"Tidak. Begini saja, kau jadi babysitter," ralat Dareen, teringat bahwa babysitter yang dipekerjakannya telah mengundurkan diri dua hari yang lalu.
"Apa? Jadi babysitter?" Arisha terperangah.
Kuliah sampai sarjana dengan niat agar dapat bekerja sesuai dengan bakat dan minatnya, kenapa tiba-tiba ditawari jadi babysitter?
Dalam mimpi pun Arisha tidak pernah berharap akan menekuni bidang pekerjaan yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi tersebut.
"K–kamu … cuma bercanda, 'kan?"
Dareen menatap lekat wajah resah Arisha. "Apa aku kelihatan sedang bercanda?"
"Tidak sih," jawab Arisha ragu.
Mau tidak mau Arisha harus mengakui bahwa Dareen terlihat sangat serius dengan kata-katanya.
"Kuberi kamu waktu untuk memikirkannya sampai makan malam nanti," tegas Dareen. "Kalau kamu menerima tawaranku, bukan hanya tempat tinggal dan makanmu yang gratis di sini, kamu juga akan menerima gaji. Bahkan, jauh lebih tinggi dari karyawan biasa yang bekerja di perusahaan."
"Kalau aku … tidak mau?"
"Silakan angkat kaki dari sini! Rumahku bukan panti sosial, yang bersedia menampung sembarang orang."
Hati Arisha kecut mendengar ultimatum dari Dareen. Lelaki itu telah berlalu meninggalkan kamarnya.
Haruskah ia menerima tawaran dari lelaki asing yang telah menolongnya itu?
Seumur hidup dia belum pernah mengasuh anak kecil. Dia tidak punya adik. Bahkan, semenjak orangtuanya meninggal dunia, dia hidup bersama tantenya yang merupakan janda tanpa anak.
"Ya Tuhan, aku meninggalkan tante tanpa pesan," bisik Arisha, merasa bersalah lantaran kabur begitu saja.
Tantenya pasti kalang kabut mencari keberadaannya.
Buru-buru Arisha mencari ponselnya. Dia harus menghubungi tantenya sebelum wanita itu melapor ke polisi dan menyebar berita di dunia maya tentang dirinya, yang menghilang tanpa jejak.
Namun, ketika dia sadar bahwa sang tante telah mengusir dirinya, Arisha menyimpan kembali ponselnya. Tidak mungkin seseorang yang menginginkan kepergiannya mencemaskan dirinya.
Setidaknya ia merasa lega sekarang, karena telah berhasil selamat dari kebusukan Hanna dan memiliki tempat bernaung, walau hanya untuk sementara.
Brak!
"Nggak mau! Nggak mau! Daddy! Daddy!"
Suara barang dibanting serta jeritan seorang bocah perempuan mengusik ketenangan Arisha, yang tenggelam dalam pemikirannya tentang tawaran Dareen.
Perlahan Arisha beranjak turun dari ranjang sambil menajamkan telinga, menyimak lengkingan kemarahan dari seorang bocah yang lagi tantrum.
Arisha berjalan mengendap-endap keluar dari kamar, mengikuti suara berisik, yang diselingi raungan tangis.
"Non, sudah dong nangisnya," bujuk seorang wanita dewasa. "Non sarapan ya, bibi suapi."
Arisha mengenali suara itu. Ya, tidak salah lagi. Itu adalah suara wanita paruh baya yang mengantarkan makanan untuknya ke kamar.
"Nggak mau! Bibi Nah, Silla mau sama daddy!"
"Iya. Nanti Bibi Minah antar Non ketemu daddy ya, tapi … Non makan dulu …."
"Huuu … daddy … Silla mau daddy … huhuuu …."
Arisha merasa terenyuh mendengar isak tangis bocah bernama Silla itu. Naluri keibuannya seketika muncul. Menuntun jemarinya, bergerak untuk mendorong pelan daun pintu kamar bocah itu.
Bibi Minah dan Silla serentak menoleh ke pintu.
Arisha tersenyum. "Hai, Cantik! Boleh kakak masuk?" tanyanya, di sela degup jantungnya yang tak keruan. Menyadari kenekatannya untuk mendekati gadis kecil itu.
"Wah, lampunya keren ya?" imbuh Arisha, melempar pandang pada lampu kristal berukuran kecil yang menggantung pada langit-langit kamar.
Silla mendongak. Isak tangisnya seketika reda.
Tak sia-sia Arisha membaca artikel yang pernah melintas di beranda media sosialnya, tentang salah satu cara mengatasi anak menangis.
Filosofi seseorang yang sedang bersedih cenderung menunduk, maka untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan hal yang berlawanan.
Bi Minah tersenyum samar menyadari efek positif dari keberadaan gadis asing yang dibawa pulang oleh tuannya.
"Kelihatannya, makanannya enak nih," komentar Arisha yang telah mendekat pada Silla dan Bi Minah. "Boleh kakak cicip? Kakak juga lapar."
Arisha mengusap perutnya sembari menjilat bibir, seolah-olah dia sungguh tergoda dengan makanan yang ada di depan matanya.
Silla yang terpesona dengan kecantikan dan keramahan Arisha mengangguk ringan.
Arisha mengerling kepada Bi Minah. Wanita paruh baya itu lantas menyerahkan piring berisi nasi goreng di tangannya kepada Arisha.
"Putri kecil, apakah Tuan Putri mau makan bersamaku?" rayu Arisha. "Aku kesepian. Rasanya tidak enak sekali kalau makan sendirian."
Arisha berusaha membujuk Silla dengan suara yang sengaja dibuat memelas dan tatapan mengiba.
Silla masih bergeming.
"Oh, ayolah, Tuan Putri … dikiiit aja. Mau ya?"
Arisha menyendok nasi goreng, kemudian mengangkatnya ke udara bak sebuah pesawat yang sedang melakukan atraksi udara.
"Pesawat mau mendarat. Ayo siapkan landasan! Buka mulutnya, Tuan Putri!"
"Silla mana, Bi? Apakah dia tantrum lagi hari ini?""Iya, Tuan. Seperti biasa, bibi sampai kewalahan menghadapi Nona Kecil."Dareen menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya, Bi. Tidak satu pun babysitter yang kupekerjakan mampu menarik hatinya. Aku juga jadi tidak tenang dalam bekerja. Selalu memikirkannya."Wajah letih Dareen terlihat putus asa. Setiap jam makan siang dia harus pulang untuk mengecek kondisi Silla.Tak jarang gadis itu dia dapati sedang tantrum, membanting semua barang-barang di kamarnya. Akan tetapi, siang ini, kenapa begitu tenang?Sadar akan perubahan itu, Dareen mengernyit dan bertanya dengan nada cemas, "Di mana Silla sekarang, Bi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"Dareen melesat menuju tangga yang menjadi penghubung ke lantai atas.Bi Minah tersenyum santai. "Tenang saja, Tuan! Semua aman terkendali.""Maksud, Bibi?""Non Silla udah ketemu sama pawangnya, Tuan," beritahu Bi Minah setengah berbisik."Aduh, Bi … tolong
"Kamu mau membunuh Silla?" Dareen berkata dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan. Jemari panjangnya mencekal pergelangan tangan Arisha dan menjauhkan tangan gadis itu dari dada Silla. Arisha meringis. "Lepas! Kamu menyakitiku." "Katakan! Apa yang kamu lakukan pada Silla?" "Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mendoakannya," sahut Arisha seraya berusaha bangkit. Kening Dareen mengerut. "Jangan coba-coba menipuku, Arisha!" bisik Dareen, menyeret Arisha menjauh dari Silla. "Aku tidak buta. Aku lihat kamu menekan dada Silla." "Astagfirullah! Kamu salah paham. Aku tidak berniat menyakiti Silla. Aku justru sedang berusaha mengetuk pintu langit, berharap Allah akan melembutkan hatinya." Dareen menyipitkan mata, curiga. "Aku tidak bodoh, Arisha!" "Ya, ya. Kamu tidak bodoh, tapi juga tidak cukup pintar untuk membesarkan seorang anak," sindir Arisha dengan bibir mencebik sinis. "Dengar, Tuan Sok Pintar! Jangan cuma bisa membuat anak, tapi pelajari juga cara mendidiknya! Hanya den
"Kakaaak! Kakak Nggak boleh tinggalkan Silla!" jerit Silla, berlari menuruni tangga. Rambutnya yang sepinggang berkibar-kibar dan terlihat kusut. "Aakh!" Silla terjatuh kala kaki mungilnya tersandung pinggiran karpet. Mengabaikan rasa sakitnya, Silla bergegas bangkit, kembali memburu Arisha. Melihat pemandangan yang menyentuh hati itu, pegangan tangan Arisha pada kenop pintu terlepas. Ia berjongkok, mengimbangi ketinggian Silla. Gadis mungil itu menghambur ke dalam pelukan Arisha dan memagut lehernya dengan erat. "Silla … Silla mau sama Kak Sha," lirih gadis itu, terbata-bata. Ia mulai sesenggukan. Arisha dilema. Sungguh tak ada keinginan dalam hatinya untuk tetap tinggal serumah dengan Dareen. Lelaki yang menurutnya sangat arogan dan menyebalkan. Akan tetapi, melihat betapa Silla mulai bergantung kepadanya, rasa tak tega menyeruak dalam hatinya. Menyapa dengan bisikan-bisikan yang meluluhkan jiwa. "Sayang, kok tidur siangnya sebentar sekali?" tanya Arisha, menyembunyikan ras
"Bi Minah, Silla mana? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?" Pagi-pagi Dareen heboh sembari memasang wajah panik. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengecup kening sang keponakan tercinta sebelum berangkat kerja. Namun, pagi ini, kamar gadis mungil itu kosong. Prasangka buruk mulai merasuki pikirannya. "Bi, kenapa diam saja?" sungutnya, menyadari sang asisten rumah tangga hanya tersenyum simpul. Tangan wanita paruh baya itu masih menggenggam kemoceng yang ia pakai untuk mengikis debu pada kaca lukisan, penghias dinding koridor menuju bibir tangga. "Bukankah bagus jam segini nona cilik tidak lagi tidur, Tuan?" Sebelah alis Dareen terangkat. "Maksud, Bibi? Silla bukan dibawa kabur, tapi memang sudah bangun?" "Ya ampun, Tuan! Siapa yang berani membawa kabur nona cilik?" timpal Bi Minah. "Nona cilik bersama Non Arisha." "Huh? Sepagi ini?" Dareen masih tak percaya keponakannya itu mau melepaskan diri dari belitan selimut hangatnya saat matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah men
"Dasar cowok gila! Dia yang menahanku, dia juga yang selalu curiga," omel Arisha, merasa dongkol dengan kata-kata Dareen yang terus terngiang di telinganya. Sementara tangannya sibuk mengaduk susu yang disiapkannya untuk Silla. "Laki-laki memang egois! Giliran ada maunya baik banget, tapi cuma kedok doang. Aslinya penipu! Habis manis sepah dibuang!" Arisha terus mengomel, mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya tentang Dareen, melainkan juga dongkol setengah mati pada sosok Alfian. "Tidak semua laki-laki begitu, Non—" "Eh, Bi Minah!" Arisha menoleh kaget. "Sejak kapan Bibi berdiri di situ?" Wajah Arisha sedikit beriak resah. Gawat kalau Bi Minah mendengar semua ocehannya. Bagaimana kalau Bi Minah mengadu pada Dareen? Ah, bisa keluar tanduk dari kepala Dareen. Arisha mengutuki kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, sebagai salah satu cara untuk meluapkan emosi. "Sudah lumayan lama, Non," sahut Bi Minah, tersenyum tipis seraya melangkah mendekati Arisha. "Bibi … mendengar semu
Dua tatapan saling mengunci. Arisha dengan kilat tak suka berbalut canggung. Dareen dengan binar mata tak terbaca. "Silla, Sayang. Silla hanya boleh memilih salah satu. Mau sama kakak atau Daddy?" Arisha memecah hening setelah berhasil menguasai situasi. "Silla mau ditemani Kak Sha sama Daddy." "Nggak boleh, Sayang." "Kenapa nggak boleh?" Wajah Silla murung. Arisha kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya kepada Silla. "Sayang, nanti setelah Silla besar, Silla akan paham." "Ehem!" Dareen mendeham kikuk tanpa berani menatap langsung pada Arisha. Permintaan Silla memantik perasaan aneh dalam hatinya. Ia sendiri tidak yakin itu perasaan apa. Yang jelas, pipinya terasa memanas. "Tidurlah! Daddy tidak akan pergi. Da—" "Daddy akan tidur sama Silla dan Kak Sha?" potong Silla dengan wajah berbinar cerah. Arisha melotot pada Dareen. Tatapan tajamnya melayangkan ancaman. Dareen mengulum senyum, perlahan mulai mengayun langkah. Melihat aksi nekat Dareen,
"Astagfirullah!" Arisha tergesa-gesa membuka mukena. Bayangan Silla terjatuh dari ranjang membentot langkahnya menuju pintu. "Silla? Kenapa, Sayang?" Ternyata gadis kecil itu telah berada di depan pintu, tersedu sedan dalam gendongan Dareen. Kedua tangan mungilnya terulur dan gemetar. Arisha mengambil Silla dari gendongan Dareen. Ia berbisik menenangkan Silla seraya mengelus punggungnya. "Cup, cuuup … Silla kenapa nangis, Sayang?" Silla menelan tangisnya, menyisakan sedan di ujung bibir yang bergetar. "Silla, Silla mimpi buruk." "Oh ya? Mimpi apa?" Arisha membawa Silla kembali ke kamarnya. "Silla, Silla mimpi Kak Sha ninggalin Silla," jawab Silla seraya mempererat belitan lengannya pada leher Arisha. Rupanya sedekat itu ikatan batin Silla dengan Arisha walaupun perkenalan mereka masih hitungan hari. "Kakak hanya pergi sebentar untuk salat Subuh, Sayang." "Salat?" Mata Silla yang berkaca-kaca memancarkan rasa penasaran. Pun Arisha merasa heran. Anak seusia Silla seharusnya
"Silla, nanti kalau besar, jangan biasakan menguping pembicaraan orang lain, ya? Itu tidak baik." "Silla nggak nguping, Kak Sha. Kan Kak Sha ngomong sama Silla. Gimana sih?" Alis Silla terangkat sebelah, merasa bingung dengan perkataan Arisha. Jelas-jelas dia sedang menyimak materi yang diajarkan Arisha, eh, malah dikatakan menguping. Arisha tersenyum tipis, mengerling pada pintu kamar Silla yang sedikit renggang. Dareen bergeser ke sisi kanan. Merasa malu karena ketahuan mencuri dengar ilmu yang diajarkan Arisha pada Silla. Arisha dan Silla saling lempar pandang, lalu kompak mengangguk. Seakan paham dengan kode masing-masing, keduanya berjinjit menuju pintu. Dareen yang tak lagi mendengar suara dari dalam kamar merasa heran. Penasaran, ia pun kembali mengintip. "Hayyyooo … ketahuan Daddy suka ngintip! Ish! Ish! Ish!" Silla membuka pintu secara tiba-tiba dan berseru mengejek. "Itu … ti-dak baik!" Silla mengulang kata-kata yang diucapkan Arisha dengan mimik serius dan penuh p