“Tante, stop! Tante apa-apaan sih, seenaknya aja berantakin kamar kos Mita? Apa yang Tante cari di sini? Bukannya kemarin Mita udah bilang, kalo udah enggak ada uang lagi? Percuma Tante obrak-abrik kamar Mita,” seru Mita ketika mendapati kamar kosnya berantakan karena ulah Lia, adik mamanya yang beberapa tahun terakhir mengurus Mita dan adiknya, Bian.
Lia melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu pikir Tante bakal percaya gitu aja kalo kamu bilang enggak ada uang lagi? Itu ... buktinya kamu bisa ke sekolah. Naik apa? Enggak mungkin kan, kamu jalan kaki?” omel Lia.
Mita merasa geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menerima perlakuan Lia. Lagi pula, kesialan Mita pagi ini terjadi karena keteledorannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar kos sehingga Lia bisa masuk dengan seenak hati.
“Asal kamu tahu, ya! Adik kamu butuh uang banyak buat sekolah dia. Dan uang yang kemarin kamu titip ke Tante itu belum cukup gantiin uang Tante yang dipake buat bayar sekolah Bian. Jangan lupa juga uang makan selama kamu ikut Tante. Kamu pikir semua gratis? Enak aja! Masuk ke toilet umum aja bayar!”
Lia masih saja bersungut-sungut dan membahas soal uang sejak kemarin. Padahal, Mita sudah menyerahkan sembilan puluh persen gaji dari kerja part time-nya bulan lalu untuk Lia membayar sekolah sang adik yang masih tinggal bersamanya. Namun, tantenya itu selalu menuntut lebih karena jiwa materialis yang sudah mendarah daging.
Mita mengangguk pasrah. “Iya, Tante. Tenang aja, Mita bakal kerja lebih keras lagi buat ganti semua uang Tante. Mita juga bakal bujuk Bian supaya mau tinggal sama Mita di sini dan enggak merepotkan Tante lagi,” ucapnya sembari menundukkan wajah, menyembunyikan matanya yang mulai berembun.
Mita menggerutu dalam hati, menyesalkan nasib malangnya juga sang adik yang telah ditelantarkan ibunya. Mita kecewa karena wanita yang telah melahirkannya itu lebih memilih pergi bersama suami barunya tanpa menghiraukan keberadaan Mita dan Bian. Seandainya ayah Mita masih ada, nasibnya mungkin tidak akan seburuk ini.
“Oke. Tante bakal tunggu kamu tepati janji. Awas aja kalo kamu banyak alesan. Kamu kan udah kerja, jadi Tante enggak akan bingung lagi mikir keuangan adik kamu itu. Kalo kamu enggak mau repot sendiri, cari tuh Ibu kamu! Minta makan aja sama dia, jangan sama Tante, enak aja!”
Lia menyambar tas yang entah sejak kapan teronggok di kasur lipat Mita, lalu pergi begitu saja meski tidak menemukan apa pun yang dia cari.
Lutut Mita terasa lemas dan dia jatuh terduduk. Sorot matanya nanar menatap ke seluruh ruangan yang tidak luput dari amukan Lia. Gadis itu pun mulai terisak sembari memungut barangnya satu per satu dari lantai lalu mengembalikannya ke tempat semula.
Mita sadar diri, dia masih belum cukup umur untuk menanggung semua beban itu sendiri. Bagaimanapun juga, Mita harus mencari di mana keberadaan sang Ibu dan mengantarkan Bian padanya karena wanita itu satu-satunya harapan Mita yang bisa diandalkan untuk mengurus Bian.
Jika dipikir-pikir, Lia memang sangat keterlaluan karena sudah membuat rincian biaya hidup sehari-hari Mita dan sang adik selama mereka menumpang. Dan sebagai gantinya Mita harus membayar seluruh biaya tersebut dengan alasan Lia tidak ingin menanggung beban hidup mereka berdua.
Mita memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Bingung dengan pekerjaan apa yang harus dia jalani supaya lekas bisa melunasi hutangnya pada Lia yang bahkan sudah mencapai puluhan juta. Sangat mengenaskan, Mita yang baru menduduki bangku kelas sebelas sudah harus merasakan kejamnya dunia.
Perlahan Mita bangkit dan bergerak lebih cepat supaya kamarnya lekas rapi karena Mita ingin mencari info lowongan kerja part time lain yang bisa dilakukannya sepulang bekerja dari kafe. Tidak peduli dengan waktu belajarnya yang akan semakin tersita jika bekerja lebih keras lagi. Yang jelas, Mita hanya ingin berusaha melepaskan diri dari jerat Lia. Jika tidak, sudah pasti hidup Mita tidak akan tenang karena bayang-bayang Lia yang kerap mendatanginya untuk meminta sejumlah uang.
***
“Apa Ta? Kerjaan tambahan? Apa, ya?” Kening Hana, pemilik kafe tempat kerja Mita tampak mengerut. “Kamu serius, mau cari kerja tambahan? Kamu masih sekolah loh, Ta. Apa enggak akan ganggu waktu belajar kamu nantinya? Lagi pula, apa kamu udah izin sama orang tua kalo mau cari kerja tambahan? Takutnya mereka enggak akan kasih izin,” ucap Hana memastikan.
Mita terdiam sejenak. Dia tidak mungkin mengatakan masalah sebenarnya pada Hana karena Mita tidak ingin Hana menaruh belas kasihan padanya seandainya tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Mita.
“Kamu butuh banget, ya?” tanya Hana sebelum Mita menjawab pertanyaan sebelumnya.
Mita mengangguk pelan. “Butuh banget, Kak. Tapi kalo enggak ada kerjaan tambahan yang bisa aku kerjain, aku bakal cari di tempat lain,” jawabnya.
Hana manggut-manggut. “Oke, nanti aku tanya-tanya ke temen dulu ya, siapa tahu ada salah satu di antara temen aku yang lagi butuh pegawai part time,” ucapnya bersungguh-sungguh.
Raut wajah Mita mendadak semringah. “Terima kasih banyak bantuannya, Kak,” ucapnya sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Hana tersenyum sembari mengangguk perlahan. “Sama-sama, Ta. Kamu jangan lupa doa juga, ya? Yah ... semoga aja salah satu temenku emang ada yang lagi butuh orang,” lanjut Hana.
“Iya, Kak. Mudah-mudahan aja,” balas Mita singkat.
“Selamat sore, selamat datang di Hana’s Cafe. Silakan duduk dan dilihat-lihat dulu daftar menunya, Kak.” Terdengar pegawai Hana yang lain menyapa seorang pelanggan.
Mita dan Hana pun menyudahi pembicaraan mereka saat mengetahui ada yang datang. Ketika hendak menuju pintu untuk menggantikan teman kerjanya yang sedang melayani pelanggan, Mita tidak sengaja berserobok pandang dengan perempuan yang sepertinya dia kenal.
Buru-buru Mita berbalik badan secepat kilat saat mengira bahwa perempuan yang dilihatnya adalah Naura, teman sekelasnya yang terkenal suka menggosip.
Mita khawatir Naura akan mengenalinya meski dia tampil dengan style yang berbeda jauh dari style-nya saat di sekolah. Ketika bekerja, Mita tampil tanpa kacamata minusnya karena tidak ingin terganggu dengan letak kacamatanya yang kebesaran. Gadis itu sengaja memakai kontak lens sebagai ganti, juga dengan tatanan rambut yang diikat rapi seperti ekor kuda, menyisakan sedikit poni miring ala gadis Korea.
Mita terlonjak kaget saat menyadari sebuah tangan mendarat di bahunya. Ia merasa was-was untuk menoleh, khawatir jika orang itu adalah Naura. Demi Tuhan, Mita tidak ingin teman sekolahnya itu mengetahui tentang latar belakang kehidupan Mita yang sesungguhnya.
“Hei! Kenapa diem aja, Ta?” “Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. “Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega. “Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya. “Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita. Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana. *** "Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah le
“Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesan ke Kakak. Coba kalo ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?” sentak Mita yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bian kenapa-napa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. “Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi lagi,” janji Bian dengan wajah tertunduk. Mita mendesah lelah. “Lagian kenapa sih berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bian. Enggak ada siapa-siapa yang perhatikan kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah.” “Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kak Mita dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!” Mita terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan Bian. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan sang adik supaya tidak terpancing dengan ucapan t
Mita, gadis bernama lengkap Swastamita itu melangkahkan kaki dengan perasaan was-was menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Mita meninggalkan sekolah karena memenuhi panggilan guru BK Bian. Bagaimana jika kepala sekolah yang terkenal garang itu tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Mita tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa Mita kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Mita bisa maju jika dia tidak bisa meneruskan sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bian yang membutuhkan uluran tangannya. Tidak, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi. Tanpa sadar, Mita menggeleng. “Jangan sampe, jangan sampe!” desis Mita pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali tangannya membenarkan letak kacamata tebalnya. Mita tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah.
Mita tersentak. Kenapa Rayyan menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Mita bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Swastamita. Haruskah dia menjawab pertanyaan Rayyan? “Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan aja kalo katanya Si Kutu Buku lari dari sekolah.” Rayyan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dan kamu penasaran, gitu?” tuduh Mita. Kalau dipikir-pikir, kenapa Rayyan membahasnya jika bukan karena penasaran? Rayyan terkekeh. “Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish,” gumamnya sembari melanjutkan langkah. “Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Rayyan,” batin Mita kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kakinya menuju kelas. “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek kenapa lo jadi manyun gitu, Mit? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya,” se
Mita dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Mita. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Mita bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Mita. Membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal manjikannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Mita setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Mita ke dalam sebuah dalam ruangan yang cukup luas, barulah lengan Mita dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan itu tampak beberapa laki-laki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai botol minuman keras. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yan
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Mita. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia menghilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Mita yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Rayyan santai sembari melepas jumper hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Mita mendadak tegang. "Lo pake aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Rayyan memakaikan jaketnya ke badan Mita. Mita yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Mita terkesiap ketika tangan Rayyan menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pake kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda.