Share

JANDA - 08

Samudra menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Seluruh tubuhnya tertutup selimut yang tebal untuk menghalau dingin akibat dari kegiatan hujan-hujanannya tadi. Hanya ada satu nama di dalam kepalanya. Sosok guru matematika yang menarik hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.

Sebelum ini Samudra masa bodoh dengan yang namanya perempuan. Entah kenapa Bu Boram berbeda. Dia juga tidak mengerti dengan sikapnya jika sudah berhadapan dengan wanita itu. Yang menarik sejak pertemuan pertama mereka yang membuat Samudra tidak bisa berhenti membayangkannya adalah tatapan matanya.

Bulat, hitam, memperdaya tapi terkesan kesepian.

Kenapa Samudra bisa tahu karena selam ini dia hidup dengan seseorang yang juga memiliki tatapan mata seperti itu. 

"Sam, kamu sudah tidur?" Suara di luar kamarnya mengagetkannya.

"Belum,Mam," suaranya yang serak terasa tidak sampai ke pintu. 

Namun pintu itu tetap terbuka menampilkan Mama cantiknya yang membawa teh hangat dan obat. 

"Mama heran..." Mamanya duduk di tepi ranjang seraya menggelengkan kepala, "sore kamu pamit keluar bawa payung katanya mau beli obat tapi kenapa baru pulang larut malam, basah kuyup dan melupakan di mana payungmu berada." Samudra bangkit duduk masih sambil merapatkan selimutnya dan nyengir. Mamanya meletakkan telapak tangannya di dahinya dan menggeleng. "Akibatnya jadi demam begini."

Samudra menerima sodoran gelas teh hangat dan satu tablet obat penurun demam yang langsung dia minum dan menghabiskan tehnya.

"Sekarang ceritakan!" Desak Mamanya.

"Nanti aja Mam. Tenggorokannya Sam rasanya sakit kalau bicara." Mamanya menghela napas. Samudra tersenyum, "Mama tumben belum tidur. Banyak jahitan?"

Mamanya menggeleng. "Nggak juga. Sudah selesai semua dari tadi sore kok. Ini mau istirahat. Kamu tidur ya. Besok kalau masih demam nggak usah sekolah dulu."

"Nggak bisa Mam, Samudra harus sekolah."

Alis Mamanya naik menatapnya heran. "Tumben?"

"Ada pelajaran matematika." Mamanya menghela napas dan mengacak rambut anaknya gemas. "Kamu berusaha keras untuk satu hal itu ya."

"Sam hanya ingin membuktikan kalau Sam pasti bisa kalau berusaha." 

"Mama tahu. Kemampuanmu sudah meningkat. Tapi jangan semata-mata hanya untuk memenuhi egomu agar bisa diakui,Sam. Kita lebih bahagia seperti ini."

"Sam bahagia tapi Mama tidak. Sam akan membuktikan kalau Sam bisa jadi anak yang berguna. Sam nggak mau melihat Mama yang kesepian seperti ini."

"Kamu adalah dosa sekaligus anugrah dari Tuhan Sam."

Sam bungkam, memeluk tubuhnya yang semakin dingin di dalam selimutnya yang hangat. 

Mamanya mendekat dan memeluknya. "Kamu lebih berharga dari harta, Sam."

Samudra memejamkan matanya. Dia  bertekad akan melakukan apapun agar mata Mamanya kembali hidup. Juga tambahan lagi satu keinginan dalam hatinya sejak dia bertemu dengan Boram.

Semoga suatu hari nanti dia pantas menjadi pendamping wanita itu dan membuat matanya kembali bercahaya.

***

"Pu-tus."

"Iya, putus."

Wanita berambut blonde dengan hiasan tebal itu ternganga tidak percaya. Matanya mengerjap dan memajukkan tubuhnya mendekat ke arah sang pacar yang tidak ada angin tidak ada hujan minta putus tiba-tiba.

"Alasannya?"

"Kamu wanita matre."

Wanita itu lebih dari shock. Bukan ingin membantah tapi lebih merasa heran kenapa setelah setengahe tahun hubungan mereka terjalin, lelaki di hadapannya ini baru sadar. Apa belakangan ini dia meminta sesuatu yang berlebihan? Rasa-rasanya tidak.

Seminggu yang lalu dia hanya minta jalan-jalan keliling Eropa dan pacarnya ini mengabulkannya tanpa protes.

"Jangan bercanda." Wanita itu tertawa sumbang dan meminum winenya sampai habis.

Lelaki itu berdecak, "Aku sama sekali tidak bercanda. Aku tidak akan mengungkit atau mempermasalahkan tentang uang yang telah kamu hamburkan selama ini tapi aku hanya meminta kita putus dan jangan lagi menemuiku atau muncul di depanku."

"Aku tidak mau!!"

Alis lelaki itu terangkat. Kedua lengannya dilipat di depan dada, duduk bersandar. "Apa kamu takut tidak lagi memiliki sumber uang untuk shopping, holiday dan semua pengeluaranmu?"

"Bukan hanya itu tapi ini tidak masuk akal. Kita selama ini baik-baik saja dan kenapa kamu tiba-tiba malah minta putus dan mencampakkanku seperti ini?" Wanita itu menyimpitkan matanya. "Apa kamu memiliki wanita lain?"

"Ck, itu bukan urusanmu. Jadi kita buat kesepakatan—" Lelaki itu memajukan tubuhnya dan mengetukkan jari telunjuknya di atas meja mahoni itu. "Lebih baik kamu menyetujui permintaanku atau sekretarisku akan mengirimkan semua tagihan pengeluaranmu beberapa bulan ini."

Wanita itu murka, dia berdiri dan mengambil gelas wine milik mantan pacarnya dengan emosi tinggi.

"DASAR BRENGSEK LO ARBIAN!"

Seketika Arbian terkena siraman rohani dalam bentuk segelas wine merah pekat hingga wajah dan kemeja mahalnya ternoda. Wanita itu melipat kedua lengannya dengan hidung kembang kempis emosi.

"Aku membencimu dan semoga suatu hari nanti kamu akan mendapatkan karmanya. Tetap menjadi duda selama bertahun-tahun."

Setelah itu, dia pergi dari sana dengan suara heels-nya yang mengehentak keluar dari bar meninggalkan Arbian yang menghela napas seraya membersihkan wajahnya.

Hanya demi satu nama. 

Arbian mengambil ponsel dan membuka galerinya melihat satu foto mode candid. Arbian tersenyum.

Boram.

***

"Siapa ya laki-laki itu?"

Boram yang masih mengenakan mukena putihnya merebahkan diri di atas tempat tidur nampak mencoba mencari ingatan tentang sosok laki-laki bernama Arbian yang sapu tangannya ditinggalkan  begitu saja padanya. Mau dibiarkan di sana tapi Boram tidak enak jadi mau tidak mau Boram bawa pulang dan berniat mencucinya besok pagi.

"Tidak ada nama dengan ingatan laki-laki seperti dia sebelumnya," gumamnya,nampak yakin sekali dengan ingatannya.

Selama ini hanya ada Kang Mas Kelana yang menemaninya dan dia yakin akan ingat jika ada laki-laki seperti Arbian yang dulu pernah dia kenal.

"Coba lihat di kontak handphone,deh."

Boram mengambil ponsel, mencoba mencari di sederet nama yang ada di kontaknya namun tetap tidak ada. 

"Ah, entahlah." Boram malah pusing sendiri karena bingung.

Tanpa sengaja dia menekan galeri ponselnya hingga terpampang beberapa fotonya dan almarhum suaminya hingga membuatnya kembali bersedih. Dia lihat satu demi satu hingga tidak sadar matanya sudah berkaca-kaca sampai pada foto pernikahan mereka yang begitu membahagiakan.

"Kang Mas..." Boram bermonolog sendiri. "Doakan aku supaya  bisa melalui semua ini sendirian dengan baik. Aku..." Boram menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isakannya tetap di dalam. Dia tidak mau menyalahkan takdir yang merenggut kebahagiaannya yang terasa sebentar dengan almarhum suaminya. "Aku sangat kehilanganmu."

Boram menggenggam ponselnya, memeluk guling dan membenamkan tubuhnya di sana hingga tidak menyadari rintik-rintik hujan yang perlahan mulai menderas.

Hingga beberapa waktu dia meresapi sakitnya mengenang almarhum dan diam mendnegarkan suara hujan dengan mata yang sayu karena habis menangis juga mengantuk.

"Siapa tahu nanti aku yang jadi suami Mbak berikutnya."

Boram tiba-tiba teringat dengan ucapan bocah sok dewasa itu yang membuatnya tertawa geli. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari bocah SMA yang seharusnya sibuk mencari jati diri bukannya malah terpikat dengan gurunya sendiri.

Boram tersenyum, memilih untuk memejamkan mata sembari mendengar hujan yang menderas.

Samudra. Perjalananmu masih sangat jauh pikir Boram sebelum terlelap.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Safiiaa
makin seruu, Thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status