Share

Mario Yang Tersulut

"Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!"

   Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal.

      Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan  seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie.

     Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela.

“Kalau begini terus, kamu gak bisa gantiin posisi Ayah. Bahkan, mantan pacarmu yang sekarang menjabat jadi manajer lebih cocok di posisi Ayah.”

     Mario hanya tertunduk, meremas kuat-kuat celana  kain warna navy yang dikenakan. Rahangnya bergetar menahan kekesalan. Dia ingin mengumpat tetapi Mario hanya berkata, “Ma-maaf.” Suara bergetar keluar dari balik tenggorokan Mario.

      Harwan berbalik, memandang lurus-lurus puteranya.

“Setidaknya bekerja dengan baik. Jangan mau dikalahkan oleh wanita!”

“Orang yang jadi presdir di perusahaan ini bukan orang yang lemah. Sekalipun kamu adalah puteraku, kamu gak bisa instan dapat posisi ini. Bahkan kalau ada orang yang kerjanya memenuhi standarku, aku akan menyerahkan posisi presiden direktur sekalipun tidak ada hubungan darah di antara kami." Suara parau pria bertubuh tambun itu mengejutkan Mario. 

     Pak Harwan sudah sering membentak Mario, membandingkan dengan beberapa anak teman bisnis dan bahkan mempermalukan Mario, tetapi baru kali ini Harwan membuat Mario mencemaskan jabatan.  Seharusnya, Mariolah yang berhak atas jabatan presdir.

    Mario tidak ingin berlama-lama di ruang itu, kalimat ayahnya berputar-putar di kepala, mendengung di telinga. Lantas, Mario bangkit dari tempat duduknya. Melakukan ojigi sebagai tanda hormat.

“Aku pergi dulu,” ucapnya kepada Sang Ayah.

    Ya, keluarga Minoru masih memegang budaya Jepang terutama kedisiplinan dan rasa hormat terhadap orang tua. Akan tetapi, etos kerja yang penuh dengan keseriusan sepertinya tidak mendarah daging di dalam jiwa Mario.

***                              

   Mario menenangkan pikiran dengan sekaleng kopi, duduk di ataas bangku panjang di bawah pohon rindang.  Mario menengadah setelah menenggak kopi. Perkataan Sang Ayah terngiang di daun telinganya yang tipis. Setiap kali Sang Ayah mengatakan tentang jabatan presiden direktur, saat itulah dia merasa seperti anak tiri.  Tetap saja, standar Sang Ayah selalu tinggi. Belakangan, yang membuat hatinya sakit adalah harus dibandingkan dengan Rosie, mantan kekasih yang gagal dia nikahi karena tuduhannya yang tidak masuk akal.

     Jika saja, Mario mendengarkan kata hatinya dulu, sekarang ini pasti tidak ada penyesalan. Mimpi Mario bukanlah meneruskan bisnis keluarga tetapi, dia ingin menjadi seorang produser grup idol.  Mario sudah berkali-kali menentang hatinya karena ayah, menugubur dalam cita-citanya untuk menjadi seorang produser grup idol di Jepang dan terpaksa mengambil jurusan manajemen bisnis.

 "Kalau melamun gini, pasti mikirin hal yang sebenarnya gak harus kamu pikirin." Seorang wanita dengan berkaki jenjang dengan pakaian formal  tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan Mario sambil melipat tangan ke dada.

 "Udah sering aku bilang, kalau nyesel di belakang gak ada gunanya. Mending balik ke Jepang , deh!" Wanita itu kemudian duduk di sebelah Mario dan menyenderkan punggung dengan santai pada sandaran bangku panjang itu. 

"Masih aja keras kepala!" Giesta lagi-lagi menggerutu namun tidak dihiraukan oleh Mario.

       Mario terdiam, mendengar semua ocehan sepupunya itu.

"Kalau mau hancurin orang sekalian aja, sayangnya kamu itu gak sekejam ayahmu."

"Diam!" bentak Mario, dia semakin kesal dengan Giesta. Tukang kompor yang selalu membakar dan menghancurkan ambisinya.

"Maaf ya, kalau boleh kasi saran- "

"Aku harus pergi!" Mario menyambar kalimat Giesta sebelum wanita itu menyelesaikannya. Beranjak dari tempat duduk, melenggang menjauh dari Giesta.

"Masih aja keras kepala!" celetuk Giesta sekali lagi.

      Giesta Sudrajat,   sepupu Mario yang  berparas anggun, berwawasan luas, tetapi wawasannya itu dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Meskipun Giesta adalah anak orang kaya, dia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Wanita itu juga yang menjadi kompor atas gagalnya hubungan Mario dengan Rosie ke jenjang lebih tinggi.

***

    Malam itu, pesta kenaikan jabatan Rosie dirayakan di sebuah bar kelas VIP. Bukan hanya perayaan kenaikan jabatan, tetapi sekaligus perayaan atas kejayaan salah satu produk perawatan wajah untuk  pria yang berhasil menduduki puncak penjualan nomor satu di Indonesia. Rosie dan Mario duduk di sofa memanjang yang empuk. Sambil sesekali meneguk wine mewah.

“Hari ini, kamu jadi bintangnya, Sayang.” Mario berbisik ke telinga Rosie yang mengenakan dress merah. Mario pun tidak ingin kalah dalam urusan tampilan di pesta sepenting itu. Mario tampak gagah dengan setelan jas rapi dan dasi double windsor knot. Tampilan sempurna putera presdir. Dua orang itu tampak bahagia, menikmati hiburan dansa dari para anggota departemen pemasaran.

    Rosie hanya tersenyum manis. Dia bangga pada dirinya sendiri karena mampu memimpin anggotanya. Bukan Rosie namanya jika dia tidak berambisi dan mendapatkan apa yang dia mau dalam karir.

     Beberapa  dari mereka pun larut dalam alunan musik sambil berdansa. Tiba-tiba, musik berhenti. Sang Presiden berdiri tegak di hadapan mereka. Melihat sosok pimpinan berbadan tambun namun gagah, mereka menghentikan aktivitasnya untuk memasang telinga, mendengarkan sambutan dari Sang Presiden.

“Saya tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada departemen pemasaran. Kalian sudah bekerja keras dan tentu saja, salah satu produk kita bisa mencapai puncak karena kalian di bawah arahan Bu Rosie Sarfosa.”

    Riuh tepuk tangan pun bergemuruh di ruang bar VIP itu.

“Silakan, Bu Rosie mendekat ke saya!”

     Rosie pun berdiri, membungkuk ke seluruh orang dari departemen pemasaran dan menebar senyum. Dengan anggun dia mendekat ke calon ayah mertua sekaligus pimpinan tertinggi dari Absolute Beauty Chemical itu.

“Selamat untuk jabatan Manajer. Silakan sepatah dua patah kata untuk disampaikan kepada anggota tim.” Sang Presdir pun menyerahkan waktunya.

“Terima kasih!”

        Di tengah kata sambutan Rosie, Giesta yang datang entah darimana itu duduk di sebelah Mario. Dia memandang Rosie sinis.

“Selamat atas kenaikan jabatan calon istrimu,” ucap Giesta.

“Makasih.” Mario menyambut.

“Aku iri dengan Rosie. Dia sudah bekerja keras memberikan -,” Giesta menggerakan jari telunjuk dan jari tengahnya-.”penghiburan pada Paman,” imbuh Giesta.

 “Dia bekerja begitu keras!” Mario menukas, tanpa mengalihkan pandangan kepada Rosie yang sedang berpidato di depan sana, dia melempar dua jempol dan dibalas dengan kedipan nakal Rosie.

    Giesta mendekatkan wajahnya ke Mario, membisikkan sesuatu yang membuat pria itu terkesiap. Matanya membeliak memandang wajah Giesta yang menyeringai.

“Itu gak mungkin!”

“Yah, mana mungkin kamu percaya. Aku hanya sepupu yang ingin mengatakan hal sebenarnya.” Giesta melengos, dia beranjak kemudian membaur dengan orang-orang yang berpesta berbarengan dengan pidato Rosie yang ditutup dengan riuh tepuk tangan.

     Mario tertegun, dia hanya memandang Rosie yang berjalan mendekat dengan senyum sumringah. Rosie mengecup pipi kekasihnya, tanda terima ksih karena sudah mendukungnya sampai di titik ini.

    Melihat air muka calon suaminya, Rosie terheran-heran. Padahal tadi Mario sangat antusias ketika riuh tepuk tangan penyambutan memanggil dirinya.

“Kamu kenapa, Sayang?” Rosie menelengkan kepala. Sesaat kemudian, Mario mengalihkan pandangan. Mengangkan gelas kaca dan meneguk wine di hadapannya.

“Kita bicarakan saat pesta ini selesai,” ucap Mario.

***

     Pesta berakhir larut malam, beberapa keluar dari dalam bar VIP itu dengan keadaan mabuk. Acara yang luar biasa bagi departemen pemasaran di malam minggu. Manajer baru dan tantangan baru akan mulai mereka hadapi di hari senin.

    Sepanjang keluar dari bar kelas VIP hingga di mobil, Rosie tidak lagi bertanya kepada Mario. Dia tahu,  kekasihnya itu dalam mood buruk dan pertengkaran pasti akan terjadi jika Rosie tidak membiarkan Mario mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Jadi, Rosie memilih membiarkan Mario meyetir mobil tanpa obrolan yang menyenangkan tentang malam ini hingga mobil yang dikendarai Mario sudah memasuki area parkir apartemen Rosie.

     Segera setelah memarkir mobilnya, Mario keluar dan membukakan pintu untuk Rosie.

“Keluar!” bentak Mario.

 “Ke-kenapa?”

      Mario menarik tangan Rosie, menutup pintu mobil kemudian mencengkeram pergelangan tangan Rosie kuat-kuat.

“Mario, lepasin!” Rosie memberontak namun, Mario tetap tidak melepaskan cengkeramannya hingga sampai ke hunian Rosie dengan menggunakan lift.

      Mario menghempaskan Rosie ke sofa. Mata pria itu memerah, sudah tidak kuasa lagi menahan amarahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status