Share

2. Pencarian

Sebulan telah berlalu, namun pencarian belum membuahkan hasil.

"Nona, hari sudah petang, sebaiknya Nona pulang," seseorang mengingatkan Samantha karena dia sudah seharian berada di dermaga.

"Tidak, Tuan. Saya akan terus menunggu sampai Ayah saya kembali," Samantha menoleh kepada pria yang mengajaknya bicara.

"Saya mengerti ...."

"Anda tidak mengerti, Tuan!"

Pria itu kaget ketika dibentak oleh seorang gadis remaja.

"Anda menginginkan saya menyerah?" Samantha bangkit berdiri. "Tentu saja anda senang ketika tahu jika ayah saya menghilang."

"Apa maksud, Nona?" Pria itu menatap Samantha dari tempatnya duduk.

"Karena anda akan naik jabatan."

Pria yang diajak bicara tampaknya tidak senang jika Samantha bicara demikian. Wajahnya tampak memerah.

"Saat ini anda masih menjadi wakil dari Syahbandar Pelabuhan," Samantha mulai menegaskan maksud pembicaraannya, "di kemudian hari anda ingin kan menggantikan ayah saya?"

Orang itu pun berdiri dari kursi panjang yang sengaja diletakkan di sana kemudian bicara keras, "jaga mulut anda!"

Sontak orang yang sedang lalu-lalang di dermaga memperhatikan percakapan kedua orang itu. Kuli panggul yang tengah memikul karung besar, berhenti sejenak.

"Hei, kenapa kau melihatku, pergi!" si Wakil Syahbandar tidak senang ketika diperhatikan.

Samantha kembali mengarahkan pandangan ke laut lepas. Angin kencang yang berhembus menggoyangkan gaun yang dikenakannya. Topi berpita di kepala pun nyaris lepas karena hembusan angin.

Samantha tidak menyadari jika topi itu memang sudah enggan bercokol di kepala. Angin sore itu memang kencang, topi yang dikenakan pun terbang.

Samantha tidak terlalu peduli dengan topinya. Dia masih emosi.

Namun, mata gadis itu tertuju pada seorang pria bertubuh sedang. Dia laki-laki Eropa satu-satunya diantara kerumunan warga Melayu yang tengah bersiap untuk melepas sauh.

"Ini, topi milik anda, Nyonya."

Samantha menatap lelaki berkulit kemerahan di depannya. Jika dibandingkan dengan si Wakil Syahbandar, kulit orang itu lebih gelap. Walaupun, tidak segelap orang-orang Melayu yang menemaninya.

"Terima kasih, Tuan ...."

"James, nama saya James."

"Terima kasih, Tuan James. Saya ...."

"Anda Nona Samantha, kan? Saya tahu siapa anda. Koran menyebutkan nama anda. Kini anda terkenal."

Orang yang berada di sisi Samantha nampaknya tidak suka. "Apa maksudmu? Nona Samantha sedang dilanda kemalangan."

"Kenapa anda marah, Tuan? Bukankah anda senang ketika Tuan Syahbandar menghilang?"

"Jaga mulutmu!"

"Tuan, semua orang di pelabuhan ini ... ah, mungkin semua orang di Singapura tahu isi hatimu ...."

Laki-laki berseragam seperti admiral itu pun naik pitam. Dia mendekati James kemudian melayangkan sebuah pukulan.

Samantha kaget. Dia hanya bisa berteriak-teriak ketika melihat orang bergumul di depannya.

Tubuh James memang tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Eropa. Namun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata orang Melayu dan Cina yang menghuni kawasan itu. Terlihat sekali James kewalahan menghadapi si Wakil Syahbandar.

"Bajingan! Seenaknya saja kau menuduhku sembarangan!"

"Aku tidak menuduhmu!" seraya menahan pukulan.

"Seharusnya kau enyah dari tempat ini. Dasar pemburu serangga!"

Samantha agak heran dengan umpatan dari si Wakil Syahbandar, 'pemburu serangga'. Batin gadis itu sempat mempertanyakan julukan itu. Memang terdengar aneh dan merendahkan. Bagaimana pun 'pemburu harimau' lebih bergengsi dibandingkan 'pemburu serangga'.

"Hiaaa!" orang-orang menyoraki perkelahian dua pria kulit putih itu.

Samantha tidak habis pikir dengan cara berpikir para lelaki. Ketika ada orang yang berkelahi, malah diteriaki. Bagi mereka, tampaknya ini menjadi hiburan langka di tengah kejenuhan bekerja.

"Hentikan!"

Ketika ada petugas keamanan datang, penonton kecewa. Artinya, belum bisa ditentukan siapa pemenangnya.

"Ah, tidak seru," ujar seorang pria Cina yang nyaris saja memasang uang taruhan.

Petugas keamanan meringkus James. Orang-orang yang semula menyertainya tidak bisa berbuat banyak. Samantha mengerti kenapa petugas keamanan akan menjadikan pria berkemeja putih nan lusuh itu sebagai tersangka, 'padahal dia hanya membela diri', pikir Samantha.

James pun memilih menuruti keinginan petugas keamanan untuk membawanya ke Pos Keamanan. Sebuah bangunan kecil yang dibangun tidak jauh dari bibir dermaga.

Samantha tidak tahu harus berbuat apa.

"Nona, tolong Tuan James, dia harus segera berangkat," seseorang menyadarkan apa yang harus dia lakukan.

Samantha terdiam.

"Nona, saya mohon. Kami tidak punya banyak waktu." Mereka yang semula berkerumun, kini mendekati Samantha satu per satu.

Mata mereka terkesan memelas. Bahkan ada diantara mereka merunduk, nyaris bersujud untuk memohon.

"Hei, tidak usah melakukan itu," Samantha memegang bahu orang tersebut.

Hal yang membingungkan bagi Samantha. Satu sisi dia tidak ingin turut campur urusan orang lain. Terlebih orang yang baru dikenalnya.

"Tapi, aku memiliki syarat," Samantha menatap sekumpulan laki-laki Melayu itu.

"Apa pun itu, karena kami bisa kehilangan pekerjaan jika Tuan James batal berangkat ke Borneo."

"Borneo?"

"Ya, kami hendak ke sana."

Samantha menoleh ke arah pos penjagaan. James masih tertahan di sana.

"Baiklah, aku akan meminta mereka untuk membebaskan laki-laki itu."

Samantha datang ke pos pengamanan. Petugas jaga berdiri menyambut Samantha. Orang-orang itu tampaknya menghormati Samantha karena gadis itu putri dari syahbandar. Para pekerja pelabuhan tampaknya tidak bisa melupakan begitu saja jika orang tua Samantha adalah orang nomor satu di tempat itu.

"Saya menjadi jaminan orang ini. Tolong bebaskan dia."

James menoleh kepada Samantha. "Anda tidak perlu repot-repot melakukan ...."

"Anda jangan berpikir jika ini cuma-cuma."

James terheran-heran.

"Aku ingin ikut bersama kalian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status