Share

Perangkap Madu (2)

“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu hendak bicara namun Chelsea lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot.

‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Chelsea kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya.

Chelsea jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Chelsea harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares.

Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Chelsea dia lebih mirip kayak cacing digaramin.

Chelsea menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada.

Chelsea bergegas menuju interkom.

“Gila! Siapapun kamu, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar sinting! Ke anak kecil aja sampek ngirimin preman gini segala. Apa lo lihat-lihat?! Mau gue cungkil tuh mata?” Ancam Chelsea sok garang saat kedua mata saling bertemu.

“Halo, Pak Darwin? Pak, ada penyusup masuk ke rumah tuan Ares, tolong segera diamankan.”

Dengan segera bala bantuan berupa barisan pengawal berbadan kekar datang menyerbu rumah kayu itu. Langkah mereka gegabah. Kalau boleh hiperbola dikit, lantai rumah kayu itu bergetar kayak ada gempa.

“Itu penyusupnya!” Chelsea menunjuk sosok yang kini pasrah terikat di atas kasur.

Para pengawal berbadan kekar itu hanya diam melongo. Memandangi satu sama lain dengan muka bingung. Lalu serempak mendelik ke Chelsea.

“Tuan Ares!” Seru ke delapan pengawal bersamaan bak paduan suara, lalu bergegas mengendorkan ikatan si penyusup.

“Hmm? Tuan Ares?” Chelsea bingung.

“Nanny Chelsea, bisa tolong jelaskan kenapa tuan muda Ares digulung, diikat, lalu mulutnya disumpel dengan kaos kaki?!” Hardik Pak Darwin kepada Chelsea yang menciut di pojokan kamar.

‘Itu … tuan muda Ares? Mana ada dia bocah sembilan tahun?!’ Jeritan batin Chelsea bikin Cherish merinding di manapun dia berada saat ini.

***

Sejak kapan bocah umur sembilan tahun punya badan sebongsor itu? Perasaan, terakhir kali Chelsea ngecek bocah umur sembilan tahun di jalanan, mereka masih kecil dan menggemaskan. Masih haha-hihi enggak jelas sambil ngayunin sebungkus batagor di tangan. Apa Chelsea ketinggalan berita kalau jaman sekarang bocah umur sembilan tahun lebih cepat berevolusi? Atau karena dia anak Jakarta, makanya kelihatan lebih dewasa daripada anak kota pinggiran? Masa sih?

Perasaan di foto yang Cherish kasih, si bocah kelihatan kayak anak umur sembilan tahun pada umumnya. Masih lucu menggemaskan dengan badan yang mungil. Bukan yang tinggi dan jakunnya nonjol banget. Apa Chelsea keliru menangkap informasi dari Cherish? Perasaan ya enggak kok. Apalagi Chelsea sudah mengonfirmasi dengan Pak Darwin kalau yang akan Chelsea asuh adalah anak berusia sembilan tahun yang sempat koma di rumah sakit lumayan lama.

“Bentar,”

Kalau dipikir-pikir, Cherish lumayan sering ngedumel soal anak asuhnya yang kelakuannya masih kayak anak bermental sembilan tahun. Tapi keluhan Cherish Chelsea cuekin karena enggak masuk akal dan namanya juga anak-anak!

Kecuali jika, dia bukan anak-anak. Dan barulah sekarang Chelsea memahami betul apa maksud keluhan Cherish, dan kenapa Cherish enggak bisa dihubungi dari tadi!

“Tuan Ares koma di rumah sakit sejak usia sembilan tahun. Dan ketika beliau terbangun, beliau masih menganggap dirinya berusia sembilan tahun meskipun tubuhnya sudah berusia 22 tahun. Saya pikir Nanny Chelsea sudah paham dari informasi nanny Cherish, itu sebabnya saya tidak menjelaskan lebih detil.” Ungkap Pak Darwin, lalu menghela nafas.

“Tubuh Tuan Ares masih rapuh. Masih perlu terapi di rumah sakit. Tapi beliau diperlakukan seperti itu,”

Hati nurani Chelsea tersentil. Keringat dingin mulai membasahi kulit kepalanya.

“Apa Nanny Chelsea mau resign setelah tahu kalau Tuan Ares bukan anak-anak lagi?”

“Itu..” Chelsea memutar otaknya. Dia enggak bisa balik lagi ke Malang karena uangnya telah habis untuk keperluan berangkat ke Jakarta. Dia juga enggak ada tempat tinggal, boro-boro makanan. Chelsea kudu bikin keputusan bijak. Chelsea menelan ludahnya.

“Tidak pak, saya enggak akan resign. Saya akan menjalani tugas saya dengan baik. Jadi, mohon dimaafkan sekali ini saja pak. Enggak akan saya ulangi pak.” Chelsea menundukkan kepala.

“Pilihan yang tepat, Nanny Chelsea. Karena kalau Nanny Chelsea mau resign, harus membayar uang penalti kontrak. Ditambah biaya perawatan rumah sakit untuk Tuan Ares yang terluka gara-gara Nanny Chelsea.”

Chelsea tersentak. Lalu ngelirik tipis-tipis ke pria yang disangkanya penyusup.

“Jadi, dia Ares?”    

Tubuhnya tinggi kurus dengan punggung sedikit membungkuk. Wajahnya juga tampak lebih kurus dengan tulang pipi lebih pipih dan menonjol. Kulitnya yang putih pucat membuat warna ototnya lebih menonjol.

Rambutnya berwarna hitam legam dengan potongan bergaya jamur dengan poni yang hampir menutupi mata. Meski sekilas, Chelsea sempat melihat warna bola mata Ares berwarna cokelat terang mendekati emas. Bola mata dengan tatapan dalam yang menenggelamkan.

“Huh?” Chelsea tersentak saat matanya bertatapan langsung dengan mata indah Ares.

Ares memelototinya tajam. Chelsea langsung membuang muka ke samping. Meski pandangan Chelsea dialihkan ke tempat lain, tapi dia bisa merasakan sorot mata Ares yang tajam kepadanya. Kalau tatapan bisa membunuh, mungkin Chelsea sudah dikubur sejak tadi.

“Tuan Ares, saya sudah memanggil Dokter Jefri kemari untuk memastikan Tuan baik-baik saja. Mari saya antar ke kamar, Tuan.” Tuntun Pak Darwin.

“Kalau mau mastiin Ares baik-baik aja, usir orang itu.” Ujarnya, dagu ditarik sombong ke atas. Chelsea semakin menundukkan pandangannya.

“Saya akan bekerja lebih baik lagi, Tuan Ares. Tolong beri saya kesempatan sekali lagi!” Chelsea setengah berteriak, mengingat ini satu-satunya cara agar bulan ini dia enggak kelaperan dan tinggal di bawah kolong jembatan.

Setelah Ares, Pak Darwin dan sekelompok pengawal turun ke lantai satu, Chelsea ambruk. Ia mengambil kembali nafasnya yang tersendat cemas. Menyesali perbuatannya yang asal percaya info dari Cherish tanpa mencari tahu kondisi lebih jelasnya. Juga menyesali perbuatannya pada Ares. Enggak seharusnya dia membanting atau menindihi tubuh Ares yang masih lemah.

Chelsea menjitak kepalanya sendiri. Dia takut memprediksi apa yang akan keluarga tajir ini lakukan kepadanya kalau tahu ada goresan barang sedikit di tubuh Ares, cucu dari Presdir perusahaan besar. Tetap saja, Chelsea bersyukur Ares tidak membentak lalu menyeret paksa dirinya keluar dari rumah.

‘Bentar, tapi kenapa Ares ada di kamarku ya?’.

Kedatangan Dokter Jefri membuat Chelsea semakin bertekad untuk melayani Ares dengan baik. Namun sebelum Dokter Jefri masuk ke kamar Ares, dia memerhatikan Chelsea dari ujung kepala sampai kaki. Lalu mendengus.

“Nanny baru?” Tanya lelaki itu, Chelsea mengangguk kikuk. Setelah pertemuan pertama yang mengintimidasi abis, Dokter Jefri masuk ke kamar Ares.

Di buku pedoman tertulis, kalau Dokter Jefri adalah teman semasa kecil Ares yang lebih tua tiga tahun darinya. Bu Presdir sendiri yang memilih Dokter Jefri sebagai dokter pribadi Ares karena kemampuannya serta hubungan dekatnya dengan Ares.

Pintu kamar terbuka. Dokter Jefri keluar dari dalam sambil mengacak-acak rambutnya.

“Kamu, duduk dulu.” Perintah Dokter Jefri pada Chelsea yang duduk dengan kikuk di sisi Pak Darwin.

“Hah, saya enggak bermaksud ngebully ya. Tapi dengan bobot badannya kamu, itu tulang Ares bisa remuk. Bisa membahayakan organ dalamnya semacam paru-paru, jantung dan lain-lain. Jadi saya minta tolong ya lain kali buat mikir sebelum bertindak.”

Chelsea mingkem semingkem-mingkemnya.

“Besok pagi kamu pastikan Ares makan. Coba buku laporan yang paling belakang itu dilihat. Di situ ada tabel, kamu harus nulis semua yang dimakan Ares, baik itu nasi atau cemilan. Paham?”

Chelsea mengangguk keras.

“Terus di halaman yang ada pembatas pink itu, kamu juga isi frekuensi aktifitas seksualnya Ares dalam seminggu itu ngapain aja. Hah, padahal motorik kasarnya udah hampir stabil, tapi kenapa cuma organ seksualnya yang enggak bekerja ya?”

“Apa perlu diperiksakan lagi, Dok. Barangkali karena kecelakaan …” Pak Darwin menimpali.

“Itu udah diperiksa dari awal, Pak Darwin. Enggak ada yang cedera dibagian itunya. Heran, kenapa enggak pernah berdiri sama sekali. Padahal menurut laporan nanny sebelumnya, Ares udah dikasih banyak stimulus ya kan Pak Darwin?”

“Kata nanny yang sebelumnya memang demikian Dok. Lalu apa kami perlu mengadakan terapi seksual khusus agar Tuan Ares pulih?” Pak Darwin menerawang, Chelsea ngawang sengawang-ngawangnya.

“Kamu, nanny baru. Dengar instruksi saya tadi kan?”

Chelsea terpatung, lalu memiringkan kepalanya dengan muka penuh tanda tanya.

“Hey, denger. Salah satu tugas kamu lainnya, itu memastikan alat seksual Ares berfungsi lagi.”

“Hah?!” Chelsea melotot ngeri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status