Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam
Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb
Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir
"Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana
"Masa, Mba,? Bisa tolong pastikan lagi? Kamarnya nomor 156, Mba" Pasti ia sudah salah melihat datanya. Tidak mungkin tidak ada namaku di situ."Maaf Bu, sudah saya pastikan berulang kali tapi tidak ada nama ibu di sini. Kamar nomor 156 juga sudah di isi dan bukan atas nama ibu," terangnya lagi dengan sungguh-sungguh.Seketika membuatku makin panik, jika begini bagaimana aku bisa masuk? Bahkan ponselku pun tertinggal di kamat hotel, jadi aku tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali.Ah, iya aku aku telah melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa nama kak Gema-lah yang dipakai untuk memesan kamar di sini. Karena tadi kak Gema tidak meminta tanda pengenal apa pun padaku"Mba, maaf saya salah. Nama pemesannya adalah Gema Pratama, dia adalah kakak saya, tadi dia yang mengurus semuanya,""Maaf Bu, saya tidak bisa membantu. Kami hanya bisa memberikan kartu akses cadangan pada tamu yang terdaftar di daftar pemesan yang dapat menunjukkan tanda pengenalnya saja,""Tapi aku benar datang bersama Gema
Aku hanya pasrah saja mengikuti sekuriti tersebut. Sungguh pikiranku amat kalut kini. Aku tidak bisa kembali ke kamar hotel sementara semua barangku berada di sana, tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali karena ponselku juga ada di kamar dan parahnya lagi, sepertinya aku telah salah informasi tentang Mas Dio. Dia bukanlah seorang bos seperti yang dikatakan sekuriti di restoran tersebut. Bahkan tak ada yang mengenalnya sama sekali di hotel ini.Hah ... kedatanganku ke Jakarta ini rupanya sia-sia saja, bukannya mendapat titik terang, malah membuatku mendapat kesialan seperti ini.Kutatap wajah Dita yang masih terlelap di kursi. Kasihan anak itu, harus ikut menanggung semua ini karena ulah ibunya yang kekeuh ingin ke Jakarta."Mohon maaf, sebaiknya Ibu segera pergi dari hotel ini ya setelah anak ibu nanti bangun!" tegas seorang sekuriti yang tadi membawaku pergi dari meja resepsionis."Tega kalian memgusirku? Kalau begitu, biarkan aku membawa barang-barangku, Pak! Minimal ponsel dan
"Silvi ...!" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku.Seketika saja membuat jantungku berdebar dengan kencang. Aku mengenal suara itu, sangat mengenalnya. Sebuah suara dari orang yang telah memporak-porandakan hatiku beberapa hari ini karena rasa curiga, ketakutan dan khawatir. Sebuah suara yang juga menjadi penyebab utama yang membuatku memilih datang ke Jakarta kemudkan terlantar di hotel ini."Ayaaah ...," Dita segera melepaskan genggaman tangannya dariku dan berlari menuju Mas Dio yang berdiri di dekat pintu masuk hotel.Perlahan aku pun membalikkan badan, dapat kulihat sosok lelaki yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang kulihat siang tadi di restoran menyambut Dita dengan pelukan hangat.Berjuta rasa kembali membuncah di hati, marah, sedih, kecewa, tapi juga lega. Betapa menyenangkannya bisa bertemu sosok yang membuatku merasa aman setiap kali melihatnya.Dengan mantap Mas Dio menghampiriku yang masih berdiri mematung sambil Dita tetap berada dipangkuannya. Ia
Aku terbangun dari tidur lelap karena mencium wangi masakan yang begitu mengguggah. Badanku terasa pegal dan lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan yang berat. Kembali kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum pagi ini datang.Ya, kemarin aku ke Jakarta untuk membuntuti suamiku, lalu aku tak bisa masuk ke kamar hotel, kalang kabut dibuatnya karena harus berdua saja dengan Dita tanpa ada kepastian kapan bisa kembali.Lalu tiba-tiba saja Mas Dio datang dan ia mengajak aku dan Dita kembali pulang ke kampung tanpa menunggu Kak Gema terlebih dahulu.Ah iya ..., aku jadi teringat jika aku belum memberi kabar pada Kak Gema sejak semalam karena ponselku mati kehabisan baterai. Gegas aku pun menyalakan ponsel dan memberi pesan pada Kak Gema. Tak mau membuat ia khawatir karena aku sudah tak ada lagi di Jakarta.[Kak, maafkan aku, semalam aku bertemu dengan Dio dan sekarang aku sudah pulang ke kampung lagi diantar Mas Dio. Maaf baru bisa memberitahu. Semalam ponselku mati kehabi