Dua Tahun Kemudian
Kesibukan wajib sebagai seorang ibu dan istri di pagi hari adalah menyiapkan sarapan dan bekal sekolah bagi anak dan suaminya. Tugas ini semakin berat jika aku harus meng-handle semuanya sendirian, alias Kavaleri sedang terbang. Untungnya minggu ini dia bisa membantu meringankan pekerjaan rumahku, dan setiap pagi dia juga merasakan bagaimana ribet dan riwehnya aku ketika harus mengurus Saga yang sudah mulai masuk sekolah dan Qilla yang sering rewel di pagi hari.
“Yang, tas sekolah Saga udah dibawa turun?” tanyaku dengan nada setengah berteriak karena jarak dapur dengan ruang keluarga agak sedikit jauh. Tak ada jawaban.
“Yangg…” panggilku dengan menaikkan nada suaraku. Belum juga ada jawaban. Aku berjalan mengambil tupperware dan menata makanan bekal sekolah Saga. Sayup-sayup aku mendengar suara Kavaleri dan suara cekikikan Saga dari arah kolam renang.
“Saga, ayo pak
GADISHari berganti hari, bulan terus berganti, tahun pun juga ikut berganti. Kehidupanku yang dahulu hanya sendiri, mulai menemukan cinta sejati walaupun perjalanannya harus menanjak dan berkelok. Ketika suatu hubungan diserang sana sini, aku tetap berdiri kokoh memperjuangkan sesuatu yang aku tau bahwa hal itu patut untuk diperjuangkan.Memiliki suami setampan Kavaleri Sadega bukanlah hal yang mudah dan selalu menyenangkan. Kadang, aku harus mendengar gosip-gosip yang beredar di kalangancabin crewseputar hubungan gelap Kava dengan pramugari atauwoman pilot.Awalnya memang aku marah, aku marah karena tega-teganya Kavaleri mengkhianatiku dan juga anak-anak kami. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa hal itu hanyalah isapan jempol yang berusaha membuat rumah tanggaku berantakan.Kavaleri Avicenna Sadega, orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilanku. Bapak dari Saga dan Aqilla. Lelaki tampan
GADISAku mematut bayanganku di cermin. Aku meraba kalung berlian yang tak terlihat seperti berlian itu. 'Hhh' aku mendesah dan pikiranku terbang ke waktu itu.“Ini adalah gaji pertamaku Dis, aku harap kamu suka dengan hadiah kecil ini.”Aku tersenyum pahit. Pahit sekali. Dan tak terasa aku meloloskan satu air mata dan berhasil membasahi pipi tembamku. Aku menyekanya secepat kilat. 'Gue nggak mau inget-inget semuanya lagi.'Setelah memutuskan untuk tidak ingin ber-mellow ria, dalam sekejap aku sudah berada di dalam mobil. Aku menelepon kakakku, Celine.“Kak, gue udah otw nih. Lu tunggu di lobby ya.” Yah, beginilah nasib wanita karir yang sudah lama melajang. Aku tidak ingin terlihat sebagai tamu kesepian, jadi kuputuskan untuk mengajak Kak Celine sebagai partner acara malam ini.Malam ini aku harus menghadiri pertunangan anak pemilik perusahaan
KAVALERI Aku melihat jam tanganku, jam tangan bermerk pemberian mantan terkasihku. Aku mendesah, aku ingin menghubungi dia. Ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, apa dia tidak lupa untuk makan siang dan meminum obatnya. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku sangat sangat merindukannya. Merindukan ocehan dan gertakannya ketika aku selalu terlambat menjemputnya.“Kav, kita take off 15 menit lagi. Jangan lupa ya file cuaca sama file passenger kamu yang bawa.” Capt. Isman membuyarkan lamunanku.“Siap Capt, udah saya bawa." Aku berdiri sambil menyeruput ice tea-ku, dan mataku mengevaluasi keadaan di bandara ini. "Ramai sekali, padahal kan ini bukan musim liburan." batinku.Saat aku sampai di waiting room passenger, aku menangkap sesosok wanita yang sangat aku kenal, sedang berjalan menuju garbarata. Dia nampak anggun dengan balutan dress berwarna hitam dan dipadukan
Changi Airport, 13.55 Aku segera turun dari pesawat, menghindari hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi. Aku tidak bisa membayangkan jika 'dia' tau bahwa ada namaku di manifes penumpang miliknya. Sialnya, koperku tidak kunjung terlihat dan itu membuatku merasa was-was. “Dis, lu kenapa sih kaya dikejar maling gitu?!” Valerie yang menyadari tingkahku dan mulai muak segera menegurku. “Lu tau nggak sih Val gimana takutnya hati gue saat ini kalo tiba-tiba Kava ngelihat gue dan dia nyamperin gitu?” Aku melihat ekspresi Valerie yang berubah dan melihat ke arah belakangku. “Apa sih Val? Lu ngeliat apa? Tuh koper kita nongol! Cepet ambil keburu si pilot lihat kita!!” Aku menarik tangan Valerie, tapi... “Dis!” Suara itu... suara lembut, merdu, dan selalu ingin kudengar sebelum aku tidur melalui sambungan telepon. “Gotcha!!!” batinku. Aku tidak berani menoleh, tidak berani mengubah sikapku. “Gadis?” Suara i
Aku memasukkan beberapa map berisi dokumen-dokumen penting ke dalam tasku. Valerie sedang memoleskan blush-on ke pipinya. Aku melirik ke jam tanganku. Baru saja aku mematikan Macbook-ku, dan sedang menghafalkan skenario yang Radit berikan.“Ayo Val, 30 menit lagi meeting mulai lho.” Aku bergegas ke rak sepatu dan memakai wedges berwarna gold.“Iya bentar, jemputan belum miss call gue nih.”Aku mengerutkan dahiku. Menautkan alis tipisku seraya memandang Valerie heran.“Jemputan? Sejak kapan perusahaan kita bilang ada fasilitas jemputan?” Valerie tersenyum simpul sambil memandangi layar iPhone-nya. “Yuk udah miss call nih.”Kami berdua bergegas menuju lobby. Aku hanya bingung dengan ‘jemputan’ yang Valerie maksud. Kenapa Radit tidak bilang kalau ada fasilitas jemputan? Atau apakah karena hotel yang kami tinggali kelewat mewah,
KAVALERIAku merebahkan tubuhku di sofa dekat jendela. Memandangi jalanan yang cukup ramai di bawah, sambil memikirkan gadis cantik yang ada di kamar sebelah. Tiba-tiba iPhone-ku berdering.Asha Incoming Call.Aku mendesah frustasi. Ku lempar hpku menjauh dan mulai melepaskan sepatuku. Tapi wanita licik itu tidak gentar meneleponku. Akhirnya aku menggeser layar handphone-ku.“Kamu tuh lagi dimana sih sayang? Kok telfon aku dianggurin gitu kayanya?” suaranya yang memuakkan membuatku memutar bola mataku saat mendengar sapaannya tadi.“Aku sibuk.” Jawabku sekenanya. Aku mendengar dia menghembuskan nafas sebalnya. “Kamu tuh selalu sibuk! Nggak pernah ada waktu buat aku! Kav bentar lagi kita tuh nikah, apa kamu nggak mau nemenin aku ke bridal buat milih konsep dan busana pernikahan kita?” ocehnya yang membuat kepalaku pening. Nikah? Aku baru sadar jika dalam waktu dekat ini aku
GADISAku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.“Apa gue harus pindah apartemen ya?”Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon
GADISAku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.8 Missed Call2 New MessagesAku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari