Sinar matahari menyengat kulit orang-orang yang berkerumun di jalanan Kota G. Baru saja terjadi sebuah kecelakaan tunggal. Korbannya adalah seorang pengendara sepeda motor. Di antara kerumunan itu, seorang pria berwajah tirus dengan potongan rambut undercut, berpakaian musim dingin sedang berjongkok di samping pria yang menjadi korban kecelakaan tunggal. Dengan sigap, pria itu memeriksa pupil korban. Saat dia merasakan terjadi pendarahan pada bagian lengan korban, dia segera memposisikan lengan korban lebih tinggi dari jantung.
“Seseorang, tolong panggilkan ambulans!” teriakknya ke arah kerumunan. Beberapa dari mereka kemudian mengeluarkan smartphone secara bersamaan.“Cukup satu saja yang panggil ambulans!” Pria itu membentak. Melihat reaksi dari mereka yang menggenggam smartphone kuat-kuat, dia lantas merebut salah satu ponsel dari tangan wanita berpakaian kantoran. Menekan tombol kemudian berkata setelah sambungan terhubung“Halo, ambulans. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Habitat, Kota G. Kondisi korban saat ini mengalami pendarahan pada pelipis dan kemungkinan luka dalam dan perlu penanganan lebih lanjut.”[Baiklah, kami akan mengirim ambulans segera]Dia mengembalikan ponsel kepada pemiliknya kemudian menekan-nekan dada korban, segera dia menjampit hidung dan memberi napas buatan. Sesaat kemudian, dada pria itu mengembung, dia kembali melakukan resusitasi jantung, mengulangi menekan-nekan jantung sambil sesekali memberi napas buatan. Tidak lama, pria itu terbatuk-batuk. Mereka yang berkerumun pun bersorak lega. Memuji pria itu bak pahlawan yang datang entah dari mana.
Suara sirine ambulans mendekat. Setelah sampai di tempat kejadian, mobil berwarna putih dengan tulisan nama rumah sakit berhenti tepat di tempat kejadian. Empat orang petugas medis yang salah satunya adalah dokter turun dari bagian belakang mobil, lengkap dengan tandu. Tubuh pria yang tergeletak di trotoar itu kemudian diangkat dengan hati-hati ke atas tandu, dipindahkan ke dalam mobil ambulans. Salah seorang petugas menutup bagian belakang mobil setelah rekannya masuk begitu juga dengan korban kecelakaan. Dia berlari bergegas masuk ke dalam mobil.Suara sirine dari mobil ambulans seolah memecah kota. Begitu mobil itu melaju, kerumunan manusia itu membubarkan diri, menyebar ke segala arah, melanjutkan ke tempat tujuan yang sempat tertunda.
Tidak jauh dari tempat itu, seorang gadis penjual burger sedang membersihkan meja bersama seorang rekannya yang sedang sibuk membersihkan konter truk.
“Setiap bulan ada aja yang kecelakaan di perempatan itu, ya,” ucap gadis berparas ayu. Tubuhnya ramping semampai. Namanya Yunri Han, gadis yatim-piatu yang hidup seorang diri selepas meninggalkan panti asuhan. Ibunya meninggal saat dia masih kecil sedangkan ayahnya pergi entah kemana. Berita terakhir yang dia dengar adalah ayahnya bekerja untuk seorang kaya di kota G.
“Yah, tontonan seru untuk kita,” jawab rekannya yang berambut keriting dari balik konter.
“Hus! Kalau ngomong jangan sembarangan. Masa musibah orang kamu anggap sebagai tontonan.” Yunri nyeletuk kesal.
“Oh ya, bagaimana anak-anak di Yayasan itu?” tanya rekannya lagi.
Tirta, begitulah rekan Yunri dipanggil. Pria itu adalah pemilik waralaba Burgerdel. Mereka berdua dulu teman satu panti asuhan. Setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu Yunri mencari uang tambahan di kedai burger milik Tirta.
“Seperti biasanya. Tapi, kamu tahu Le Regar, kan? Anak itu masih bermasalah dengan tulisannya.”
Pria yang tadi menolong korban itu memandang bagian belakang ambulans yang semakin menjauh. Suara sirinenya pun semakin samar terngiang di telinga. Lambat laun, mobil itu menghilang dari pandangan matanya, dia mencangklong ranselnya. Melanjutkan perjalanan sembari menarik koper.Ethan Darius, itulah nama pria yang menolong korban kecalakan tunggal tadi. Pria berusian dua puluh enam tahun itu baru saja tiba di Indonesia setelah menempuh pendidikan dokter di salah satu universitas ternama di Jepang selama empat tahun.
Ethan memasuki lift di sebuah gedung apartemen mewah. Dua orang pria yang juga ada di lift bersama Ethan memandangnya dengan tatapan aneh. Bukan karena Ethan tampan atau karena kedua pria itu tertarik kepada sesama jenis melainkan, cara berpakaian Ethan yang membuat Ethan bagaikan benda antik. Maklum, di Jepang saat ini sedang musim dingin sehingga Ethan pergi dengan pakaian musiman. Akan tetapi, Indonesia adalah negara tropis, musim dingin dan pakaiannya adalah hal yang tabu. Wajar saja, dia menjadi pusat perhatian di lift itu.
Pintu lift pun terbuka, Ethan dan dua pria tadi keluar beriringan. Mereka berpisah di lorong. Ethan mengambil jalur kiri di ujung lorong kemudian berdiri di depan kamar apartemen nomor 402. Tangannya gamang memencet bel apartemen tempat tinggal kakak perempuannya. Dia ingin segera melepas kerinduan dengan kakak.
Hanya dengan sedikit dorongan yang tidak sengaja, pintu apartemen yang dia kira terkuci itu melebar, terbuka menyambut Ethan. Tidak ada siapapun di dalam sana bahkan, sosok perempuan yang dia rindukan.
Ethan menyeret koper, masuk lebih dalam ke bagian tengah hunian kakaknya. Matanya takjub, disuguhi pemandangan apartemen luas dengan furnitur mewah di dalamnya. Dapur yang menyatu dengan ruang tamu tanpa sekat menambah kesan minimalis namun tetap mewah.“Dasar ceroboh!” celetuk Ethan begitu melihat hunian kakaknya sepi. Dia kemudian masuk, menyeret tas lalu melempar badan ke atas sofa kulit berwarna biru muda, melepaskan rasa lelahnya di sana.
Bertahun-tahun tinggal di negeri yang menerapkan tingkat kedisiplinan tinggi tidak lantas membuat Ethan membawa kebiasaan itu ke Indonesia. Dia bahkan ingin merasakan bagaimana nikmatnya melanggar aturan dan bertingkah semaunya. Sekarang, dia terbebas dari belengu aturan kedisiplinan.
Pulang ke Indonesia adalah hal paling diinginkan Ethan. Dia sudah rindu dengan wajah kakaknya yang asli. Selama ini hanya berkabar lewat video call dan itu pun singkat jika ada keperluan. Rosie terlalu sibuk untuk meladeni candaan Ethan yang bagi Rosie hanya basa-basi. Perjalanan dari Tokyo-Jakarta yang memang menguras tenaga padahal hanya duduk dalam pesawat. Ethan melepas pakaian musim dingin yang tentu saja sudah tidak cocok lagi dengan iklim Indonesia yang panas. Melempar pakaian itu sembarangan lantas merebahkan diri di sofa untuk melepaskan penatnya. Dia juga menyalakan AC yang ada di ruang tamu itu. "Ah, kimochi!" Ethan merasakan udara yang berembus dari AC. Sejuk dan begitu nyaman. Sesaat setelah merasakan hawa dingin yang menerpa seluruh tubuhnya, Ethan pun berpikir bagaiaman akan menyambut kakak perempuannya nanti. Sekadar memberi kejutan tapi, meskipun Ethan memberi kejutan nantinya, kakak perempuannya pasti hanya akan memasang ekspresi datar.
Rosie Sarfosa duduk di kursi hidrolik sambil melipat tangan ke dada. Wanita berparas oriental itu sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun beberapa bulan lalu. Usia yang tidak bisa dikatakan tua dalam menduduki jabatan manajer. Hari ini, dia sedang memusatkan fokus sampai dahinya mengerut dalam memikirkan rencana pemasaran untuk Youth Serum, sebuah produk kecantikan yang baru saja launching sebulan. Sesekali dia membuka laporan penjualan di dalam layar komputer. Tangan dengan jari lentik itu lihai memainkan tetikus sambil menggigit ibu jari kanan yang lentik kemudian mereview satu persatu grafik penjualan produk. Tidak hanya itu yang Rosie lakukan, Rosie juga mencatat hasil review di notebook dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi. Hal itu selalu dilakukan Rosie setiap awal dan akhir bulan. Belum lagi urusan lainnya seperti menetapkan tujuan dan sasaran jalannya operasional perusahaan. Setiap strategi penjualan kepada konsumen pun
Kerlap-kerlip lampu kota membuat pesona kota semakin indah, menawan. Dari balkon, kendaraan yang lewat di jalan tol bak kunang-kunang yang merayap di tanah. Empat tahun di Jepang membuat Ethan merindukan kota kelahirannya itu. Seakan tidak puas dengan pemandangan malam Negeri Sakura yang sudah setiap hari dia lihat. Ethan mengingat baik-baik kata orang, “Seburuk-buruknya negeri sendiri tetap saja tempat paling nyaman untuk hidup.” Berbekal cangkir di tangan kirinya, Ethan menikmati suguhan kota yang memanjakan mata. Sesekali dia meneguk kopinya kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana. Mengeluarkan sebatang dari kotaknya. Melepit diantara gigi seri atas dan bawah. Ibu jarinya menekan pemantik untuk menyulut ujung rokok. Dihisapnya pelan-pelan, dikebulkannya asap tipis dari lubang hidung. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan seperti itu dalam kehidupan para pecandu nikotin. "Kamu akan masuk angin kalau lama-lama di luar!" Suara Rosie dari ruang tamu mengagetk
Matahari pagi merangsek masuk menembus kaca jendela kamar Rosie yang gordennya lupa dia tutup. Semalam, Rosie terlalu lelah dengan lemburnya jadi, wanita itu langsung melempar badan ke king size dan langsung terlelap begitu badannya merasakan kenyamanan king size. Setelah selesai mematut diri di depan cermin Rosie sudah siap berangkat dengan setelan blazer putih dan celana kain berwarna senada. Di Balik blazer itu, dia hanya mengenakan kemeja warna krim. Hanya dengan berpakaian kerja seperti itu saja, wanita itu tampak berkarisma. Tidak dapat dipungkiri lagi aura seorang leader menguar dari dirinya. Derap sepatu heels beradu dengan permukaan lantai saat dia keluar dari kamar. Matanya lantas menyoroti Ethan yang masih pulas di atas sofa dengaan selimut tipis warna biru langit. Membiarkan adiknya seperti itu, Rosie melenggang ke balik konter dapur. Menarik lim
"Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!" Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal. Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie. Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela. “Kalau begini terus, kamu gak
“Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka. “Kamu yang kenapa!” bentak Mario. Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah. “Tenang dulu, sebenarnya ada apa?” “Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan. Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,” “Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario. “Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah
Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih
Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m