu harus dilenyapkan dari negara ini kalau perlu dari dunia.Dan yah, kamu jangan sedih, jangan berlemah hati. Air mata kamu terlalu mahal untuk menangisi seorang pengkhianat. Kalau khawatir anak kamu nggak serumah lagi sama bapak kandungnya, jangan khawatir bilang saja kalau bapaknya sebenarnya masih ada hanya pindah rumah. Nanti dia pasti tahu alasan kamu berpisah dengan bapaknya."Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Fi. Aku akan maju terus untuk mendapatkan hakku dan anakku!"***Aku baru saja pulang kafe, saat mendapati bi Inah sedang menyetrika baju."Bu Dinda, baru pulang?""Iya, Bi."Aku melewati ruangan Bi Inah menyetrika dan menuju ke arah kulkas untuk mengambil air minum.Bi Inah menatapku lama seolah ingin membicarakan sesuatu."Ada apa, Bi? Ada yang ingin dibicarakan?"Bi Inah dengan tegang memberikan sebuah nota padaku."Tadi saya menemukan ini di saku celana pak Herman saat mencuci baju kotor, Bu. Tapi kenapa ...?"Bi Inah menggantung kalimatnya dan mengulurkan secarik kertas warna putih padaku.Dengan mengerutkan dahi aku menerima kertas itu dan seketika aku mendelik. Kertas itu adalah nota pembelian gelang emas atas nama Dita Rahmawati dengan tanggal yang sama dengan pembelian gelang emasku. Aku menelan ludah.'Bagus! Ini bisa menjadi tambahan bukti kalau mas Herman menyeleweng!'Mas Herman memang membelikanku gelang emas saat hari ulang tahun ku dan dia juga memberikan notanya padaku.Pasti mas Herman memberikan gelang yang sama pada Dita tapi dia tidak memberikan notanya."Bu, maaf kalau saya lancang. Kenapa pak Herman membelikan gelang emas atas nama Dita? Apa semua baik-baik saja?" tanya Bi Inah dengan nada khawatir.Aku tersenyum. Bi Inah ini memang dekat denganku. Kadang aku merasa dia sudah seperti tante untukku."Bi Inah tidak usah khawatir. Kalau pun terjadi sesuatu, saya sudah siap dan tidak akan terjatuh. Terima kasih nota ini diberikan pada saya. Saya ke kamar dulu ya.""Baiklah, Bu Dinda. Semoga semuanya baik-baik saja.""Aamiin. Oh ya, jangan lupa nanti saat pulang, Bi Inah bawa semua lauk yang ada di meja makan ya?""Baik, Bu. Bi Inah mengerti."Aku tersenyum dan berlalu dari ruangan menyetrika. Sebenarnya ruangan itu adalah sebuah kamar kosong yang khusus berisi tempat baju-baju yang sudah kering dan belum dilipat. Jadi sekalian kufungsikan sebagai tempat menyetrika.*Aku masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu. Merebahkan diri di ranjang yang bertahun-tahun menjadi saksi aku dan mas Herman yang saling mencintai.Kuamati lagi nota itu. Ah, masih ada perih di hati. Aku belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan ku. Kenapa mas Herman selingkuh setelah perjuangan yang kita lewati bersama.Aku meraih ponsel dan mengecek W******p milik mas Herman yang telah kusadap.Ternyata ada beberapa pesan yang sudah dibaca tapi belum dihapus oleh mas Herman dari kontak yang bernama Dito.[Sayang, istri kamu menjengkelkan banget. Masa aku mau numpang berangkat kerja aja nggak boleh?][Sayang, kan kita sudah sepakat akan merahasiakan hubungan kita? Kamu jangan seperti tadilah. Nanti Dinda bisa curiga.][Tapi kamu kan sudah berjanji akan menikahiku, Mas? Apa kamu sudah lupa pada janjimu? Kita sudah melakukan hubungan ranjang lho.][Astaga, iya. Iya. Aku pasti menepati janji untuk menikahi mu. Aku juga harus mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Dinda, agar dia tidak kaget sekaligus mengijinkan kita menikah.][Kapan, Mas? Jangan lama-lama. Aku mau segera resmi menjadi milikmu. Pemilik kontrakan yang kutinggali semakin gencar ingin menjadikanku istri kedua.][Iya. Nanti aku pasti bilang. Mungkin setelah anniversary pernikahan kami ya? Kamu sabar dulu.][Oke. Aku tunggu lamaran kamu, Mas. Ngomong-ngomong kamu enggak kangen aku? Masa jatah buat aku cuma dua hari seminggu?][Sabar dulu. Minggu ini Dinda baru aja dinas malam dan sekarang libur dinas. Selain dinas malam, Dinda kan di rumah terus.][Ya sudah sekarang aku mengalah. Kalau aku sudah menjadi istri mu yang sah, aku mau kamu harus membagi waktu dan gajimu yang adil padaku!][Iya, sayang. Kamu jangan khawatir. Aku pasti adil. Sudah ya, aku kerja dulu. Mau ada rapat hari ini.][Hm, aku maunya malam ini kamu pamit lembur dan di hotel sebentar sama aku sebelum kamu pulang ke rumah, Mas!]Aku mengepalkan tangan. Hanya sampai di situ pesan percakapan mereka dalam aplikasi hijau. Mas Herman tidak menjawab chat sari Dita lagi. Pelakor itu benar-benar tidak tahu malu. Tapi mas Herman tidak meminta ijin lembur padaku. Kemungkinan dia menolak tawaran Dita.***"Bu, Bu! Itu tuh lihat! Pak Andre datang dengan mbak Dita. Kayaknya pak Andre menjemput mbak Dita dari warung terus diajak belanja. Wah, lihat saja barang yang dibawa mbak Dita dari dalam mobil pak Andre. Banyak banget," bisik Bi Inah di teras rumahku, sesaat sebelum berpamitan pulang karena hari sudah sore.Aku tersenyum dan meraih ponsel, mengambil foto mereka diam-diam, lalu mengirimkan nya ke nomor Bu Cici, istri dari pak Andre. Untung saja saat bertetangga dulu, kami sempat akrab dan saling bertukar nomor ponsel. Bahkan kami masih tergabung dalam satu grup arisan sampai sekarang walaupun setelah Bu Cici pindah ke kecamatan lain.Dan tak lama kemudian, seperti ku duga, Bu Cici segera menelepon ku."Halo, Bu Dinda.""Halo, Bu Cici. Sudah melihat foto yang saya kirim?""Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!"Next?"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den
"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge
Sejenak wajah Herman tercengang. Dia menghela nafas panjang. "Aku ... aku hanya asal menebaknya, Ma. Sepertinya aku terlalu banyak bekerja sehingga asbun, asal bunyi, dan asma, asal mangap saja. Maafkan aku," ucap Herman lirih dengan memijit pangkal keningnya. "Hm, ya sudah. Aku buatin teh hangat dulu ya? Nanti pas mandi, pakai air hangat saja. Kan tinggal menyalakan shower," ujar Dinda berlalu ke arah dapur. Herman termenung sesaat lalu segera menuju ke kamarnya mencari kabel isi ulang daya.Dengan sabar, dilihatnya ponsel nya walaupun terus menerus menampilkan layar hitam karena ponselnya masih dalam keadaan ma ti. "Mas, tehnya sudah siap," ujar Dinda yang muncul dari pintu kamar nya. Ponsel yang dipegang Herman seketika nyaris jatuh karena dia terkejut mendengar sapaan Dinda. "Eh, kamu, Ma." "Heem. Ini tehnya." Dinda meletakkan cangkir teh yang beraroma melati di atas nakas. "Terima kasih, Ma.""Sama-sama. Oh ya, dari tadi, kuperhatikan kamu menatap ke ponsel kamu terus, Ma
"Selamat terpuruk, Dit. Kamu harus merasakan kesakitan yang jauh lebih parah dari yang kurasakan sekarang!"Dinda menyeringai lalu menghapus pesan yang tadi diketiknya untuk Dita, sekaligus pesan balasan dari janda itu. Dia lalu bangkit dan menuju ke lemari baju tempat menyimpan berbagai sertifikat aset dan BPKB mobilnya. Dinda kemudian berjalan mengendap-endap dengan membawa map yang berisi dokumen itu lalu menyimpan nya di lemari baju milik Windi. Dengan perlahan-lahan Dinda kembali ke kamarnya lalu merebahkan diri di ranjang dan menghela nafas panjang. Mempersiapkan dan memantapkan hati serta menata penjelasan yang akan diberikan pada orang tuanya, orang tua Herman, sekaligus pada Windi, anaknya tentang perpisahan yang sudah terpampang di depan mata. Hingga tak terasa dia terlelap dalam buaian mimpi.***Dinda terbangun saat pipi nya ditepuk-tepuk lembut oleh tangan Herman."Bangun, Sayang."Dinda membuka mata nya yang nyaris terasa berat. "Happy anniversary pernikahan kita yang
"Selamat malam, Dita. Saya sudah menunggumu dari tadi. Ayo, masuk dulu," sapa Dinda ramah pada Dita yang memucat. Dita tercengang melihat wajah Dinda yang di hadapannya. Dia terdiam dan terpaku di depan kamar hotel."Kok B-bu Dinda di sini?" tanya Dita terbata-bata. "Yah, saya di sini karena memang saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu dan suami ...""Lama banget, Yang ... lho kamu ..." Suara Herman terhenti saat melihat Dita yang berdiri dengan gugup di depan pintu kamar hotelnya. Dita pun menatap balik ke arah Herman yang hanya mengenakan handuk di bagian pinggang. Herman dan Dita saling berpandangan dengan bingung. Dinda tersenyum. "Masuklah, Dit. Ada yang ingin kubicarakan dengan kalian."Dita menggelengkan kepalanya perlahan. Lelaki itu berdiri di belakang punggung Dinda sehingga Dinda tidak bisa melihat ke arah wajah Herman, hanya Dita yang berdiri di hadapannya lah yang bisa memandang Herman dengan jelas. "Sa-saya pasti salah kamar. Saya tadi kesini untuk bertemu d
"Hah? Malam-malam begini?"Sejenak keraguan terlihat di wajah Dinda. "Kalau tidak malam ini, lalu kapan aku mengatakan nya pada mertuaku? Aku takut kalau aku menunda pembicaraan ini, bisa-bisa mas Herman menjemput Windi dan menjadikan nya senjata untuk melemahkan niatku," ujar Dinda.Fifi menghela nafas. "Yah, kamu benar. Kalau kamu nggak menjemput anak kamu, dikhawatirkan nanti Herman membawa dan menyembunyikan anak kamu agar tuntutanmu pada Herman dibatalkan. Tapi sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Apa mertua kamu tidak tidur?" tanya Fifi sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan nya. Dinda pun melemparkan pandangan nya di sekeliling halaman depan sebagai tempat parkir hotel yang sudah sepi. Hanya beberapa mobil yang terparkir di sana tanpa manusia dan tiga orang satpam di pos depan. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku harus ke rumah mertuaku sekarang, Fi.""Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika terjadi sesuatu padamu," ucap Fifi seraya masuk ke dalam mo
"A-aku harus apa tadi?""Menunggu mamiku opname.""Kenapa harus aku? Kan bisa saja ...""Siapa? Dinda? Aku dan Dinda kan sedang dalam proses cerai karena kamu dan sekarang kenapa kamu yang sewot dan tidak mau menunggu ibuku?""Lho, kamu kok jadi nyalahin aku sih?" protes Dita. Dia sebenarnya agak malu dan gengsi karena di hadapannya ada pemilik warung yang menatapnya dengan kesal, apalagi panggilan telepon nya diaktifkan secara loud speaker. "Sudah, sudah! Kalau kamu mencintai aku, seharusnya kamu mencintai mamiku juga! Dan ... Kalau kamu tidak mau menunggui mamiku opname, kembalikan gelang emas yang sudah kuberikan padamu!""Astaga! Kamu pelit sekali!""Bukan pelit tapi aku menggunakan logika. Kamu harus ke rumah sakit Griya Sehat, paviliun mawar. Aku sudah dalam perjalanan ke kantor karena ada meeting penting!"Dita melongo saat Herman memutuskan panggilan teleponnya secara sepihak. "Mas, Mas Herman! Tunggu ...!"Tut! Tut! Tut!Dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dilukiskan deng