"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh.
Axel terlihat mengangguk singkat.
"Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran.
Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ....
"Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."
****
Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor.
Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.
Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak lembab oleh keringat.
Sungguh, ia lelah lahir batin.
Sejak pukul delapan pagi tadi, tidak terhitung sudah berapa kali ia keluar masuk kantor-kantor demi mencari pekerjaan.
Kantor-kantor itu juga bukan sembarang kantor. Melainkan kantor-kantor rekanan ayahnya sebelum ayahnya jatuh bangkrut.
Raline mengira, dengan melamar pekerjaan di kantor-kantor yang dulu pernah dibantu oleh ayahnya, niscaya dirinya akan diterima. Minimal dimudahkan segala sesuatunya.
Tapi apa mau dikata? Seperti semboyan yang selalu digaungkan ayahnya, hidup itu keras, memang benar adanya. Teman memang teman. Saudara adalah saudara. Tetapi uang tidak mengenal teman dan saudara.
"Mas Axel sudah membayar hutang-hutang ayah pada Pak Riswan. Beserta bunga tambahan pula. Maka, urusan Mas Axel pada kita sudah selesai. Jadi Raline harap, ayah jangan lagi meminta-minta apapun pada Mas Axel. Khususnya meminta uang. Tolong, punguti sedikit saja harga diri yang masih ada di diri kita. Mas Axel sudah tahu kalau Raline ini bodoh. Ayah jangan menambahi kekurangan Raline ini dengan menjadi calon mertua pemeras. Nanti nilai Raline di mata Mas Axel merah semua karena tidak ada bagus-bagusnya. Mengerti, Yah?"
"Ayah mengerti, Line. Tapi keuangan kita benar-benar sedang sekarat. Tagihan listrik dan air kita sudah menunggak. Mungkin sebentar lagi keduanya akan diputus. Debt collector juga sudah berkali-kali mempermalukan ayah, karena tidak bisa membayar cicilan. Bahkan sekarang untuk makan saja kita terancam. Kamu tahu akan hal itu, tidak?"
"Raline tahu, Yah. Untuk itu Raline akan mencari pekerjaan demi kelangsungan hidup kita. Ayah sabar saja. Raline akan berusaha sekuat tenaga."
"Hidup ini keras Raline. Kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami di luar tembok nyaman rumah kita ini. Ayah yakin, kamu akan menyerah sebelum mulai berjuang. Ayah sangat mengenalmu. Jangan memaksakan diri. Kamu itu terlahir sebagai putri raja. Bukan rakyat jelata. Kamu tidak akan sanggup menghadapi kekejaman di luar sana."
"Kalau belum dicoba, kita tidak akan tahu hasilnya seperti apa, Yah. Yakinlah, Raline pasti akan berhasil. Semangati dan doakan saja Raline, Yah."
Dalam keadaan putus asa seperti ini, peringatan kerasnya pada sang ayah kemarin kembali terngiang-ngiang di benak Raline. Dirinya sendiri yang bersikukuh akan menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karenanya ia tidak boleh menyerah!
Memikirkan omong besarnya pada sang ayah kemarin, kembali melecut semangat Raline.
Apa yang terjadi, terjadilah.
Mau kerja apapun, terserahlah asal halal dan ada uangnya.Yang penting, ia mau usaha.Hasil akhirnya, biar Tuhan saja yang memperhitungkannya.Soalnya, masalah hitung menghitung, dirinya memang parah.Jadi, daripada salah hitung lebih baik ia menyerah saja.Kalau Tuhan yang turun tangan, alamat aman semua. Bukankah Tuhan itu Maha adil dan sempurna?
Setelah berdialog dengan dirinya sendiri, Raline kembali semangat 45.Ia melanjutkan langkah ke trotoar. Lebih baik ia menunggu angkutan umum di halte depan. Ia akan kembali mencoba melamar pekerjaan di sekitar jalan Gatot Subroto.
Di sana banyak sekali perkantoran-perkantoran elit.Mudah-mudahan saja, di antara puluhan kantor yang berjejer, ada satu yang mau menerimanya.
Jikalau tidak menjadi tenaga marketing seperti yang diinginkannya, menjadi OG pun dirinya rela.
Yang penting, ada gajinya.OG itu juga pekerjaan penting. Bayangkan, akan jadi apa sebuah kantor kalau tidak ada OG-nya? Riweuh bukan?
Jadi, kedudukan OG dan staff kantor itu sama pentingnya. Yang berbeda cuma di masalah gajinya. Titik.
Ternyata, halte dalam keadaan sepi.
Suasana siang bolong yang terik seperti ini, pasti membuat orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah atau kantor. Tidak seperti dirinya yang harus hilir mudik berganti kendaraan umum demi melamar pekerjaan.
Cuaca yang panas membuat Raline berkeringat. Aliran air yang keluar dari pori-pori tubuhnya membuat dalamannya lembab.
Istimewanya, ia mengenakan setelah blazer berbahan tweed. Panasnya luar biasa!
Rambutnya pasti juga sudah lepek karena keringat.
Ditambah, rasa lapar yang memilin-milin perutnya Raline merasa sungguh tersiksa.
Menjadi orang miskin seperti ini rupanya. Pantas saja banyak sekali orang yang melakukan kejahatan demi uang, agar bisa hidup enak. Contohnya adalah para koruptor dan yah, ayahnya sendiri. Ia harus jujur dalam hal ini.
"Akhirnya bisa makan juga. Alhamdullilah." Kursi Raline bergoyah pelan. Seorang remaja laki-laki berkostum badut, duduk di sebelahnya.
Remaja laki-laki itu menenteng sebuah bungkusan.
Ketika bungkusan itu dibuka, isinya adalah nasi bungkus es teh manis, dan air putih.
Es teh manisnya dibungkus plastik berembun dan diikat karet gelang. Begitu juga dengan air putihnya. Raline iseng melongok isinya.
Glek!
Raline menelan ludah melihat sang remaja menggigit sisi plastik dan minum es teh manis dengan rakus.
Sejurus kemudian, giliran perut Raline yang bergemuruh.
Bagaimana perutnya tidak berbunyi?Sang remaja lelaki membuka nasi bungkusnya yang harum. Seketika aroma rendang sapi yang khas berlalu-lalang di penciumannya.
"Mari makan, Kak." Sang remaja putra berbasa-basi saat akan makan.
"Silakan, Dik." Raline menjawab singkat.
Pandangannya ia jaga dengan hati-hati agar tidak memandang isi daun sang remaja. Beberapa saat kemudian, perutnya kembali bergemuruh. Dirinya memang lapar. Tadi pagi ia memang tidak sempat sarapan, saking semangatnya ingin mencari pekerjaan. Ditambah melewatkan makan siang, perutnya kini benar-benar merintih kelaparan.
"Kakak lapar?" tanya sang remaja putra menatap Raline penasaran.
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
Raline berdiri di ujung jalan, dengan mata terus memindai lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna dari kuning ke merah, ia segera menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Saatnya beraksi menghibur para pengguna jalan. "Badut lucu, sini!" Seorang gadis cilik melambaikan tangan di depan jendela mobil yang terbuka. Raline bergegas mendekati sang gadis cilik. Rezeki tidak akan ke mana."Hallo, Cantik. Kita menari bersama ya?" Raline tersenyum dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sang gadis tertawa dan ikut berjoget ria.Raline sontak menghentikan aksinya menari, kala sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti sisi kanannya. Ia sangat mengenal mobil mewah itu. Dulu dirinya adalah penumpang tetap di sana. Ya, mobil itu adalah milik Heru. Mantan pacarnya yang kini menjadi suami Lily. Dari kaca mobil, Raline memindai Lily duduk di tempatnya dulu. Lily menggelendoti lengan Heru yang tengah memegang kemudi. Heru mengecup mesra pipi Lily, sebelum kembali fokus menatap ke depan. Sepasang suami
Beberapa jam kemudian, Raline telah berada di cinema bersama Axel. Suasana cinema di malam minggu seperti ini ramai oleh pasangan yang ingin menghabiskan malam panjang berdua. Rata-rata mereka datang dengan saling bergandengan tangan. Beberapa sepertinya masih dalam taraf penjajakan, karena masih malu-malu kucing. Namun bahasa tubuh mereka sangat kentara tengah dimabuk cinta. Hanya dirinya dan Axel saja pasangan yang aneh. Mereka memang berjalan bersisian. Namun ada jarak setidaknya dua orang di antara mereka. Bahasa tubuh mereka mirip dengan dua orang anak SD yang sedang musuhan. "Lo mau nonton film genre apa Al--""Raline. Nama gue Raline. Harus berapa puluh kali gue ngingetin lo?" Raline menekan dada Axel dengan jari telunjuknya kesal. Ini orang bebal amat ya?"Singkirkan tangan lo. Gue memang suka lupa nama orang. Tapi gue akan selalu ingat dengan perbuatan yang mereka lakukan. Kalo begitu, mulai hari ini gue akan manggil lo calon istri. Dengan begitu gue nggak akan pernah salah
"Ya serius lah. Masa mau menikah main-main?" Axel merangkul bahu Raline erat. Memperlihatkan pada Lily kedekatan keduanya. Axel tidak menyangka akan bertemu dengan Lily dan Axel di cinema."Baguslah kalau begitu." Lily menepuk punggung Axel gembira. Sekarang ia tidak khawatir lagi akan nasib kakaknya. Ada seorang istri yang akan menjaga dan mencintai kakaknya. "Jagain kakak gue baik-baik ya, calon ipar? Sayangi dan cintai Kak Axel cukup sepenuh hati. Tidak perlu sepenuh jiwa. So, kalau suatu saat, amit-amit... lo sakit jiwa, hati lo akan tetap sama." Lily sekarang ganti merangkul calon kakak iparnya. Akhirnya kakaknya akan menikah juga. "Kamu bicara apa sih, Sayang? Jangan membicarakan hal-hal buruk. Apalagi yang belum terjadi. Ingat, kamu sedang hamil." Heru memperingati Lily. Istrinya ini memang tidak pernah menyaring ucapannya."Tenang, Mas. Lily tidak membatin. Cuma memberi gambaran saja. Sedia payung, sebelum hujan." Lily berdeklmasi."Lanjutkan peribahasa ini calon kakak ipar.