Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.
Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.
Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja.
Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.
Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. Dita pun meminta izin untuk ikut bermain bersama teman-temannnya.
Sudah tiga jam berlalu dan masih belum juga ada jawaban dari Mas Dio. Sampai bosan aku berulang kali mengecek ponsel hanya untuk memastikan apa sudah ada balasan atau belum.
Saat sedang melayani pembeli, tiba-tiba ponsel di saku berdering. Setelah selsai melayani pembeli tersebut gegas aku membuka pesan yang memang benar dari Mas Dio.
[Oh, iya, memang rumah Ibu sedang di renovasi. Rumah itu sudah terlalu tua. Aku ikut menyumbang sedikit saja dari sisa gaji.]
Aku mendecih kesal membaca pesannya. Sedikit saja katanya, sungguh sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Pak Slamet pagi tadi.
Tak mau kehilangan momen segera aku membalasnya lagi. Berharap Mas Dio akan segera meresponnya.
[Waah ... ternyata gaji kamu besar juga ya, Mas, sampai bisa ikut menyumbang renovasi rumah? Kukira hanya sepuluh juta itu saja yang kau berikan padaku.]
[Ya, alhamdulillah lumayan.] Sesuai harapanku, Mas Dio membalas segera pesan dariku.
[Memang berapa sih tepatnya gaji kamu sebenernya, Mas?]
[Tidak banyak, Silvi. Aku hanya memberikan dua juta tiap bulannya pada Ibu.]
Dua juta rupiah katanya? Aku tak percaya sama sekali. Aku malah lebih percaya pada ucapan Pak Slamet dibanding ucapan suamiku sendiri.
Aku merasa sia-sia saja terus bertanya padanya, Mas Dio tak akan pernah mengatakan yang sebenarnya. Sebaiknya sekarang aku tanyakan saja dimana orang tuanya tinggal. Masih berharap ibu akan keceplosan dan memberi tahu yang sebenarnya tentang Mas Dio.
[Oh ya, Mas, di mana Bapak dan Ibu tinggal selama rumah di renovasi? Dita merengek ingin bertemu kakek. Kangen katanya.]
Terpaksa aku berbohong membawa nama Dita, hanya itu harapanku agar ia mau mengatakan dimana orang tuanya tinggal.
[Mereka ngontrak rumah di kampung sebelah, aku gak tahu nomor berapa dan RT berapa. Nanti saja kita bawa Dita bertemu Bapak kalau aku pulang.]
Seperti dugaanku, sama seperti Mas Ratno, ia tak mau mengatakannnya. Bahkan untuk memberitahukan dimana orang tuanya tinggal saja sekarang dia tak bisa berkata jujur.
[Sudah dulu, ya, Silvi. Aku mau kembali bekerja. Ingat, jangan terlalu capek, dan makan yang banyak, ya!]
Mas Dio pun mengakhiri percakapan kami melalui pesan itu begitu saja dan membuatku makin bertanya-tanya.
****
Saat sedang membereskan rumah kudengar suara pintu diketuk. Gegas aku pun membukanya. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati sesosok lelaki yang sudah lama tak kujumpai, berdiri di balik pintu dengan senyum manis khasnya.
"Hay... anak jelek!" sapanya sambil menahan tawa jahilnya.
Dia adalah Kak Gema, anak angkat dari budeku, yang juga sahabat dekat Mas Dio. Karena Kak Gema-lah aku bisa mengenal Mas Dio hingga akhirnya kami menikah.
"Kamu, kok perasaan makin kurus aja, sih?" tanya Kak Gema sambil mengernyitkan keningnya, memerhatikan penampilanku dari kepala hingga ke kaki.
"Hei, gak sopan ngeliatin cewek kayak gitu!" Dengan mulut cemberut kupukul kepalanya dengan gagang sapu yang memang berada di genggamanku. Lelaki yang sudah seperti kakakku sendiri itu hanya terkekeh geli karena perbuatanku.
Kupersilahkan Kak Gema untuk masuk, sambil menyiapkan minuman untuknya, kulihat Kak Gema memberikan beberapa mainan untuk Dita. Tentu saja Dita amat bersemangat, ia memekik kegirangan karena mainan yang dibelikan Gema adalah mainan yang ia inginkan.
"Tumben datang ke sini, biasanya lupa sama aku!" sindirku sambil menyajikan segelas air teh untuknya.
"Ya ampun, judes amat. Gak boleh apa gue mampir ke rumah adik gue?" tanyanya sambil memasang raut cemberut yang dibuat-buat. Seketika membuatku tertawa geli, karena mendengar dia mengatakan 'gue' dan malah terdengar sangat aneh.
"Aduuuh ... gak pantes tau kak, pake gue-gue kayak gitu. Geli aku dengernya," ejekku sambil masih terbahak.
Kak Gema hanya menggaruk lehernya sambil tertawa malu. "Masa? Tapi kok temen-temenku di Jakarta ga ada yang protes ya?" belanya sendiri.
Kak Gema memang bekerja di Jakarta, setelah lulus kuliah ia mendapat pekerjaan jadi ahli IT di salah satu perusahaan besar. Bude begitu bangga padanya, berkat kegigihannya Kak Gema bisa tetap berkuliah walau dalam keterbatasan ekonomi, dan kini ia tinggal meraup kesuksesannya yang juga membuat perekonomian bude meningkat.
"Sebenarnya aku datang ke sini ingin bertemu Dio, tapi sepertinya dia gak di rumah ya?" ujar Kak Gema setelah kami puas saling mengejek dan tertawa.
"Mas Dio sekarang kerja di luar kota, Kak," jawabku singkat. Entah kenapa ada rasa enggan membahas suamiku saat ini. Masih merasa kesal karena kebohongan demi kebohongan yang dia lakukan padaku.
"Oh, ya? Berarti benar yang kulihat beberapa hari yang lalu di Jakarta itu Dio, ya? Seharusnya aku menyapanya waktu itu, tapi sayangnya aku sedang meeting dengan klien," ujarnya seperti takjub.
"Entahlah, bisa iya, bisa juga tidak. Mas Dio sih bilang dia kerja di Bekasi. Jadi sekuriti," jelasku dengan malas.
"Mmmh ..., sebenarnya yang kulihat kemarin memang mirip Dio, tapi dia mengenakan pakaian jas dan keliatan necis banget. Bukan style Dio yang selama ini aku kenal," jelasnya.
"Sayangnya aku gak punya nomor ponsel Dio, jadi aku juga tak bisa menghubunginya langsung saat itu juga. Tapi, bisa jadi bukan Dio, ya? Apalagi katamu dia jadi sekuriti di Bekasi," lanjutnya lagi, menerka-nerka.
Sebenarnya bisa jadi memang Mas Dio yang Kak Gema lihat. Karena kini aku benar-benar tak mengetahui apa pun yang dilakukannya. Bisa jadi Mas Dio memang berada di Jakarta, bukan di Bekasi seperti yang dikatakannya.
Seketika terbersit dalam pikiranku, apa aku ceritakan saja soal ketidakjujuran Mas Dio padaku? Mungkin saja Kak Gema bisa membantu mengungkapkan semuanya tentang suamiku itu.
"Ada apa, Silvi? Kenapa wajahmu tiba-tiba lesu?" tanya Kak Gema seraya mengernyitkan keningnya.Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya."Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" tanyanya tak percaya. Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi."Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku."Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama."Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku."Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!" "Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.Sepertin
Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku."Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah
Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam
Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb
Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir
"Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana
"Masa, Mba,? Bisa tolong pastikan lagi? Kamarnya nomor 156, Mba" Pasti ia sudah salah melihat datanya. Tidak mungkin tidak ada namaku di situ."Maaf Bu, sudah saya pastikan berulang kali tapi tidak ada nama ibu di sini. Kamar nomor 156 juga sudah di isi dan bukan atas nama ibu," terangnya lagi dengan sungguh-sungguh.Seketika membuatku makin panik, jika begini bagaimana aku bisa masuk? Bahkan ponselku pun tertinggal di kamat hotel, jadi aku tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali.Ah, iya aku aku telah melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa nama kak Gema-lah yang dipakai untuk memesan kamar di sini. Karena tadi kak Gema tidak meminta tanda pengenal apa pun padaku"Mba, maaf saya salah. Nama pemesannya adalah Gema Pratama, dia adalah kakak saya, tadi dia yang mengurus semuanya,""Maaf Bu, saya tidak bisa membantu. Kami hanya bisa memberikan kartu akses cadangan pada tamu yang terdaftar di daftar pemesan yang dapat menunjukkan tanda pengenalnya saja,""Tapi aku benar datang bersama Gema