Ucapan Axel membuyarkan prikiran Raline yang tengah membayangkan reaksi kedua orang tuanya atas kejutan yang ia bawa. Ia sampai tergagap karena Axel tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya setelah sepanjang perjalanan ia diam seperti patung. Bagaimana ia tidak kaget coba?
"Hah... heh... hah... heh... lo kebanyakan bengong mantan pacar Heru," ketus Axel kesal.
"Gue tanya, apa yang akan lo katakan pada nyokap bokap lo mengenai kedatangan gue." Axel mencoba memperpanjang kesabarannya. Menghadapi orang rada-rada oneng seperti Raline memang memerlukan kesabaran ekstra.
"Oh, bilang dong dari tadi!" Raline berdecak. Karakter Axel ini membingungkan. Kalau diam seperti orang bisu. Tapi sekalinya membuka mulut, marah-marah melulu.
Breath in, breath out, sabar Axel. Ini orang memang mengesalkan. Tapi, dia juga calon istri lo. Lo harus mulai belajar sabar sampai mengalahkan Bang Sabaruddin, tujang ojek pengkolan.
"Gue akan bilang pada mereka kalo lo akan menukar gue dengan uang dua milyar rupiah. Bener 'kan?" Raline tersenyum lebar. Memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Ia bahagia karena akan terbebas dari keharusan dinikahi oleh seorang aki-aki. Tawa lebarnya membuat matanya yang sipit, making melengkung serupa bulat sabit.
"Ya Tuhan! Tolong jangan buat hamba kepingin menembak kepala calon istri hamba sendiri," desah Axel putus asa.
Axel meremas kemudi geram. Ia memang sudah merasa kalau Raline ini rada-rada oneng.
Namun, ia sama sekali tidak menyangka kalau tingkat keonengan Raline ini sudah sampai pada stadium akhir, alias akut. Bisa bubar jalan kalau Raline dibiarkan bicara sendiri di depan kedua orang tuanya nanti."Bukan begitu konsepnya, mantan pacar He--"
"Stop! Jangan menyanding-nyandingkan nama Heru dengan gue lagi. Heru udah bersanding di pelaminan dengan perempuan lain. Dengan adik lo malahan. Sebut nama gue langsung apa susahnya sih?" Raline melotot.
Perempuan itu memperhatikan sedari tadi Axel ini jarang sekali menyebut namanya. Cuma sekali, sepertinya.Sisanya, Axel hanya memanggilnya dengan sebutan pelakor atau mantannya Heru. Seperti inilah Heru selalu menjulukinya, apabila mereka tidak sengaja bertemu.
Axel menghitung satu sampai sepuluh dalam hati. Mempertimbangkan apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya, atau mencari alasan lain.
"Memang susah. Karena gue sekarang sudah lupa lagi dengan nama lo. Gue memang payah mengingat nama orang-orang baru."
Axel memutuskan mengatakan yang sejujurnya. Ia memang acapkali lupa dengan nama orang-orang baru. Apalagi, nama yang susah-susah panggilannya.
"Heh? Lupa nama gue?" Raline menunjuk hidungnya sendiri. Ia heran Axel yang masih muda sudah pelupa akut. Bagaimana nanti kalau mereka berdua sudah menjadi kakek dan nenek? Masa iya Axel masih memanggilnya dengan sebutan mantan si Heru? Mengenaskan!
"Nama gue Raline. Tadi lo inget. Sekarang kenapa bisa lupa sih? Lo belum kakek-kakek udah pelupa." Raline mengejek Axel.
"Eh nama Heru, itu lo inget. Kagak baik lo, lupa nama orang pake milih-milih dulu." Raline memberengut. Axel memang selalu sentimen padanya.
"Eh Alkaline. Heru udah gue kenal dari kapan tahun. Makanya, gue inget namanya. Nah elo? Gue kenal lo cuma dalam hitungan hari. Lo kagak nyimak gue ngomong apa tadi?"
Axel mencengkram kemudi kian erat. Kekuatannya bersabar telah sampai di titik nadir. Mantan pacar Heru ini, selain oneng juga bawel. Protes melulu lagi.
"Nama gue Raline. Bukan Alkaline. Alkaline itu merek batere." Raline sampai mau menangis saking kesalnya.
Masa namanya disetarakan dengan merek batere? Itu cuma nama depan tok. Pun Axel bisa lupa. Apalagi jika ia menyebut nama lengkapnya Raline Raharjo Soeryo Soemarno. Bisa dipanggil Sumo ia oleh si Axel pelupa ini.
"Udah, sama aja itu. Ada Line... Line-nya. Mirip." Axel mengibaskan tangannya ke udara.
"Mirip dari mana? Lo sembarangan aja mengganti nama orang. Tidak pakai bubur putih Bubur merah lagi." Raline masih belum terima kalau namanya diganti sembarangan.
"Eh tadi lo bilang kalo gue kagak nyimak? Nyimak apaan? Emang lo ngomong apaan tadi?" Raline mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apa saja yang dikatakan oleh Axel tadi. Namun, ia tidak menemukan benang merahnya.
Axel mengelus dada.
Sudahlah. Lebih baik, ia fokus pada tujuan.
Ia tidak mau meladeni omongan yang tidak ada ujung pangkal Alkaline eh Raline lagi. Syukurlah, akhirnya ia ingat kembali nama gadis ini.
"Udah diem. Lo jangan ngomong lagi. Gini aja. Ntar sesampainya kita di rumah lo, gue aja yang ngomong sama bokap nyokap lo. Lo cukup mingkem dan jangan mengeluarkan sepatah kata pun sebelum gue izinin." Axel mencari jalan aman.
Daripada ia naik darah dan semua rencana berantakan, lebih naik dirinya yang memegang kendali.
"Ogah!" Raline menggeleng cepat. "Ntar lo bilang yang jelek-jelek soal gue, gue kagak bisa membantah." Raline protes. Ia takut kalau Axel nanti menjelek-jelekkannya di depan kedua orang tuanya, sementara ia tidak bisa membela diri. Soalnya ia sudah janji tidak akan bersuara.
"Gue nggak akan ngejelek-jelekin lo," sahut Axel enteng seraya kembali menjalankan mobil.
"Soalnya lo udah jelek dari sononya," imbuh Axel lagi.
Axel bersiap-siap menerima amukan Raline.
Perempuan di mana-mana pasti histerus kalau dikata-katai jelek.
Toh, ia memang sengaja. Ia memerlukan pemanasan sebelum berkonfrotasi dengan kedua orang tua Raline, dan mungkin juga orang yang dipanggil Pak Riswan.
Dirinya adalah type orang yang terlambat panas. Kalau memakai istilah Erick, ia seperti mesin diesel. Panasnya naik pelan-pelan dan baru meledak belakangan. Untuk itu, ia harus mencuri start duluan.
"Iya, gue emang jelek kayaknya ya? Cuma selama ini orang-orang pada kagak enak hati aja mengatakannya di depan mata gue. Kalo lo kan bukan orang. Tapi, mafia. Makanya bacot lo kagak ada saringannya," tukas Raline lesu.
Kedua bahunya melorot. Ia baru menyadari satu hal. Pasti dirinya jelek, makanya ia bolak-balik ditinggal pacar.
Axel melirik ke samping dengan sudut mata. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat reaksi sedih bin pasrah seperti ini dari Alkaline eh Raline.
Perasaannya menjadi tidak enak. Seperti rasa bersalah yang tidak ingin ia akui.
"Lo jelek di mata orang yang tidak tepat. Kalo di mata orang yang tepat, lo cantik juga kok."
Apa boleh buat? Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ia sudah membuat Raline kecil hati. Untuk itu ia harus membesarkan hati Raline kembali. Inilah yang disebut dengan konsekuensi.
"Begitu, ya? Karena lo sudah berani melamar gue, itu artinya lo sudah menganggap gue tepat. Jadi di mata lo. Gue ini cantik, dong?" Raline meminta pengakuan Axel.
Namun, yang dimintai pengakuan berdecak tidak nyaman.
Breath in, breath out. Berbesar hatilah Axel. Jadi laki-laki itu harus konsisten. Kalau sudah mengatakan satu, maka sampai mati pun harus tetap bilang satu.
"Iya, lo cantik di mata gue. Dan hanya gue seorang yang boleh lo percaya, kalau gue bilang lo itu cantik. Apabila ada orang lain yang mengatakannya, mereka bohong. Karena mereka bukan orang yang tepat untuk lo. Ngerti lo?" dikte Axel lagi.
"Mengerti." Raline mengangguk takzim. "Hanya lo yang boleh gue percaya kalo lo bilang gue ini cantik."
Raline tersenyum lebar di antara kedua matanya yang terasa makin panas. Suhu tubuhnya naik lagi sepertinya.
Semoga saja, Axel segera membayar hutang pada Pak Riswan. Dengan begitu ia bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Sejenak Axel termangu. Gadis ini kalau tersenyum girang begini, manis juga.
Wajah antagonisnya berubah lucu. Matanya yang sipit berubah seperti bulan sabit.Hilang sudah aura jahatnya. Cara berbicaranya mirip Marilyn lagi. Oneng- oneng menggemaskan.'Lo mikir apa sih, Axel? Marilyn itu udah jadi istri orang!' Axel mendecakkan lidah.Ia kembali menjalankan kendaraan. Sepertinya, rencananya akan lancar jaya.Gadis di sampingnya ini tidak akan menginterupsi apapun yang dikatakannya. Ia yakin gadis ini akan diam saja, terkait apa yang sudah ia perintahkan tadi.Mengapa ia yakin kalau gadis ini tidak akan melanggar janjinya? Jawabannya insting.
Menjadi seorang mafia yang berkecimpung di dunia kelam dan berhadapan dengan 1001 sifat orang, membuatnya piawai membaca situasi.Ada dua hal yang membuat Axel yakin gadis ini akan patuh.Pertama, gadis ini tadi langsung protes kala ia perintahkan tidak boleh berbicara. Gadis ini takut kalau dirinya tidak bisa membela diri apabila diceritakan tidak dengan semestinya. Dari hal ini saja, Axel telah mendapat satu gambaran. Gadis ini patuh pada peraturan. Kalau ia ingin membangkang, pasti ia tidak akan protes. Ia baru akan beraksi di saat ada kesempatan.
Yang kedua, dari masalah puji memuji kecantikan tadi. Air muka Raline memperlihatkan kepercayaan mutlak atas kata-katanya. Oleh karenanya Axel sangat yakin kalau semuanya akan aman terkendali. Intuisinya jarang salah dalam membaca karakter orang.
***
"Stop. Ini rumah gue." Raline meminta Axel menghentikan laju mobil.
Seperti yang sudah ia perkirakan, Pak Riswan sudah berada di rumahnya.Hal itu ia tandai dengan mobil hitam mewah yang terlihat parkir di halaman.Raline mengenalinya sebagai mobil Pak Riswan.Pria itu biasa berkunjung dengan mobil ini beserta supir dan dua orang bodyguardnya. Pak Riswan tidak pernah datang sendirian. Mungkin, Pak Riswan takut apabila ia terserah stroke, tidak ada orang yang akan menggotong-gotongnya ke rumah sakit.Sebelum turun, Raline ingin memastikan sesuatu karena dirinya sudah berjanji untuk tidak membuka mulut di dalam rumah nanti pada Axel.
"Seperti yang gue bilang tadi, Pak Riswan sudah ada di dalam. Jadi, kita harus bagaimana?"
Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?" "Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel."Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline."Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline."Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang. "Kagak usah!" bantah Axel."Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel."Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan. "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily! "Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini. "Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel. "Oke. Ra--line." Axel balas berbisik. "Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan. "Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengulti
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si