"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Saya terima nikah dan kawinnya—" "Hentikan!" "K–kamu …." Genggaman tangan Alfian pada Pak Penghulu terlepas. Wajahnya memucat. Dia terlonjak tegak, menatap seorang wanita asing yang baru saja berteriak lantang, menghentikan prosesi sakral hari pernikahannya. Wanita itu melangkah tergesa-gesa, mendekati Alfian. Sebelah tangannya membimbing seorang bocah laki-laki berusia dua tahun. Ia melirik tajam pada Arisha. Tanpa aba-aba, secepat kilat tangannya menyentak hijab yang dikenakan Arisha. Sementara mulutnya mengeluarkan sumpah serapah, "Dasar jalang! Apa tidak ada lagi laki-laki di muka bumi ini, hingga kau kegatalan merebut suamiku, hah?" "Akh! Sakit! Lepas!" Arisha mencoba melepaskan tangan wanita itu dari kepalanya, tetapi tidak bisa. Kobaran emosi membuat cengkeraman wanita tersebut sangat kuat. "Cukup, Nadin!" sentak Alfian spontan, merasa nyilu melihat Arisha meringis. "Lepaskan Arisha!" Nadin menyeringai sinis. "Oh, jadi wanita jalang ini bernama Arisha? Dan kau lebih me
"Tante, izinkan aku masuk, Tanteee!" teriak Arisha sembari menggedor pintu.Setelah cukup lama memanggil dan menggedor, pintu pun kembali terbuka. Arisha tersenyum semringah."Terima ka—""Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk, heh?!" hardik wanita paruh baya itu seraya memukulkan sebuah tas selempang ke dada Arisha."Jangan pernah kembali! Kakakku benar-benar sial menikahi ibumu. Dia pasti melacur hingga kau juga mengikuti jejaknya dengan menjadi pelakor!"Kata-kata tajam wanita itu menusuk jantung Arisha bagai sebilah belati. Lukanya memang tak berdarah, tetapi sungguh terasa perih.Tak masalah jika hanya dia yang dihina, tetapi tidak dengan ibunya. Sampai mati pun Arisha tak akan pernah rela jika ada orang yang merendahkan ibunya."Ibuku wanita terhormat, Tante! Jangan pernah merendahkan ibuku!" Manik mata Arisha berkilat garang."Cuih! Kalau ibumu wanita terhormat, lalu dari mana kau mendapatkan mata biru itu, hah? Kakakku bermata cokelat, begitu juga ibumu. Kalau ibumu tidak m
"Arisha, hei! Bangun! Kita udah sampai." Hanna menepuk pelan pipi Arisha. Membangunkan gadis itu dari lelapnya selama menempuh perjalanan panjang, hampir delapan jam.Arisha menggeliat, lalu mengerjap. Berusaha mengumpulkan kepingan jiwanya yang masih berserakan setelah lelah berkelana di alam mimpi."Kita di mana?""Ini Jakarta, Sayang. Ayo turun!""Aku masih ngantuk." Arisha mengucek mata, berusaha melawan kantuk yang masih tersisa."Kamu bisa melanjutkan tidur sepuasnya setelah tiba di kamar hotel."Arisha terlonjak. "Apa? Hotel? Kita bukan ke kontrakanmu?""Biasa aja kali, nggak usah kaget begitu!" ledek Hanna. "Anggap aja ini sambutan selamat datang untukmu.""Hotel kan mahal, Hanna." Arisha merasa tak enak hati membebani sang sahabat dengan menghabiskan banyak uang."Sudah, tidak apa-apa. Cuma sesekali kok. Ayo!" Hanna mendorong pintu mobil untuk Arisha.Arisha dan Hanna melenggang, meninggalkan parkiran hotel, yang kian kelam."Um, kamu keberatan enggak menunggu di sini sebenta
"Apa? Kamu pikir aku pekerja sosial?" bentak Dareen. “Kamu menabrakku, jadi kamu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku,” bantah Arisha. "Ya Tuhan! Dari mana asal wanita gila ini?” Dareen menggerutu.Kilatan lampu mobil menerangi wajah Arisha. Dia tampak pucat. Dareen merasa tidak tega untuk meninggalkan gadis itu seorang diri di tengah belantara kota metropolitan yang lebih menakutkan daripada hutan rimba."Oke. Aku akan membawamu ke Rumah Sakit," putus Dareen seraya mengoper gigi persneling. "Tidak! Jangan bawa aku ke sana!" Arisha menolak untuk pergi ke Rumah Sakit. Dia khawatir Hanna akan menemukannya. "Dengarkan aku!" kata Dareen. Dia menatap Arisha melalui kaca spion. "Aku sibuk dan tidak punya waktu untuk mengabulkan permintaanmu. Lagi pula, aku bukan jin yang dapat mengabulkan tiga permintaan. Kalau kamu tidak mau periksa ke dokter, katakan ke mana aku harus mengantarmu!" "Aku bilang aku tidak tahu seluk-beluk kota ini,” jawab Arisha. "Bawa aku ke tempat man
"Tidak. Begini saja, kau jadi babysitter," ralat Dareen, teringat bahwa babysitter yang dipekerjakannya telah mengundurkan diri dua hari yang lalu. "Apa? Jadi babysitter?" Arisha terperangah. Kuliah sampai sarjana dengan niat agar dapat bekerja sesuai dengan bakat dan minatnya, kenapa tiba-tiba ditawari jadi babysitter? Dalam mimpi pun Arisha tidak pernah berharap akan menekuni bidang pekerjaan yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi tersebut. "K–kamu … cuma bercanda, 'kan?" Dareen menatap lekat wajah resah Arisha. "Apa aku kelihatan sedang bercanda?" "Tidak sih," jawab Arisha ragu. Mau tidak mau Arisha harus mengakui bahwa Dareen terlihat sangat serius dengan kata-katanya. "Kuberi kamu waktu untuk memikirkannya sampai makan malam nanti," tegas Dareen. "Kalau kamu menerima tawaranku, bukan hanya tempat tinggal dan makanmu yang gratis di sini, kamu juga akan menerima gaji. Bahkan, jauh lebih tinggi dari karyawan biasa yang bekerja di perusahaan." "Kalau aku … tidak mau?" "Si
"Silla mana, Bi? Apakah dia tantrum lagi hari ini?""Iya, Tuan. Seperti biasa, bibi sampai kewalahan menghadapi Nona Kecil."Dareen menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya, Bi. Tidak satu pun babysitter yang kupekerjakan mampu menarik hatinya. Aku juga jadi tidak tenang dalam bekerja. Selalu memikirkannya."Wajah letih Dareen terlihat putus asa. Setiap jam makan siang dia harus pulang untuk mengecek kondisi Silla.Tak jarang gadis itu dia dapati sedang tantrum, membanting semua barang-barang di kamarnya. Akan tetapi, siang ini, kenapa begitu tenang?Sadar akan perubahan itu, Dareen mengernyit dan bertanya dengan nada cemas, "Di mana Silla sekarang, Bi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"Dareen melesat menuju tangga yang menjadi penghubung ke lantai atas.Bi Minah tersenyum santai. "Tenang saja, Tuan! Semua aman terkendali.""Maksud, Bibi?""Non Silla udah ketemu sama pawangnya, Tuan," beritahu Bi Minah setengah berbisik."Aduh, Bi … tolong