Share

JANDA - 03

Boram sedang melipat mukena yang baru saja digunakannya saat melihat ke arah luar Musala di mana Samudra sedang duduk di salah satu bangku sekolah sambil merokok. Boram menghela napas, mengambil tasnya dan keluar. Samudra yang melihatnya langsung berdiri, mematikan rokoknya dan menghampirinya.

"Sudah,Mbak?"

"Kamu muslim? Nggak sholat?"

Samudra tersenyum, "Gue jarang sholat mbak. Gue akan sholat kalau niat bukan untuk pencitraan di depan mbak."

Boram menggelengkan kepala, berjalan keluar dari area Musala melewati deretan pohon teduh hijau yang ada di sepanjang koridor diikuti oleh Samudra di sampingnya.

"Kenapa juga kamu harus melakukan pencitraan seperti itu?"

Samudra menoleh, "Memangnya apalagi, selain ingin di pandang sebagai cowok taat beragama sama perempuan."

Boram tertawa sesaat sebelum kembali diam. Mereka melewati aula sekolah untuk mencapai tempat parkir dan keluar melewati gerbang yang sudah sepi menuju ke halte.

"Maaf ya mbak, gue nggak punya motor. Jadi kita naik bus aja."

"Memangnya siapa yang mau naik motor sama kamu. Ibu biasa naik bus dan kamu nggak punya kewajiban untuk mengantar saya pulang. Kalau arah rumah kita berbeda, mending nggak usah memaksakan diri."

Samudra tertawa. Tas hitamnya diselempangkan melingkar di salah satu bahunya. Mereka berjalan santai sampai halte bus dan duduk bersebelahan. Boram membuka tas, mengambil ikat rambut hitamnya lalu mengikat satu rambutnya. Siang ini lumayan terik dan membuat gerah.

"Cantikkan di urai,Mbak."

"Ibu nggak butuh pendapat kamu."

"Rumahnya mbak dimana?"

"Kamu kepo deh."

Samudra berdecak, "Mbak ih gitu. Kalau jawabnya seperti itu terus gue ikutin sampai rumah lo."

Boram menoleh heran, "Kamu mau jadi stalker?"

"Gue nggak pernah sih jadi stalker apalagi untuk perempuan tapi buat mbak gue mau."

Boram menggeleng heran dengan sikap frontal Samudra. Tidak lama bus yang mereka tunggu muncul di kejauhan. Saat bus sempurna berhenti, Boram dan Samudra masuk ke dalam dan menemukan hanya satu kursi kosong yang tersedia. Boram duduk dan meletakkan tasnya di atas paha membiarkan Samudra berdiri bergelantungan di sebelahnya. Bus kembali berjalan di tengah teriknya matahari siang.

"Mbak nanti mau minum es kelapa dulu nggak sama gue. Cuacanya mendukung banget nih. Ada Mamang yang jualan es kelapa enak banget di dekat pasar sana."

Boram mendongak dan menyimpitkan mata, "Kamu mau modusin gurumu sendiri ya?"

Samudra tertawa, "Kalau boleh sih? Eh, tapi seriusan Mbak gue nawarin. Sepertinya arah rumah kita searah."

"Tahu dari mana kamu?"

Samudra cengengesan," Feeling."

Boram mendengus tapi penasaran juga, "Aku ngontrak di perumahan Bumi Asih."

Mata hitam itu berkilat terang memandanginya, "Wuih sepertinya kita jodoh deh mbak. Rumah gue di Gang Senggol."

"Jodoh dari Hongkong! Di mana lagi itu Gang Senggol?" dengus Boram seraya mengibaskan tangannya ke area leher mengusir panas tapi sia-sia.

"Itu loh Gang Senggol dekat sama Gang Goyang."

"Astaga itu nama gang kok gitu banget."

Samudra tertawa, "Memang begitu mbak karena rata-rata yang tinggal di sana saban pagi hobinya nyetel musik dangdutan nyaring-nyaring. Apalagi kalau hari minggu mbak. Wuih ramai."

"Terus memangnya sama kontrakanku dekat?"

"Lah, memangnya mbak nggak tahu?"

Boram menggeleng, Samudra berdecak, "Di belakang perumahan Bumi Asih memang ada perumahan kampung. Nah Gang Senggol dan Gang Goyang ada di sana. Ada jalan penghubungnya. Gue biasanya nggak lewat perumahan situ sih tapi sepertinya setelah hari ini gue sudah fix ganti jalur pulang pergi ke sekolah lewat perumahannya mbak."

Boram menggelengkan kepala, Samudra tersenyum. Tidak lama bus berhenti di halte dekat pasar sore. Boram dan Samudra turun langsung menuju kebagian pinggir pasar mengarah ke gerobak es kelapa yang mangkal tidak jauh dari pangkalan ojek. Setelah sempat di kepo-kepoin bapak penjual es kelapa, mereka berdua kembali berjalan melewati pasar ramai dan Boram bahkan sempat membeli cabe-cabean ditemani Samudra yang ternyata lebih ahli menawar dagangan. Katanya penjual-penjual di sana kenal sama dia dan bisa dikasih harga murah. Boram jadi mikir jangan-jangan Samudra juga punya bisnis sampingan jadi preman pasar. 

Sejak awal kenal tadi pagi sama cowok tengil itu, Boram memang sudah banyak dihinggapi keterkejutan. Tentang Samudra. Sedikit penasaran, bagaimana keseharian cowok yang di cap badboy dan berandalan itu tapi Boram tidak mau mencoba mencari tahu lebih jauh. Takut kebablasan.

"Ah sial!!" Langkah Boram terhenti ketika mendengar umpatan itu dan menoleh heran tapi dia malah menemukan tatapan Samudra terfokus jauh ke depan sana. Tiba-tiba Samudra berbalik dan menatapnya intens. "Itu anak-anak yang tadi pagi gue pukulin. Mbak pulang duluan aja ya. Gue masih ada urusan sama mereka.”

"Terus kamu gimana?"

"Gue mau olahraga dulu sebentar,” balasnya dengan senyuman jahil.

“Woii Samudra,” teriakan di belakang sana menggema.

“Cepat sana,Mbak.”

“Baru aja diobati eh mau berkelahi lagi.” Tanpa sadar Boram mengomel. “Seharusnya gak Ibu obatin lukamu itu,” decaknya kesal.

Samudra terkekeh, “Nanti kalau gue babak belur lagi, boleh datang ke rumah mbak gak minta diobatin?” tanyanya dengan tatapan jahil.

“Obatin sendiri sana!” sembur Boram dan berbalik pergi meninggalkan Sam yang tertawa.

“Mbak ngegemesin,” teriaknya.

“Gak urus sama kamu, Sam,” balas Boram dan berjalan agak cepat masuk ke dalam gang perumahan. Meskipun ada sedikit rasa khawatir tapi Boram memilih untuk tidak ikut campur karena sepertinya Sam sudah biasa berkelahi.

Boram berjalan agak cepat karena matahari semakin terik, menoleh ke belakang untuk melihat apakah Sam mengikutinya tapi ternyata tidak ada. 

Hingga Boram sampai di jalanan besar perumahannya saat sebuah mobil mewah melintas dan langsung berhenti tidak jauh darinya membuat Boram was-was.

'Jangan sampai penculik.'

Seseorang keluar, Boram buru-buru pergi dengan langkah cepat sampai teriakan itu terdengar.

"Tunggu!" 

Boram memeluk tasnya, berniat untuk berlari karena ketakutan. Merasa heran karena tiba-tiba ada orang yang manggil-manggil dia. Boram berharap jika Samudra masih ada bersamanya hingga bisa melawan jika memang orang yang memanggilnya berniat buruk.

"Tunggu! Hei!"

Boram takut, dia terus berlari dan menjauh dari orang yang mengejarnya itu. Hari ini dua kali dia harus lari dan itu membuatnya lelah. Dia akan langsung mandi saat sampai di rumah nanti.

Boram berbelok, sembunyi di dekat tanaman merambat sebuah rumah saat laki-laki yang mengejarnya itu lewat. Boram diam menunggu sembari komat-kamit dan menunggu keadaan aman 

"Kanapa hari ini rasanya lelah sekali," desah Boram. 

Andai saja suaminya masih ada, dia tidak akan hijrah dari desa tempat asalnya ke kota seorang diri seperti ini. Boram memejamkan mata, mencoba menahan kesedihannya. Mencoba ikhlas dengan takdirnya saat ini.

Boram bergerak pelan, melihat kanan dan kiri lalu lari secepat kilat sampai di rumah kontrakannya dan menutup pintunya rapat-rapat. 

Di rumah Boram baru sadar jika bisa saja laki-laki yang memanggilnya tadi mengenal dirinya. Tapi dia sudah terlanjut takut dan memilih tidak menghiraukannya. Tiba-tiba dia teringat bocah sok jagoan itu.

"Mudahan Samudra baik-baik saja," gumamnya.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Safiiaa
makin seruuuu
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
semangat kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status