"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi.
"Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit.
"Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran.
"Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah.
Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.
Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kantornya ada di mana pun bukan? Jalan raya itu luas!
"Kamu ini kian hari kian nganeh-nganehi saja. Semalam kamu bilang kerjamu di kantor elit ber-ac. Tapi saat pulang bekerja, pakaianmu malah basah kuyup karena keringat. Ac di kantormu mati semua atau bagaimana?"
Maaf, Bu. Raline bohong. Raline tidak mungkin mengatakan kalau Raline belajar menjadi badut di jalanan.
"Sekarang ditanya kantormu di mana, jawabanmu melantur ke mana-mana." Bu Lidya berkacak pinggang.
"Sudahlah, Bu. Jangan marah-marah terus. Nanti darah tinggi Ibu kumat lagi. Pokoknya Raline sudah bekerja. Sudah begitu saja. Oh ya sebentar." Teringat pada sejumlah uang yang ia dapatkan semalam, Raline kembali ke kamar. Ia keluar dengan tangan menggenggam sebuah amplop tebal berwarna putih.
"Ini, Bu. Jumlah uang di dalam amplop ini sebesar tujuh juta rupiah. Lebih dari cukup untuk membayar tunggakan listrik dan air 'kan, Bu?" Raline memberikan amplop putih tebal itu pada Bu Lidya. Bu Lidya terkesima.
"Baru bekerja sehari kamu sudah mendapatkan uang sebanyak ini? Hebat kamu, Line!" Bu Lidya mendecakkan lidah. Ia tidak menyangka kalau putrinya ini hebat juga.
"Bukan, Bu. Raline belum mampu mendapat uang sebesar itu semalam. Uang ini hasil dari penjualan dompet branded Raline yang terakhir. Ibu bilang aliran listrik kita akan segera diputus pihak PLN bukan? Makanya Raline jual saja dompet Raline kemarin ke Ciara. Sekarang Raline memakai dompet ini." Raline memperlihatkan dompet koin gratis yang didapat ibunya saat membeli emas dulu.
"Ciara? Ciara temannya si Lily somplak?" Bu Lidya mendengkus. Setiap teringat pada orang-orang yang berhubungan dengan Lily, membuat darahnya bergolak. Karena perempuan tidak tahu diri itulah nasib mereka sekarang sengsara. Kalau saja Heru tidak jatuh dalam jerat ajian jaran goyang Lily, pasti sampai hari ini Raline tetap menjadi tunangan Heru. Bu Lidya benci sekali pada Lily.
"Iya, Bu. Ciara Fedeorova. Cia itu jago sekali menjual barang-barang second hand branded. Mengenai Lily, Ibu jangan mengata-ngatainya lagi. Lily itu bakal menjadi calon adik ipar Raline. Ibu tidak lupa kalau Raline akan menikah dengan Mas Axel bukan?" Raline memperingati sang ibu. Bu Lidya mendengkus. Mana mungkin dirinya lupa. Jikalau saja ia tidak membutuhkan uang, tidak mungkin ia menerima seorang mafia sebagai menantunya.
"Jelas tidak. Mana mungkin Ibu lupa akan bermenantukan mafia tatooan seperti si Axel itu. Kalau saja Ibu tidak takut ayahmu masuk penjara, Ibu tidak sudi bermenantukan laki-laki tidak bermutu seperti dia." Bu Lidya kembali memuntahkan kekecewaannya.
"Maksud Ibu apa?" Raline yang sudah siap berangkat, memutar tubuh. Ia tidak suka mendengar kalimat penuh penghinaan yang ditujukan ibunya pada Axel.
"Maksud Ibu, Ibu tidak suka bermenantukan seorang mafia berangasan. Tidak ada yang bisa dibanggakan darinya. Lain cerita kalau Axel itu seorang pengusaha seperti Aksa atau Heru. Ibu akan dengan bangga mengakuinya sebagai seorang menantu. Ini seorang preman? Apa yang bisa ibu banggakan?"
"Apa Ibu pikir Mas Axel bangga sekali bermertuakan Ibu dan ayah yang mata duitan? Beristrikan Raline yang dibilang perawan bukan. Janda juga bukan. Kurang cerdas lagi. Coba jawab, Bu?"
Bu Lidya ternganga. Ia sama sekali tidak menyangka akan diserang oleh putrinya sendiri.
"Kamu mengata-ngatai orang tuamu sendiri mata duitan, Raline? Dasar anak durhaka kamu!" Bu Lidya mengamuk.
"Raline tidak mengatai. Itu kenyataan. Ibu dan ayah sebelumnya menjodohkan Raline dengan Mas Aksa dan Mas Heru karena uang bukan? Setelah gagal, kalian juga ingin membarter Raline seharga dua milyar dengan Pak Riswan. Apa itu namanya kalau bukan mata duitan?"
Bu Lidya tidak menjawab. Hanya saja dadanya berombak-ombak menahan kesal. Putrinya sekarang sudah jauh berbeda sejak berteman dengan Lily. Pasti Lily yang mengajarkan Raline untuk berbicara lantang tanpa saringan. Dulu Raline walau tidak cerdas, tetapi tidak kurang ajar. Raline tidak pernah membantah perintahnya.
"Kalau mau berbicara untung rugi. Sesungguhnya yang rugi itu Mas Axel, Bu. Raline ini reputasinya buruk. Tidak ada satu hal pun di diri Raline yang bisa dibanggakan oleh Mas Axel. Mas Axel, itu kaya. Tampan pula. Mas Axel bisa menikahi siapa pun yang dia mau. Tinggal tunjuk saja. Tapi dia malah memilih Raline yang sudah rusak semuanya. Benar tidak, Bu?"
"Terserah kamu saja. Sekarang kamu sudah pintar bicara. Sampai pada orang tuamu sendiri pun, kamu tidak lagi hormat," gerutu Bu Lidya. Mau bagaimana lagi. Ia kalah argumen dengan Raline. Putrinya sekarang semakin kritis dalam berpikir. Pasti ini akibat dari pengaruh Lily.
"Dulu Raline tidak pintar, Ibu marah. Sekarang Raline pintar, Ibu juga marah. Ibu maunya Raline bagaimana?" Raline balik bertanya. Sungguh terkadang ia bingung dengan sikap ibunya.
"Sudah... sudah... kalau kamu mau berangkat kerja, sana pergi. Nanti kamu terlambat lagi." Bu Lidya memutus perdebatan. Tidak ada gunanya mendebat Raline. Raline ini sifatnya sama seperti dirinya. Tidak mau kalah kalau berargumen.
"Eh sebelum kamu pergi ada yang ingin Ibu tanyakan. Apa yang mendasarimu bersedia dinikahi oleh Axel? Seingat Ibu kamu tidak mengenal preman itu secara dekat bukan?" Bu Lidya mengejar putrinya yang telah membuka pintu rumah.
"Karena Raline sudah capek mencari pria sempurna, Bu."
"Oh, jadi karena kamu capek mencari pribadi sempurna, jadi kamu memutuskan untuk berakhir dengan pria serampangan. Begitu?" Bu Lidya menepuk keningnya. Putrinya ini memang tidak bisa ditebak signalnya.
"Bukan, Bu. Raline tiba-tiba saja mendapat wangsit saat bertemu dengan Axel kemarin dulu."
"Dan apa wangsit yang tiba-tiba kamu dapatkan itu?"
"Bahwa Raline harus berhenti mencari pria sempurna. Cukup mencari pria yang banyak uang, punya rumah dan tampan rupawan. Raline tidak mau banyak memilih lagi."
"Oalah Raline. Tiga kriteria yang kamu sebutkan terakhir itulah kategori pria sempurna." Bu Lidya memutar bola mata. Anaknya belum pintar-pintar amat ternyata.
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
Raline berdiri di ujung jalan, dengan mata terus memindai lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna dari kuning ke merah, ia segera menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Saatnya beraksi menghibur para pengguna jalan. "Badut lucu, sini!" Seorang gadis cilik melambaikan tangan di depan jendela mobil yang terbuka. Raline bergegas mendekati sang gadis cilik. Rezeki tidak akan ke mana."Hallo, Cantik. Kita menari bersama ya?" Raline tersenyum dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sang gadis tertawa dan ikut berjoget ria.Raline sontak menghentikan aksinya menari, kala sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti sisi kanannya. Ia sangat mengenal mobil mewah itu. Dulu dirinya adalah penumpang tetap di sana. Ya, mobil itu adalah milik Heru. Mantan pacarnya yang kini menjadi suami Lily. Dari kaca mobil, Raline memindai Lily duduk di tempatnya dulu. Lily menggelendoti lengan Heru yang tengah memegang kemudi. Heru mengecup mesra pipi Lily, sebelum kembali fokus menatap ke depan. Sepasang suami
Beberapa jam kemudian, Raline telah berada di cinema bersama Axel. Suasana cinema di malam minggu seperti ini ramai oleh pasangan yang ingin menghabiskan malam panjang berdua. Rata-rata mereka datang dengan saling bergandengan tangan. Beberapa sepertinya masih dalam taraf penjajakan, karena masih malu-malu kucing. Namun bahasa tubuh mereka sangat kentara tengah dimabuk cinta. Hanya dirinya dan Axel saja pasangan yang aneh. Mereka memang berjalan bersisian. Namun ada jarak setidaknya dua orang di antara mereka. Bahasa tubuh mereka mirip dengan dua orang anak SD yang sedang musuhan. "Lo mau nonton film genre apa Al--""Raline. Nama gue Raline. Harus berapa puluh kali gue ngingetin lo?" Raline menekan dada Axel dengan jari telunjuknya kesal. Ini orang bebal amat ya?"Singkirkan tangan lo. Gue memang suka lupa nama orang. Tapi gue akan selalu ingat dengan perbuatan yang mereka lakukan. Kalo begitu, mulai hari ini gue akan manggil lo calon istri. Dengan begitu gue nggak akan pernah salah
"Ya serius lah. Masa mau menikah main-main?" Axel merangkul bahu Raline erat. Memperlihatkan pada Lily kedekatan keduanya. Axel tidak menyangka akan bertemu dengan Lily dan Axel di cinema."Baguslah kalau begitu." Lily menepuk punggung Axel gembira. Sekarang ia tidak khawatir lagi akan nasib kakaknya. Ada seorang istri yang akan menjaga dan mencintai kakaknya. "Jagain kakak gue baik-baik ya, calon ipar? Sayangi dan cintai Kak Axel cukup sepenuh hati. Tidak perlu sepenuh jiwa. So, kalau suatu saat, amit-amit... lo sakit jiwa, hati lo akan tetap sama." Lily sekarang ganti merangkul calon kakak iparnya. Akhirnya kakaknya akan menikah juga. "Kamu bicara apa sih, Sayang? Jangan membicarakan hal-hal buruk. Apalagi yang belum terjadi. Ingat, kamu sedang hamil." Heru memperingati Lily. Istrinya ini memang tidak pernah menyaring ucapannya."Tenang, Mas. Lily tidak membatin. Cuma memberi gambaran saja. Sedia payung, sebelum hujan." Lily berdeklmasi."Lanjutkan peribahasa ini calon kakak ipar.
"Apa dua hal itu?" Axel bersedekap. Ia kini menyadari. Bahwa meskipun Heru tidak mencintai Raline, tapi Heru peduli."Bunuh diri atau sisi jahatnya muncul lagi.""Bunuh diri udah berhasil gue cegah beberapa waktu lalu. Sisi jahat? Bukannya Raline ini memang jahat dari sononya? Dia pernah menyakiti Lia dan Lily bukan?" pancing Axel. Ia ingin tahu bagaimana cara Heru memandang Raline."Raline bukan jahat, Xel. Raline itu hanya mencoba mempertahankan apa yang menurutnya adalah miliknya. Dia tidak pernah mendapatkan cinta yang tulus. Makanya, begitu ia merasa mungkin akan mendapatkannya, ia akan berjuang mati-matian. Gue dan Aksa pernah menyakitinya, walaupun sebenarnya kami tidak ingin. Jangan lo tambah lagi penderitaannya.""Lo kenal dengan dosen bule Raline dulu?" Axel tiba-tiba mengubah topik pembicaraan."Nggak kenal, tapi gue tahu. Raline jatuh dalam perangkap si dosen, karena dosennya ini melimpahinya dengan kasih sayang. Maklum saja, selama delapan tahun bersama, Aksa tidak perna
"Ada apa lagi sih ini?" Raline menepuk kening tatkala memindai ribut-ribut di rumahnya. Ibunya tampak beradu mulut dengan Tante Angela, sementara ayahnya menarik-narik lengan ibunya. Ya Tuhan, masalah apalagi yang dibuat orang tuanya sekarang?Dirinya baru saja pulang menonton dan Axel mengantarnya pulang. Kini di pagar, ia sudah disambut dengan pemandangan seperti ini. Akhir-akhir ini hidupnya sangat akrab dengan masalah."Ayo kita lihat apa yang terjadi di dalam sana, calon istri." Teguran Axel memupus lamunan Raline. Ia sampai melupakan kehadiran Axel. Tidak boleh! Axel tidak boleh mengetahui kebobrokan keluarganya lagi."Kagak usah. Gue bisa mengatasi masalah keluarga gue sendiri. Lo pulang aja." Raline meraih panel pintu mobil. Ia harus secepatnya melerai pertengkaran Tante Angela dan ibunya sebelum ramai. Tetangga kanan dan kirinya sekarang mempunyai hobby baru. Yaitu memviralkan aib-aib keluarganya. Mereka kompak membalas dendam pada keluarganya, karena pada saat jaya dulu ked