Setelah sebulanan diteror Cherish yang hampir setiap hari menelpon untuk membacakan mantra kutukan biar Chelsea enggak dapet kerjaan, akhirnya harapan Cherish kesampaian. Kalau dihitung-hitung, kerja jadi nanny lumayan juga. Enggak perlu bingung tidur dan makan di mana, karena kata Cherish, fasilitasnya udah dipenuhi semua termasuk kamar pribadi untuk nanny.
Jadi, Chelsea udah enggak perlu numpang Om dan Tantenya lagi, meski harus balik ke Jakarta. Di tambah, si bocah sembilan tahun itu memang kelihatan lucu menggemaskan dari foto yang dikirimkan Cherish sebagai umpan ke Chelsea yang emang lemah dengan yang imut-imut.
“Gue tunggu di Jakarta beibiiih!” Sorak ria Cherish dari seberang panggilan.
Yang Chelsea lewatkan adalah tawa iblis seorang Cherish setelah menutup panggilan teleponnya. “HeheheuahaHAHA!”
Tangan Chelsea mengepal rapat-rapat. Giginya gemeretak. Kupingnya menyembur merah seraya lipatan di keningnya menebal. Chelsea mengatur nafasnya satu-satu. Lalu mengambil nafas dalam-dalam sebelum meneriakkan;
“CHERISH KALILI! ARGH!! anjingtahiasemsamahfucctustupidgubluk#$@#$!” Sumpah serapah Chelsea membabi buta kepada bulan sabit malam itu, yang seolah menertawakan nasib malangnya.
***
[24 jam sebelum Chelsea menyumpahi bulan sabit malam itu.]
Kota Jakarta masih sama seperti saat Chelsea meninggalkannya. Masih sama padat, sesak, dan menyempitkan hati. Chelsea enggak nyangka dia akan kembali ke kota kelahirannya setelah bertahun-tahun dibuang ke Kota Malang.
‘Nggak pa-pa, nggak pa-pa. Jakarta kota gede, mustahil ketemu.’ Chelsea mengelus dadanya, menahan cemas.
Begitu Chelsea tiba di pintu keluar Stasiun Jakarta, seorang pria berusia 50 tahunan berpakaian kemeja hitam rapi dan bersepatu pantofel mengilap, menghampirinya.
Keluarga yang akan Chelsea layani bermarga Siahaya, pemilik perusahaan Siastone yang punya tambang emas di mana-mana.
Chelsea mengenal pria itu sebagai kepala pelayan keluarga Siahaya setelah melakukan wawancara online dengan beliau. Ternyata Cherish enggak ngibul saat bilang kalau keluarga majikannya itu tajir melintir. Keluarga konglomerat yang kekayaannya masuk ke dalam golongan 1% di seluruh Country. Pantas aja spesifikasi untuk jadi seorang nanny pun harus sarjana.
Kini mobil yang dikendarai oleh supir pribadi keluarga telah tiba di depan sebuah gerbang megah. Setelah melewati pemeriksaan identitas di pos satpam, Chelsea disambut dengan rindangnya pepohonan di sepanjang jalan, seperti menjelajah ke dalam hutan. Bikin Chelsea terpana karena ingat kalau area ini masih dilingkup Kota Jakarta yang metropolis.
‘Woah, di Jakarta masih ada yang asri-asri begini?’
Enggak berselang lama, mereka melewati sebuah rumah megah dengan pilar tinggi bak istana.
“Ini kediaman utama. Yang tinggal di sini adalah Bu Presdir Siastone atau neneknya tuan muda Ares. Kalau tuan muda Ares sendiri, tinggal di rumah lain karena beliau suka tempat yang sepi. Juga bagus untuk proses penyembuhan.” Tutur Pak Darwin, sedang Chelsea kesulitan menelan ludahnya saking gugupnya.
‘Ah, nama bocahnya Ares? Namanya cantik. Gitu Cherish selalu nyebut dia ‘bocah’, jadi kebawa deh.’ Degup jantungnya memburu, entah karena gugup atau karena excited.
“Seperti yang sudah Mbak Chelsea dengar dari Nanny Cherish. Tuan muda Ares koma di rumah sakit cukup lama sekali. Jadi, beliau butuh istirahat yang cukup. Jauh dari stres fisik maupun mental. Karena dalam kecelakaan tersebut, beliau kehilangan orang tua dan adik perempuannya sekaligus, jadi kondisi mentalnya sedikit…”
Chelsea semakin iba mendengar cerita malang calon tuan mudanya.
“Tugasnya Mbak Chelsea nanti ya secara garis besarnya membantu tuan muda pulih. Mohon dibantu agar tidak tertinggal dengan teman seusianya karena dunia semakin berkembang ya. Jadi saya harap, Mbak Chelsea yang pengalaman jadi guru bisa membantu Tuan Ares.”
“Siap pak!” Mata Chelsea berkobar.
“Oh iya pak, kalau boleh tahu, bagaimana kinerja teman saya Cherish?” Chelsea lumayan bangga pada temannya yang melakukan pekerjaan mulia ini.
“Nanny Cherish itu ………………… baik.” Timpal Pak Darwin, tatapannya kosong.
‘Jedanya panjang amat. Cher, kamu abis ngapain aja?!’
“Ah … haha. Kalau begitu nanti saya akan belajar dulu dari Cherish mengikuti protokol yang sudah disediakan ya pak.”
“Oh? Mbak Chelsea belum tahu? Nanny Cherish sudah keluar dari rumah ini sejak pagi tadi. Sepertinya ada hal mendesak.”
“Hng, kok? Tadi dia bilang bakal nunggu aku di rumah?” Chelsea heran, namun balik memandangi pemandangan di luar jendela mobil.
Setelah melewati beberapa rumah besar lainnya, Chelsea akhirnya tiba di depan sebuah rumah kayu dua lantai bergaya Eropa. Ada tangga pendek menuju teras di bagian depan rumah serta balkon di lantai dua. Bangunannya berkarakter ketimbang rumah lainnya yang tampak moderen.
Kata Pak Darwin, rumah ini jaraknya paling jauh dari rumah utama. Butuh sepuluh menit jalan kaki buat sampai ke rumah utama. Di titik ini, Chelsea enggak kaget kalau ada kebun binatang private di dalam wilayah kediaman mereka. Sekali lagi, Chelsea menahan mulutnya tertutup rapat biar enggak mangap-mangap mirip Ikan Koi saking takjubnya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Chelsea berterimakasih ke Cherish.
“Ini rumah yang paling lama berdiri di kediaman Siahaya, tapi berhubung Tuan Ares ingin menempati, jadi kami renovasi secepatnya. Jadi Mbak- ehm Nanny Chelsea tidak perlu kuatir akan kebocoran atau roboh.” Tutur Pak Darwin. Sepertinya Pak Darwin bisa baca pikiran Chelsea.
Chelsea cuma mesem dan garuk kepala canggung mengekori Pak Darwin berjalan menuju pintu. Well, dibandingkan dengan bangunan rumah lainnya, hanya rumah ini yang enggak mengintimidasi jiwa miskin Chelsea. Jadi Chelsea sedikit merasa lega.
Chelsea jadi enggak sabar untuk segera bertemu anak kecil mungil menggemaskan yang punya selera klasik gini.
Pak Darwin mengetuk pintu tiga kali, namun tidak ada jawaban.
“Sudah boleh masuk sekarang, mari Nanny Chelsea.”
‘Oh ya?! Apa cuma aku yang enggak denger ada jawaban dari dalem?’ Jerit batin Chelsea, senyuman Pak Darwin enggak bikin Chelsea lebih tenang.
Enggak banyak perabotan mengisi ruangan di rumah ini. Malah terkesan kosong seperti rumah yang hendak ditinggal pergi empunya. Pak Darwin menuju sebuah kamar di lantai satu di bawah anak tangga.
“Ini kamar tuan muda Ares. Kalau belum dipersilahkan masuk, jangan masuk dulu.” Tutur lembut Pak Darwin, Chelsea manggut-manggut.
Tok-tok-tok. Pak Darwin mengetuk pintu kamar tiga kali. Sama. Enggak ada jawaban dari dalam.
“Tuan Ares, saya Darwin. Saya membawa nanny baru pengganti Nanny Cherish untuk menemani tuan bermain.” Masih enggak ada jawaban dari dalam, tapi Pak Darwin mengganggukkan kepala.
“Baik tuan, saya mengerti.”
‘Sumpih?! Tuh bocah ngomong apa?! Kok aku nggak denger ya? Apa kupingku bermasalah? Apa-apaan ini?!’
“Nanny Chelsea silahkan istirahat di kamar dulu. Sambil baca buku pedoman yang ada di meja laci kamar ya. Nanti kalau ada apa-apa, Tuan Ares akan menghubungi lewat interkom yang terpasang di kamar nanny. Apa ada yang ditanyakan?”
Chelsea menyipitkan matanya, sok jeli.
“Apa ada ritual tertentu sebelum saya tidur di rumah ini?”
“………. Haha, Nanny Chelsea lucu sekali. Baiklah, saya kembali ke posisi saya. Silahkan baca buku pedoman. Di sana semua sudah jelas instruksi kerjanya. Jika ada pertanyaan silahkan hubungi saya lewat intercom juga. Mari.” Pak Darwin berpamitan.
Setelah Pak Darwin menutup pintu rumah, suasananya menjadi hening. Chelsea menempelkan telinganya ke pintu kamar Ares. Tapi enggak ada satu suara pun tertangkap kupingnya. Yah masa bodoh lah.
Chelsea segera menuju kamarnya di lantai dua dengan hati riang. Akhirnya dia punya kamar sendiri setelah sekian lama harus sekamar dengan adik sepupunya.
Kamar Chelsea seperti kamar di sebuah vila mewah – sekali lagi, Chelsea belum pernah ke vila, jadi ini hanya rasa takjubnya seorang. Kasurnya seempuk dan semulus marshmallow. Dengan lemari pakaian yang besar serta meja rias yang cantik di sampingnya.
Ada kamar mandi juga di dalam kamar, serta balkon yang tadi terlihat dari luar. Chelsea jadi heran kenapa Cherish enggak betah kerja di sini. Atau karena Cherish udah biasa ya tinggal di rumah macem begini? Entahlah.
Setelah mandi, berbenah, dan foto-foto kilat, Chelsea membaca buku pedoman instruksi kerja yang ada di atas meja rias. Sampulnya berlogo Kuda Laut warna emas, lambang keluarga Siahaya.
Chelsea membolak-balikan halaman yang isinya tuh profil orang-orang yang terlibat dalam hidupnya Ares. Chelsea manggut-manggut puas dengan info yang tertulis tentang dirinya. Kecuali dengan foto profilnya yang kebetulan pas Chelsea gemukan, jadi pipi tuh ambyar kemana-mana. Anyway, bagian intelejen informasi mereka bekerja sangat baik.
Mungkin karena pertama kalinya selonjoran di kasur empuk nan mulus, tubuhnya jadi manja. Bawaannya jadi pengen tidur aja di bawah dekapan selimut halus itu. Enggak perlu lama dilema, Chelsea langsung nyungsep ke bawah selimut dan tertidur. Dengan niat akan bangun setengah jam lagi, yang nyatanya kelolosan.
Langit mengganti jubahnya menjadi gelap. Chelsea masih mangap dan ngiler di atas kasur. Dia enggak sadar kalau ada bayangan jatuh di atasnya. Bayangan itu menetap di tempatnya dalam waktu yang lumayan lama. Cukup lama sampai Chelsea mulai tersadar dan spontan membanting sosok itu ke atas kasur.
“Siapa?!” Serbu Chelsea, tangannya sibuk mengunci pergerakan kaki pria itu serta menahan kepala sosok itu terkubur di kasur.
“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu hendak bicara namun Chelsea lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Chelsea kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Chelsea jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Chelsea harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Chelsea dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Chelsea menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Chelsea bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun kamu, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar sinting
“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain. La
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam.Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi.Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu.“Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek.Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran!‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggur
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur.“Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin.Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat.Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak.“Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis.Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya.
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah.Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang
Ares menghentikan kecupannya. Bola matanya gemetar panik seraya tatapannya bertemu tatapan Biba. Saat Biba mengangkat tangannya ke udara, Ares tersentak. Ares pikir, Biba akan memukul atau membantingnya. Tapi tangan Biba malah singgah di pipi Ares dengan lembut. Lalu membelainya. Mata Ares kedip-kedip.‘Ngapain dia? Kenapa enggak marah?’Meskipun Ares tahu kalau perbuatannya bisa bikin Biba marah besar, tapi dia enggak bisa berhenti. Ares terlanjur menikmati aktivitas ini yang bikin dia merasa jantan banget di depan Biba – yang dasarnya jantan(?). Ares merasa bangga aja bisa bikin orang nyeremin macem preman gini enggak berdaya dan tersaji pasrah di bawahnya.Saat Ares membelai pipi Biba, wanita itu tersipu, memancarkan senyum menggemaskan yang bikin Ares semakin hilang kendali.Ares menelan ludahnya. ‘Damn! Screw it!’Ares kembali memagut bibir Biba. Cup. Cup.“Buka mulutmu,” Ares memerintahnya deng
Ares terkesiap. Matanya mengerjap-erjap. Jarinya menelusuri bibirnya yang dingin dan kosong, kontras banget dengan momen hangat yang baru saja ia rasakan. Badannya terasa enteng, udah enggak bunyi kriyek-kriyek lagi pas bangun. Ares garuk-garuk kepalanya. Dia enggak menyangka kalau akan ada malam yang bikin dia bisa terlelap. Tanpa mimpi buruk kecelakaan waktu itu.Yaa, meskipun berubah jadi mimpi aneh yang bikin dadanya semriwing geli sampai sekarang. Tapi, lumayanlah.‘Woah. Untung cuma mimpi, Ares enggak mau barang Ares bengkak kayak gitu lagi. Hii.. tapi kok pantat Ares kayak basah ya?’Pas Ares cek celana pendeknya. Dia tertegun.‘Kok bengkak?! Hush hush.. kok barang Ares kaku kayak yang pas di mimpi? Apa ada yang sakit?! Aduh.. mama, papa, tolong Ares,’ Ares pikir dengan niupin barangnya bisa bikin bentuknya kembali menyusut seperti semula.Perkiraannya meleset.Selain menjumpai barangnya yang nunjuk dan b
Biba mondar-mandir di depan kamar mandi. Udah hampir setengah jam sejak Ares ngibrit ke kamar mandi buat mandiin barangnya dengan air dingin lagi, tapi Ares belum juga keluar. Biba heran, karena kata Dokter Jefri dan Pak Darwin, barang Ares enggak pernah berdiri sebelumnya. Tapi baru dua hari dia di sana, barang Ares udah tegang dua kali kok. Biba pikir mungkin ada laporan yang keliru, jadi dia telpon Pak Darwin lewat interkom. Eh enggak ada jawaban.Biba telepon Dokter Jefri, juga ditolak.Dia juga coba telepon Cherish dengan harapan biar dapet pencerahan dari senior. Tapi Cherish enggak ngangkat-ngangkat. ‘Ini cewek, pas ada maunya aja cepet banget angkat telepon. Huh!’Di dalam kamar mandi, Ares merendam dirinya dengan air dingin di bathtub. Dia enggak ngerti lagi gimana caranya bikin barangnya yang bermasalah(?) ini bisa balik lagi seperti semula. Padahal tadi pagi, cukup di-showerin aja udah langsung balik. Nah ini udah lama di-showerin, tapi ma