Share

JANDA - 05

Dari pada menatap semangkok bakso yang masih mengepul panas di depannya, Boram lebih memilih memandangi sang guru olahragawan seksi – Reihan – yang sibuk memotong pentolan bakso menjadi beberapa bagian. 

Menatap otot tangannya yang menonjol kekar bergerak-gerak seirama dengan kegiatannya memotong. Menatap betapa seriusnya si seksi sibuk dengan baksonya. Menatap bagaimana wajah tampan itu menampilkan ekspresi menggemaskan. 

Saat Pak Reihan mengangkat sendok berisi mie dan pentolannya yang sudah berbentuk kecil itu mendekat ke mulutnya, Boram menatapnya tanpa kedip. Dilahapnya dalam sekali bukaan mulut, mengunyahnya nikmat lalu manik mata itu menemukan keterkesimaan Boram. Seulas senyum macho nampak di sudut bibir yang masih sibuk mengunyah itu.

O EM GI. 

"Dimakan baksonya Bu. Jangan melamun. Nanti kalau baksonya dingin, rasanya jadi nggak enak."

Boram gelagapan, reflek mengangguk dan dengan grogi mengambil sebotol kecap di dekat tangan Pak Reihan. Sangking deg-degannya, botol itu sampai terjatuh. Dengan sigap, Boram mengambilnya kembali bersamaan dengan tangan kekar itu yang menbantunya. Kedua tangan mereka bersentuhan. Owww.

Hangat. Seketika wajah Boram rasanya sudah semerah tomat. 

Boram menarik tangannya membiarkan Reihan yang meletakkanya di samping mangkuknya.

"Makasih Pak."

"Sama-sama Bu. Apa anak-anak di kelas tadi membuat ulah? Sepertinya Bu Boram sedang tidak fokus." Reihan menatap seksama Boram yang memilih menyibukkan diri dengan kecapnya. "Aneh. Biasanya kalau pelajaran matematika, mereka anteng."

"Apa karena ada Samudra Pak? Mereka bersikap tenang sih memang. Saya awalnya heran. Tapi tahulah kenapa, pasti takut sama Samudra."

Pak Reihan tertawa. Kembali fokus dengan baksonya. Boram tanpa sadar menghela napasnya.

"Iya. Samudra memang mengancam mereka. Ada gunanya juga sisi berandalnya di kelas."

Boram tertawa menanggapi lalu menatap Reihan serius.

"Dia itu—" Boram meletakkan sendoknya dan melipat lengan di atas meja, "berandalan yang tidak seperti berandalan."

Reihan tersenyum dan mengangguk. Boram merapikan rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga.

"Mana ada berandalan yang serius dengan matematika. Duduk di deretan paling depan. Fokus dan tidak teralihkan. Biasanya kan anak-anak berandalan itu masa bodoh Pak."

"Coba aja dekati dia Bu supaya tahu kenapa."

"Jangan ah Pak. Bahaya." 

Boram menyendokkan baksonya masuk ke dalam mulut. Reihan menaikkan alisnya dan menyerumput segelas teh manis sambil menatap Boram. Siang ini mereka berada di kedia bakso depan sekolah. Bukan di kantin tapi di luar area sekolah. Selepas mengajar tadi dia memiliki waktu mengevaluasi hasil soal anak didiknya sampai jam istirahat kedua berbunyi dan tidak menyangka saat Pak Reihan menghampirin. Ternyata ajakannya memang serius.

"Bahaya kenapa?"

Boram menelan makanannya, "Nggak apa-apa Pak."

"Samudra memang berandalan Bu tapi dia tidak akan membahayakan atau mengancam Bu Boram. Tenang saja."

Boram tertawa. Menyendokkan lagi baksonya. Rasanya nikmat kalau makan berdua.

Reihan menyerumput es teh manisnya, "Jadi Bu Boram tinggal sendirian di kota ini?"

Boram mengangguk. "Iya Pak. Mau mencari pengalaman. Siapa tahu memang di sini jadi tujuan akhir saya menetap."

"Nggak takut sendirian Bu?"  

"Ya takut sih tapi mau gimana lagi. Saya menjalaninya pelan-pelan aja."

"Saya salut sama Ibu. Berani merantau sendirian." Boram tersipu. Reihan memperhatikan lekat. Boram deg-degan akut. "Kalau misalnya ada apa-apa Bu, hubungi saja saya. Siap kapanpun di butuhkan. Biar tengah malam sekalipun misalkan ada keadaan darurat."

Boram terkesima. Reihan tersenyum macho. Boram seketika bahagia. 

"Terimakasih Pak. Itu berarti banyak buat saya."

"Sama-sama."

Mereka lalu diam menghabiskan bakso masing-masing. Boram makan sambil senyum-senyum sendiri saat tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Ah ya Pak. Apa Pak Reihan punya info lowongan kerja part time gitu?"

Alis tebal Reihan terangkat. Di letakkannya sendok dan garpu di dalam mangkok bakso yang kosong dan menggesernya menjauh.

"Part time? Buat Bu Boram?"

"Iya. Untuk menghilangkan bosan di rumah. Saya sudah coba nawarin jasa les privat buat anak-anak kompleks tapi untuk hari sabtu-minggu aja. Setelah pulang ngajar, saya bingung mau ngapain lagi."

"Nggak capek Bu?"

"Capek gimana Pak. Saya masih muda, masih kuat kerja."

"Juga masih cantik."

Boram langsung merona. Reihan berdeham dan tersenyum, "Saya carikan nanti Bu. Mungkin adanya di cafe atau restoran gitu nggak apa-apa ya?"

"Nggak apa-apa Pak. Yang penting halal."

Reihan tertawa dan mengangguk. "Oke."

"Makasih Pak."

"Sama-sama Bu. Habiskan baksonya. Kalau mau nambah lagi boleh kok.”

Boram menggeleng dan tertawa. "Saya sudah kekenyangan Pak.

Boram ingin memuji kebaikan Reihan, tapi ucapannya menggantung di sudut lidah saat di lihatnya di luar kedai bakso, seorang cowok memakai hoodie dan slayer menutupi separuh wajahnya berdiri di jalan masuk kedai memperhatikan Boram.

Reihan yang posisinya membelakangi tidak melihat apa yang Boram lihat. Hanya lima menit pandangan mereka beradu, cowok itu berbalik pergi dan menghilang. Bukan masuk ke dalam area sekolah tapi menjauh dari sana. Boram berniat berdiri tapi tidak jadi. 

Samudra?

***

Sudah sejak setengah jam setelah bel pulang sekolah berbunyi, Boram masih saja nampak gelisah memandangi pintu ruang guru. Menunggu seseorang datang menghadapnya. Diedarkan pandangan ke sekitarnya dan melihat masih ada beberapa guru yang sibuk dengan lembaran soal siswa. Boram menatap mejanya sendiri yang sudah bersih hanya terdapat tas kerjanya.

Boram merapikan rambutnya dan melihat lagi jam di tangannya seraya menghela napas. Saat diyakin Samudra tidak akan datang memenuhi panggilannya, dia berdiri dan mengamit tas kerjanya bersamaan dengan kedatangan Reihan ke dalam menuju pantry di sudut ruangan tapi langkahnya terhenti saat melihat Boram.

"Loh Bu, belum pulang?"

Boram berjalan pelan menghampiri, "Ini baru mau pulang Pak. Duluan ya Pak Reihan."

Reihan menahan langkah Boram, "Kebetulan.Tungguin saya kalau gitu Bu. Biar saya antar. Sekalian ada yang ingin saya beritahu. Bagaimana?"

Boram mengerjapkan matanya, "Nggak usah Pak. Nanti merepotkan."

"Nggak Bu. Saya mau ajak ke sesuatu tempat dulu."

Boram terdiam dengan berbagai macam prasangka indah. Mau di ajak nonton bioskop kah? Atau kencan di kedai es krim?

"Mau kemana ya Pak?"

Reihan membereskan mejanya yang terletak di bagian depan tidak jauh dari posisi Boram berdiri seraya tersenyum.

"Nanti Bu Boram tahu sendiri. Atau—" Reihan menghentikan gerak tangannya dan menatap seksama Boram yang terdiam. "Bu Boram sudah punya acara lain setelah ini?"

Boram reflek menggeleng. Terlalu bersemangat malah.

"Nggak Pak. Saya kan sudah bilang kalau setelah pulang ngajar, nggak punya kerjaan lain." 

Reihan mengangguk, mengambil kunci dari laci mejanya dan menarik jaket kulitnya. 

"Ayo Bu."

"Iya Pak."

Mereka berjalan bersisian menuju ke area parkir khusus motor dan Boram memilih berdiri diam di dekat pintu gerbang menunggu dan memperhatikan Reihan mengeluarkan motor besarnya yang nampak gagah. Seperti orangnya. Untung saja hari ini dia memakai celana dan membawa flatshoesnya. Meskipun nggak ada acara lari-larian lagi bersama Samudra tapi berguna untuk naik ke gonjengan motor besar itu. 

Boram memperhatikan lekat Pak Reihan yang memakai jaketnya, mengancingkannya sampai ke area leher lalu mengambil helm fullfacenya seraya menggerakkan kepalanya agar rambut undercutnya semakin berantakan, menyisirnya ke belakang dengan satu tangan dan memakai helmnya.

Boram seakan menatap Valentino Rossi di depan sana. Tanpa kedip dengan efek slow motion.

"Ayo Bu, naik." 

Entah sejak kapan motor dengan si Valentino Rossi versi KW nya sudah berada di depannya. Boram gelagapan dan mengangguk.

"Ah, iya Pak." Boram berputar ke sisi satunya. "Besar ya Pak motornya." 

Reihan terkekeh seraya menoleh ke belakang saat tangan Boram berpegangan di pundaknya untuk bisa naik ke atas. "Biar sesuai dengan orangnya Bu. Besar."

"Oke Bu. Sudah dapat posisi enak? Kita pergi sekarang ya?" 

"Iya Pak. Jangan laju-laju ya Pak."

Reihan mengacungkan jempolnya ke belakang bersamaan dengan suara gas yang di tarik sangar dan motor melaju keluar dari area parkir menuju ke jalan besar di depan. Otomatis tubuh Boram langsung melesak ke depan seakan ingin menempel pada punggung lebar itu. 

Motor berbelok ke jalan besar melewati halte bus dan saat itu entah kenapa Boram menolehkan kepalanya ke arah sana dengan rambut yang berkibar-kibar dan terkejut menemukan Samudra duduk diam di sana. Cowok itu berdiri saat melihatnya dan menatapnya datar. Boram tidak bisa mengalihkan pandangan sampai sosok di halte itu mengecil dan tidak terlihat lagi.

Boram menatap lurus ke depan dengan berbagai macam pertanyaan, apa Samudra menunggunya di sana?

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
icher
makin penasaran deh aku
goodnovel comment avatar
Safiiaa
makin seruuuu...
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
semakin seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status