Share

Tiga

[Mas, tadi aku ke rumah Ibu, ternyata sedang di renovasi, ya? Kata Pak Slamet kamu yang biayai, apa benar, Mas?] 

Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.

Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.

Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja. 

Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.

Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. Dita pun meminta izin untuk ikut bermain bersama teman-temannnya.  

Sudah tiga jam berlalu dan masih belum juga ada jawaban dari Mas Dio. Sampai bosan aku berulang kali mengecek ponsel hanya untuk memastikan apa sudah ada balasan atau belum.

Saat sedang melayani pembeli, tiba-tiba ponsel di saku berdering. Setelah selsai melayani pembeli tersebut gegas aku membuka pesan yang memang benar dari Mas Dio.

[Oh, iya, memang rumah Ibu sedang di renovasi. Rumah itu sudah terlalu tua. Aku ikut menyumbang sedikit saja dari sisa gaji.] 

Aku mendecih kesal membaca pesannya. Sedikit saja katanya, sungguh sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Pak Slamet pagi tadi.

Tak mau kehilangan momen segera aku membalasnya lagi. Berharap Mas Dio akan segera meresponnya.

[Waah ... ternyata gaji kamu besar juga ya, Mas, sampai bisa ikut menyumbang renovasi rumah? Kukira hanya sepuluh juta itu saja yang kau berikan padaku.]

[Ya, alhamdulillah lumayan.]  Sesuai harapanku, Mas Dio membalas segera pesan dariku.

[Memang berapa sih tepatnya gaji kamu sebenernya, Mas?]

[Tidak banyak, Silvi. Aku hanya memberikan dua juta tiap bulannya pada Ibu.]

Dua juta rupiah katanya? Aku tak percaya sama sekali. Aku malah lebih percaya pada ucapan Pak Slamet dibanding ucapan suamiku sendiri.

Aku merasa sia-sia saja terus bertanya padanya, Mas Dio tak akan pernah mengatakan yang sebenarnya. Sebaiknya sekarang aku tanyakan saja dimana orang tuanya tinggal. Masih berharap ibu akan keceplosan dan memberi tahu yang sebenarnya tentang Mas Dio. 

[Oh ya, Mas, di mana Bapak dan Ibu tinggal selama rumah di renovasi? Dita merengek ingin bertemu kakek. Kangen katanya.]

Terpaksa aku berbohong membawa nama Dita, hanya itu harapanku agar ia mau mengatakan dimana orang tuanya tinggal. 

[Mereka ngontrak rumah di kampung sebelah, aku gak tahu nomor berapa dan RT berapa. Nanti saja kita bawa Dita bertemu Bapak kalau aku pulang.]

Seperti dugaanku, sama seperti Mas Ratno, ia tak mau mengatakannnya. Bahkan untuk memberitahukan dimana orang tuanya tinggal saja sekarang dia tak bisa berkata jujur. 

[Sudah dulu, ya, Silvi. Aku mau kembali bekerja. Ingat, jangan terlalu capek, dan makan yang banyak, ya!]

Mas Dio pun mengakhiri percakapan kami melalui pesan itu begitu saja dan membuatku makin bertanya-tanya.

****

Saat sedang membereskan rumah kudengar suara pintu diketuk. Gegas aku pun membukanya. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati sesosok lelaki yang sudah lama tak kujumpai, berdiri di balik pintu dengan senyum manis khasnya.

"Hay... anak jelek!" sapanya sambil menahan tawa jahilnya.

Dia adalah Kak Gema, anak angkat dari budeku, yang juga sahabat dekat Mas Dio. Karena Kak Gema-lah aku bisa mengenal Mas Dio hingga akhirnya kami menikah.

"Kamu, kok perasaan makin kurus aja, sih?" tanya Kak Gema sambil mengernyitkan keningnya, memerhatikan penampilanku dari kepala hingga ke kaki.

"Hei, gak sopan ngeliatin cewek kayak gitu!" Dengan mulut cemberut kupukul kepalanya dengan gagang sapu yang memang berada di genggamanku. Lelaki yang sudah seperti kakakku sendiri itu hanya terkekeh geli karena perbuatanku.

Kupersilahkan Kak Gema untuk masuk, sambil menyiapkan minuman untuknya, kulihat Kak Gema memberikan beberapa mainan untuk Dita. Tentu saja Dita amat bersemangat, ia memekik kegirangan karena mainan yang dibelikan Gema adalah mainan yang ia inginkan.

"Tumben datang ke sini, biasanya lupa sama aku!" sindirku sambil menyajikan segelas air teh untuknya.

"Ya ampun, judes amat. Gak boleh apa gue mampir ke rumah adik gue?" tanyanya sambil memasang raut cemberut yang dibuat-buat. Seketika membuatku tertawa geli, karena mendengar dia mengatakan 'gue' dan malah  terdengar sangat aneh.

"Aduuuh ... gak pantes tau kak, pake gue-gue kayak gitu. Geli aku dengernya," ejekku sambil masih terbahak. 

Kak Gema hanya menggaruk lehernya sambil tertawa malu. "Masa? Tapi kok temen-temenku di Jakarta ga ada yang protes ya?" belanya sendiri.

Kak Gema memang bekerja di Jakarta, setelah lulus kuliah ia mendapat pekerjaan jadi ahli IT di salah satu perusahaan besar. Bude begitu bangga padanya, berkat kegigihannya Kak Gema bisa tetap berkuliah walau dalam keterbatasan ekonomi, dan kini ia tinggal meraup kesuksesannya yang juga membuat perekonomian bude meningkat.

"Sebenarnya aku datang ke sini ingin bertemu Dio, tapi sepertinya dia gak di rumah ya?" ujar Kak Gema setelah kami puas saling mengejek dan tertawa.

"Mas Dio sekarang kerja di luar kota, Kak," jawabku singkat. Entah kenapa ada rasa enggan membahas suamiku saat ini. Masih merasa kesal karena kebohongan demi kebohongan yang dia lakukan padaku.

"Oh, ya? Berarti benar yang kulihat beberapa hari yang lalu di Jakarta itu Dio, ya? Seharusnya aku menyapanya waktu itu, tapi sayangnya aku sedang meeting dengan klien," ujarnya seperti takjub.

"Entahlah, bisa iya, bisa juga tidak. Mas Dio sih bilang dia kerja di Bekasi. Jadi sekuriti," jelasku dengan malas.

"Mmmh ..., sebenarnya yang kulihat kemarin memang mirip Dio, tapi dia mengenakan pakaian jas dan keliatan necis banget. Bukan style Dio yang selama ini aku kenal," jelasnya.

"Sayangnya aku gak punya nomor ponsel Dio, jadi aku juga tak bisa menghubunginya langsung saat itu juga. Tapi, bisa jadi bukan Dio, ya? Apalagi katamu dia jadi sekuriti di Bekasi," lanjutnya lagi, menerka-nerka.

Sebenarnya bisa jadi memang Mas Dio yang Kak Gema lihat. Karena kini aku benar-benar tak mengetahui apa pun yang dilakukannya. Bisa jadi Mas Dio memang berada di Jakarta, bukan di Bekasi seperti yang dikatakannya.

Seketika terbersit dalam pikiranku, apa aku ceritakan saja soal ketidakjujuran Mas Dio padaku? Mungkin saja Kak Gema bisa membantu mengungkapkan semuanya tentang suamiku itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status