Share

Enam

Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.

Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.

Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.

Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku.

"Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku. Gegas aku berbalik untuk melihat siapa dan ada apa. Arni berlari kecil menghampiriku.

"Mba pulang karena aku, ya?" tanyanya dengan raut merasa bersalah sekali.

"Enggak kok, memang sudah waktunya pulang saja. Kalau terlalu siang nanti panas. Kasian anakku takut kepanasan," elakku. Karena sejujurnya memang bukan dia yang membuatku memutuskan segera pulang.

"Rumahnya jauh ya, Mba? Naik apa kesini?"

"Lumayan, tapi sudah biasa kok pulang pergi kemari naik motor. Mari Mba Arni, aku pamit duluan," pamitku tak ingin lebih lama berbasa-basi dengan wanita ini.

"Eh ..., tunggu Mba, ini ada sedikit oleh-oleh untuk Mba Silvi, kebetulan aku bawa lebih. Ibu dan Mba Desi juga sudah kebagian. Sepertinya cocok untuk Mba Silvi. Tolong diterima, ya. Mudah-mudahan Mba Silvi suka." Arni tiba-tiba memberikan bingkisan yang dipegangnya sedari tadi, memaksaku untuk mengambilnya.

"Ga usah, Mba, jangan! Gak usah repot-repot. Mba bisa simpan saja, atau berikan lagi pada Ibu atau Mba Desi." Dengan tegas Aku menolak pemberiannya. Rasanya aneh menerima bingkisan dari orang lain yang baru kenal secara sepintas saja seperti ini.

"Loh ..., jangan gitu dong Mba, diterima ya. Anggap saja sebagai hadiah perkenalan dari saya. Saya sedih kalau Mba Silvi menolaknya," bujuknya lagi dengan raut sedih, yang entah kenapa seketika mempengaruhiku.

"Ah ... baiklah kalau begitu, saya terima ya, Mba."

Dengan terpaksa aku pun menerima bingkisan darinya, karena akan semakin tak enak jika aku terus menolak pemberiannya itu.

"Oh ya, Kalau boleh tahu, Mba Arni siapanya Ibu, ya?" Tiba-tiba saja ada keberanian dalam diri untuk menanyakan hal ini.

Mendengar pertanyaanku, Arni tampak terkejut, ia pun tiba-tiba seperti salah tingkah karenanya.

"Emmmh ... siapa ya ..." Arni tampak memikirkan jawabannya yang seharusnya mudah ia jelaskan padaku.

"Silvi, kamu masih di sini?" Belum juga Arni memberikan jawaban, tiba-tiba Ibu datang menghampiri kami.

"Aku kira kamu sudah pulang." Ibu menatapku dengan tatapan tak suka. Seakan akulah yang ingin berlama-lama di sini dan membuat tamunya tertahan. Dari sikap dan tatapannya aku tahu aku harus segera pergi.

"Iya, Bu, ini aku mau berangkat! Terima kasih ya Mba Arni untukku bingkisannya!" tanpa menghiraukan Ibu lagi aku pun berbalik sambil menuntun Dita meninggalkan mereka dan berlalu begitu saja. Tak kujawab lagi salam perpisahan yang Arni teriakan padaku.

****

Sesampainya di rumah, kubuka bingkisan pemberian Arni barusan. Sebuah goody bag kertas berwarna cokelat bertuliskan sebuah merk brand fashion ternama yang berisi sebuah gamis berwarna biru pastel lengkap dengan khimarnya dari salah satu merk yang cukup terkenal, yang kutahu harga-harganya cukup mahal.

Gamis ini sangat pas dengan ukuranku, Mba Arni seperti sudah menyiapkannya sepsial untukku dari sebelumnya. Tapi bagaimna bisa? Bahkan kami baru saja kenal lagipula ukuran tubuhku dengan Ibu juga Kak Desi jauh berbeda. Badan mereka berdua cukup berisi, sedangkan aku kurus dan kecil.

Rasa penasaranku makin menjadi pada sosok wanita cantik itu. Aku pun segera mengetikan nama Arni di sebuah laman pencarian pada ponselku. Ingin memastikan apa Arni benar-benar seorang artis seperti perkiraanku atau bukan. Tapi ternyata tak kutemui satu pun artis yang mirip dengannya. Mungkin dia memang hanya orang kayak yang melakukan perawatan layaknya seorang artis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status