KAVALERI
Aku melihat jam tanganku, jam tangan bermerk pemberian mantan terkasihku. Aku mendesah, aku ingin menghubungi dia. Ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, apa dia tidak lupa untuk makan siang dan meminum obatnya. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku sangat sangat merindukannya. Merindukan ocehan dan gertakannya ketika aku selalu terlambat menjemputnya.
“Kav, kita take off 15 menit lagi. Jangan lupa ya file cuaca sama file passenger kamu yang bawa.” Capt. Isman membuyarkan lamunanku.
“Siap Capt, udah saya bawa." Aku berdiri sambil menyeruput ice tea-ku, dan mataku mengevaluasi keadaan di bandara ini. "Ramai sekali, padahal kan ini bukan musim liburan." batinku.
Saat aku sampai di waiting room passenger, aku menangkap sesosok wanita yang sangat aku kenal, sedang berjalan menuju garbarata. Dia nampak anggun dengan balutan dress berwarna hitam dan dipadukan dengan sepatu Nike-nya. Aku sangat mengenalnya. Aku ingin berlari ke arahnya, tapi Capt. Isman memanggilku dari belakang.
“Kav, kita akan bawa A320, destinasi Singapur dan jumlah passenger ada 245 orang. Menurut smartphone saya sih cuaca cukup cerah. Tapi agak berawan sih jadi kita harus hati-hati nih Kav.” Untuk pertama kalinya, aku bosan mendengarkan ocehan Capt. Isman yang sedang menjelaskan penerbangan yang akan aku bawa. Pandanganku tidak terlepas dari Gadis yang sedang menyapa pramugari yang ada di pintu masuk pesawat.
“Kamu nggak berubah, sayang. Masih cantik, masih anggun, dan masih seperti dulu.” batinku.
☺☺☺
GADIS
Aku membanting pantatku ke kursi super empuk pesawat ini. Mataku mulai pedas karena aku lupa tidak memakai kacamata. Aku mencoba mencari iPhone-ku dan menghubungi Ibu.
“Halo nak, ada apa?” sapa suara yang sangat aku rindukan.
“Bu ini Gadis udah ada di pesawat, doain biar selamat sampai tujuan ya Bu. Doain juga semoga urusan Gadis di sana lancar.”
“Iya nak iya, pasti Ibu sama Bapak doakan anak bungsu Ibu ini.” suaranya sangat halus. Ibu dan Bapak memang tidak tinggal di Jakarta. Mereka tinggal di Bali dan itu semua adalah ideku. Aku pikir mereka harus menikmati masa-masa tua mereka dengan hidup penuh keindahan dan pesona Pulau Dewata.
“Kamu kapan kunjungin Bapak sama Ibu ke Bali?” Suara di seberang berubah berat dan membuyarkan lamunanku. Bapak. “Tunggu dulu ya Pak, Gadis masih belum ada waktu longgar. Bulan ini sama bulan depan masih ada tender yang harus Gadis tangani. Tapi, Gadis janji bakal usahain main ke Bali.” Aku tersenyum seolah-olah Bapak bisa melihatku.
“Kavaleri baik-baik aja kan Dis? Kamu ke Singapur nggak sama dia toh?” Aku lupa memberi tahu Bapak-Ibu jika antara aku dan Kava sudah tidak ada apa-apa. “Dis? Halo?” Bapak memanggilku. “Halo Pak? Ini aku udah mau take off nih, matiin dulu ya Pak. Nanti kalo udah di Singapur aku skype. Dah Bapak, jaga kesehatan ya Pak! Ibu juga!”
Aku menghela nafas lega. Valerie yang sedari tadi duduk di sampingku ternyata berusaha menguping pembicaraan di telefon.
“So, lu nggak cerita bokap nyokap?" Aku menggeleng lemah dan membuang nafasku kasar. “Kenapa? Gue yakin mereka bisa nerima.” yakinnya. Aku memandangnya gusar. “Bukan masalah menerima atau enggaknga Val, tapi Kava bilang ke Kak Celine cuti selanjutnya dia mau main ke Bali. Gue juga nggak bisa ngelarang dia, dia nggak ngehubungin gue sama sekali. Malahan dia telfon Kak Celine. Kalaupun gue bilang ke bokap nyokap masalah putus, i think it's okay for them. Tapi kalo gue ketahuan ngelarang Kava main, habis deh gue.”
Valerie tersenyum geli. Dia menatap ke layar iPad-nya dan mengusapnya lembut. “Yaudah deh, terserah lu aja. Lu tidur gih mata lu merah tuh.”
Benar juga, aku merasakan bahwa mataku mulai sangat perih. Aku mencoba memejamkan mataku dan sayup-sayup aku mendengar speaker pesawat berbunyi.
“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Garuda Indonesia GA-217 dengan tujuan Singapura. Penerbangan ke Singapura akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam dan 30 menit, dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut. Perlu kami sampaikan bahwa penerbangan Garuda Indonesia ini adalah tanpa asap rokok, sebelum lepas landas kami persilahkan kepada anda untuk menegakkan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka dihadapan anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan membuka penutup jendela. Atas nama Garuda Indonesia, Kapten Isman dan Ko-kapten Kavaleri beserta seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, dan terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama Garuda Indonesia.”
Aku membuka mataku kembali, dengan gerakan kilat dan nafasku tercekat di pangkal leher. "Siapa? Apakah gue salah denger?" batinku meronta. Aku menatap Valerie dan dia juga sedang menatapku.
“Nama Kavaleri di Garuda ada berapa orang Dis?” tanyanya tak percaya.
“Idunno, tapi gue yakin, ini Kavaleri Saga! Kavaleri gue Val, yang diambil orang!”
Aku merasakan tubuhnya mulai panas dingin. Aku tak tahu harus bagaimana nanti jika Kavaleri mendapati namaku ada di manifes penumpang. Rasa kantuk dan pedasnya mataku sudah tidak bisa kurasakan lagi sekarang.
“Nggak mungkin kan Val kalo Kava bakal ngecekin satu per satu nama penumpang?” tanyaku kepada Valerie yang sama cengohnya denganku saat ini.
Valerie hanya menggeleng. Perasaanku tambah gusar. Aku memanggil salah satu pramugari untuk menanyakan kepastian apakah seorang pilot melihat daftar penumpang yang ada di pesawatnya. Pramugari itu tampak heran dengan pertanyaan bodohku itu.
“Saya juga kurang tahu Bu, situasional kalau masalah melihat dan mengecek manifes penumpang. Apakah ada kesalahan pada data yang Ibu input?” tanya pramugari itu dengan sedikit curiga. Mungkin dia berpikir aku adalah seorang yang berbahaya dan memalsukan identitasku.
“Oh, nggak mbak… Gini, anu, mmm…” kegaguanku membuat pramugari dengan name tag Sarah ini semakin memandangku curiga.
“Kopilotnya mantan dia mbak!” celetuk Valerie yang gemas ketika aku tak bisa mengatakan apa yang ada di ujung lidahku. Aku melotot ke Valerie dan menjitak kepalanya.
Setelah mendengar penjelasan Valerie, pramugari itu tersenyum jahil memandangku dan berusaha untuk menyembunyikan rasa gelinya.
“Mbak, maaf ya ini temenku nggak punya akhlak soalnya.”
Pramugari itu masih tersenyum, “Nggak papa Bu, saya maklum kok…”
Aku bingung harus bersikap bagaimana di depan pramugari ini. “Mbak, jangan bilang ke Kavaleri ya kalau ada mantannya duduk di kelas bisnis. Mohon banget mbak, bisa kan?” aku berusaha untuk bernegosiasi pada pramugari cantik di hadapanku.
Mungkin aku terlihat bodoh karena permintaanku itu. Tapi aku benar-benar takut jika pramugari ini tidak bisa dipercaya dan membocorkan keberadaanku di pesawat ini.
“Iya Bu, tenang… Kenyamanan dan privasi penumpang akan kami jaga sepenuh hati…”
Syukurlah! Jawaban itu sangat melegakan bagi hatiku sekaligus membuatku menanggung malu! Di sisa perjalanan, aku tak bisa tidur. Aku takut jika Kava keluar dari kokpit dan melihatku ada di penumpang kelas bisnis. Aku bersusah payah menahan kantukku untuk melihat situasi tetap aman dan aku bisa keluar pesawat dengan tenang. Semoga saja Kavaleri tidak pernah melihat namaku di manifes penumpangnya. Semoga saja!
Changi Airport, 13.55 Aku segera turun dari pesawat, menghindari hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi. Aku tidak bisa membayangkan jika 'dia' tau bahwa ada namaku di manifes penumpang miliknya. Sialnya, koperku tidak kunjung terlihat dan itu membuatku merasa was-was. “Dis, lu kenapa sih kaya dikejar maling gitu?!” Valerie yang menyadari tingkahku dan mulai muak segera menegurku. “Lu tau nggak sih Val gimana takutnya hati gue saat ini kalo tiba-tiba Kava ngelihat gue dan dia nyamperin gitu?” Aku melihat ekspresi Valerie yang berubah dan melihat ke arah belakangku. “Apa sih Val? Lu ngeliat apa? Tuh koper kita nongol! Cepet ambil keburu si pilot lihat kita!!” Aku menarik tangan Valerie, tapi... “Dis!” Suara itu... suara lembut, merdu, dan selalu ingin kudengar sebelum aku tidur melalui sambungan telepon. “Gotcha!!!” batinku. Aku tidak berani menoleh, tidak berani mengubah sikapku. “Gadis?” Suara i
Aku memasukkan beberapa map berisi dokumen-dokumen penting ke dalam tasku. Valerie sedang memoleskan blush-on ke pipinya. Aku melirik ke jam tanganku. Baru saja aku mematikan Macbook-ku, dan sedang menghafalkan skenario yang Radit berikan.“Ayo Val, 30 menit lagi meeting mulai lho.” Aku bergegas ke rak sepatu dan memakai wedges berwarna gold.“Iya bentar, jemputan belum miss call gue nih.”Aku mengerutkan dahiku. Menautkan alis tipisku seraya memandang Valerie heran.“Jemputan? Sejak kapan perusahaan kita bilang ada fasilitas jemputan?” Valerie tersenyum simpul sambil memandangi layar iPhone-nya. “Yuk udah miss call nih.”Kami berdua bergegas menuju lobby. Aku hanya bingung dengan ‘jemputan’ yang Valerie maksud. Kenapa Radit tidak bilang kalau ada fasilitas jemputan? Atau apakah karena hotel yang kami tinggali kelewat mewah,
KAVALERIAku merebahkan tubuhku di sofa dekat jendela. Memandangi jalanan yang cukup ramai di bawah, sambil memikirkan gadis cantik yang ada di kamar sebelah. Tiba-tiba iPhone-ku berdering.Asha Incoming Call.Aku mendesah frustasi. Ku lempar hpku menjauh dan mulai melepaskan sepatuku. Tapi wanita licik itu tidak gentar meneleponku. Akhirnya aku menggeser layar handphone-ku.“Kamu tuh lagi dimana sih sayang? Kok telfon aku dianggurin gitu kayanya?” suaranya yang memuakkan membuatku memutar bola mataku saat mendengar sapaannya tadi.“Aku sibuk.” Jawabku sekenanya. Aku mendengar dia menghembuskan nafas sebalnya. “Kamu tuh selalu sibuk! Nggak pernah ada waktu buat aku! Kav bentar lagi kita tuh nikah, apa kamu nggak mau nemenin aku ke bridal buat milih konsep dan busana pernikahan kita?” ocehnya yang membuat kepalaku pening. Nikah? Aku baru sadar jika dalam waktu dekat ini aku
GADISAku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.“Apa gue harus pindah apartemen ya?”Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon
GADISAku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.8 Missed Call2 New MessagesAku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari
GADISAku menikmati semilir angin Kuta yang menerpa rambutku. Ibu duduk di sampingku sambil mengelus pelan rambutku. Kak Celine sedang ada di kasir bersama Bapak. Memesan menu mungkin.“Tumben Dis kamu nggak ganti warna rambut? Dua bulan lalu kamu ke sini rambutnya masih ini kan?” Suara Ibu memecah keheningan dan aku memegang ujung rambutku.“Belum nemu warna yang bagus dan cocok buat aku Bu, mungkin kalo besok ke salon nemu yang cocok langsung ganti."“Oh begitu ya, Ibu pikir karena Kavaleri suka yang warna ini.”DEG.Aku masih belum memberitahu Ibu maupun Bapak perihal undangan pernikahan itu.“Kavaleri kabarnya baik-baik aja kan Dis? Ini kedua kalinya ya kamu ke Bali tanpa dia.”Aku membeku. Tubuhku menegang. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya bukan pilihan tepat aku berada di Bali dalam kondisi dan situasi seperti ini. Bapak dan Ibu pasti akan selalu mena
Kata-kata Kavaleri masih membekas di telingaku. Aku mencari jawaban ke segala penjuru otakku. Nafasku terasa berat sekarang, Kavaleri masih berdiri di depanku, dan aku mendongakkan kepalaku untuk tetap menatap mata indahnya. Nafasnya bisa kurasakan menyapu hangat wajahku, dan tangannya masih setia menangkup kedua pipiku.“Aku mohon Dis, kamu mau nemenin aku berjuang.” Aku menangkap nada memohonnya dengan sangat jelas. Ada harapan yang digantungkan di sana. Aku menghelas nafas panjang. Menyingkirkan tangannya dan mencoba berdiri untuk menyeimbangkan tinggi kami.“Gimana sama Asha? Aku nggak mau buat dia kecewa.” Balasku seraya berjalan ke arah jendela balkon kamarku. Aku mendengar decakan yang sangat jelas dari belakangku.“Tsk, kamu ngapain mikir dia? Dia aja waktu ngrebut aku dan berhasil ngedoktrin Papa nggak mikirin perasaan kamu.” Aku merasakan kedua tangan melingkar di pinggulku, Kavaleri memelukku dari belakang. Na
GADISAku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.Pertanyaan bodoh!“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp