Share

2. Cariin Gue Pacar!

2 tahun lalu, tepatnya saat Luna baru saja menginjak bangku SMA. Setidaknya Luna lebih terurus sebab ada sosok sang Bunda yang tak bosan mengomelinya. Mulai dari penampilan, kebiasaan buruk, jam makan semuanya tak lepas dari perhatian bunda.

Namun setelah Bunda meminta berpisah dengan ayah dan memilih menetap di Bali bersama pasangan barunya. Luna menjadi gadis yang sekarang, tak begitu peduli akan penampilan dan lingkungan sekitar, termasuk perihal apa yang orang katakan tentang dirinya.

"Jaga diri baik- baik, ya. Kamu udah gede, harus udah bisa perhatiin diri kamu sendiri."  Ucapan Bunda masih teringat jelas dibenak Luna saat wanita itu kemudian menyeret kopernya dibandara, meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca.

Bunda, wanita yang Luna anggap sebagai sosok paling setia yang akan menemaninya kapan saja dikala suka dan duka nyatanya kini menjadi penyebab utama atas segala sikap yang dilakoninya.

Luna patah, parahnya lagi jatuh. Tapi ia beruntung pada masa-masa terkacaunya Opet bersedia mengulurkan tangannya, menjadi tempatnya bersadar dan berkeluh kesah sepuasnya, kendati kata-katanya kadang terdengar pedas dicerna dan terkesan jujur. Seperti kali ini...

"Lo mau pergi ke pantai?" Opet berkacak pinggang seperti emak-emak yang tengah memarahi anaknya, menatap penampilan Luna dari bawah sampai ujung kepala. Ia berdecak. "Ck, ck, ck... bahaya."

Luna mengangkat bahunya acuh. Gadis itu dengan percaya diri hanya menggunakan hotpants dan baju atasan yang bagian pundaknya kekurangan bahan. Kalo Opet khilaf gimana coba? bisa barabe urusannya!

Luna mengerjapkan matanya tanpa dosa. "Salahnya dimana?"

Laki-laki dihadapan Luna itu menggaruk tengkuknya, selanjutnya manarik Luna masuk kembali kedalam kamar.

"Lo mau ngapain?! Kita belum muhrim!" pekik Luna menahan langkahnya diambang pintu, satu tangannya yang terbebas memegang kusen pintu erat.

"Mulut sok suci tapi penampilan udah kayak lonte!" cerca Opet.

"Astagfirullah Opet mulutnya!"

"Dapet kado isinya tomat, bodo amat!"

Setelah beberapa menit mengobrak-abrik lemari Luna yang sama sekali tak tertata. Opet melemparkan kameja hitam kotak-kotak serta celana jeans abu-abu tepat ke wajah Luna. Lantas ia mengusap-usap telapak tangannya seolah baru saja mengobrak-abrik sampah.

"Memangnya lo mau ajak gue kemana, sih?" tanya Luna. 

Opet spontan menutup mata dan buru-buru melangkah keluar saat Luna hendak membuka bajunya. Luna hanya mengedikkan bahunya acuh.

"Tau tempat dong Lun!"

"Ribet lo pet!"

"Buruan! Gue mau bawa lo kutub utara. Mempertemukan lo sama kerabat-kerabat lo disana? Habis itu gue tinggalin lo. Damailah hidup gue."

"Siapa?"

"Beruang."

Tak butuh waktu lama Luna keluar dari balik pintu dengan pakaian yang dipilihkan Opet barusan. Gerah, apalagi cuaca diluar semakin panas. Luna rasanya jadi malas keluar rumah.

"Nah kalo gini kan enak diliatnya." Opet tersenyum bangga.

"Firasat gue gak enak." Selidik Luna dengan tatapan mengintimidasinya.

Opet sudah mengambil langkah menuju depan rumahnya. Meninggalkan Luna yang masih menduga-duga kemana laki-laki itu akan membawanya. Sejauh ini tempat tidur adalah tempat favoritnya. Jadi harusnya Luna tak punya alasan untuk meninggalkannya dan menurut mengikuti Opet.

"Buruan Luna! Gue tinggal nih!" teriak Opet dari luar tak sabaran.

"Gue gak jadi ikut!" sahut Luna, kemudian membantingkan tubuhnya ke atas kasur yang sejak tadi seolah merayunya untuk ia  tiduri.

💤💤💤

Gramedia menjadi tempat tujuan Opet membawa Luna secara paksa. Netra gelapnya menyusuri setiap rak buku diekori Luna yang tak berhenti menggerutu tanpa jeda. Beberapa orang sempat menatap mereka risih, lebih tepatnya Luna yang suaranya bak toa.

"Jalan-jalan sih jalan-jalan. Tapi gue enek kalo pemandangannya buku-buku kayak gini. Mending gue tiduran di rumah, nonton anime sepuasnya."

"Males tau gak liat wajah-wajah kolot yang kuker dan sok pinter baca-baca buku."

"Permisi Bu." Luna menggeser tubuhnya, membiarkan seorang gadis berlalu. Raut wajahnya berubah sinis. Apa dia bilang? Ibu? Apa ia terlihat setua itu? Ingin rasanya ia jambak rambut gadis itu.

Opet tertawa geli. "Ibu baringan aja di lantai kalo masih ngotot pengen tidur. Justru alasan saya bawa ibu kesini, biar ibu gak tiduran mulu."

"Opet-"

"Mereka liatin lo dari tadi Lun, jangan banyak tingkah. Bisa-bisa lo yang diamuk mereka udah lo katain kolot." Beritahu Opet.

Luna mengatupkan bibirnya saat itu juga, mengedarkan pandangannya menyadari tatapan sekitar yang menyorotnya tak suka. Luna sadar, ia salah bicara.

"Makanya jangan kesini, ayo pulang aja pet." Luna berbisik.

"Masih ada yang perlu gue cari."

Luna merotasikan bola matanya. "Dari tadi kita muter dari sabang sampai merauke. Lo sebenernya cari apa Opet?!" tanyanya geram masih setengah berbisik.

"Lepay lo Lun. Baru juga 10 menit."

Gadis itu meringis. "10 menit itu terlalu sayang dilewatin cuma buat mondar-mandir."

"Ketemu!"

Luna berjengit kaget. Opet mengangkat sebuah buku tebal bertuliskan "Kumpulan Soal Ujian SMBPTN."

"Nih buat lo." Luna mengerjap saat benda itu berpindah ketangannya, berat.

"Kok gue?" tanyanya tak mengerti menatap Opet, bingung.

"Bentar lagi kita lulus. Lo gak mau tinggal kelas kan?"

Luna hanya diam. Memperhatikan Opet yang masih betah menyusuri setiap rak.

Ia berjalan mendekat. "Tapi ini masih lama, kita baru aja naik kelas 3."

Opet memusatkan seluruh perhatiannya pada Luna. Mengulas senyuman manisnya yang membuat beberapa gadis yang duduk dimeja sudut Gramedia menjerit tertahan. Ternyata sejak tadi mereka memperhatikan Opet juga.

"Apa salahnya siapin sejak awal?" tanya Opet. Agaknya geram, sebab selama ini dirinya yang selalu membantu Luna memahami materi dan mengerjakan tugas sekolahnya. Dan setelah lulus nanti ia tidak akan bisa sering-sering membantunya, terlebih keduanya akan masuk jurusan yang berbeda.

"Gak lulus pun gue gak masalah." Luna berjinjit, berusaha mengembalikan buku itu ketempat asalnya.

Opet menghela nafas sabar. "Lo tuh musti kudu di ruqyah emang. Hidup itu bukan tentang sekedar rebahan, bangun tidur, makan, tidur lagi. Lo mau jadi apa nanti?"

Luna merapatkan bibirnya. Pandangannya jatuh ke lantai. Opet menatapnya heran berusaha memahami pola pikir gadis dihadapannya. Nyatanya kebersamaannya dengan Luna selama hampir 18 tahun tak mampu membuatnya memahami segalanya tentang Luna.

"Gue gak pinter kayak lo pet. Gue juga gak jago masak kayak lo, apalagi bersih-bersih. pokoknya gue gak jago melakukan banyak hal kayak lo. Dan gue juga gak punya siapa-siapa yang nerima gue apa adanya kayak gini selain lo." curhat Luna tanpa sebab.

"Terus, maksud lo ngomong gitu apa?"

Luna mengangkat wajahnya, memandang Opet dengan puppy eyesnya seimut mungkin. Opet masih tak paham. "Gue berniat mau numpang hidup sama lo, boleh ya pet?"

Opet bergidik ngeri. "Najis!" tandasnya semberi menyentil dahi gadis itu.

Luna mencebik kesal mengusap-usap dahinya. "Kok gitu sih ngomongnya. Gue ini cewek, sensitif, omongan lo barusan itu udah bikin hati gue celetat-celetit!" protesnya.

"Dih, baper!"

"Pokoknya pulang dari sini, beliin gue martabak!" tuntut Luna.

"Boleh, tapi pake duit lo."

"Gue miskin!" tekan Luna. Opet hanya memutar bola matanya pasrah. "Ayah lo kaya setidaknya. Gak bersyukur amat jadi manusia!"

💤💤💤

Sesuai permintaan Luna, Opet rela membelikan martabak spesial hanya untuk Luna seorang begitu pulang dari Gramedia asal gadis itu berhenti mengeluh.

Kini keduanya berada ditaman umum salah satu pusat Jakarta. Duduk dihamparan rumput hijau dibawah naungan pohon Tabebuya yang meneduhkan.

Keduanya sama-sama mengedarkan pandangan, memperhatikan segala kegiatan yang ada disekitar. Kebanyakan yang datang sama-sama sekedar menghabiskan waktu hari minggu, tak heran jika sedikit ramai.

"Lo gak niat bagi martabaknya sama gue Lun?" Opet mencebik kesal. Sementara Luna sibuk mengunyah martabak dimulutnya. Pipinya mengembung lucu.

"Mau? Beli sendiri." Gadis itu tergelak seorang diri, hingga akhirnya tersedak. Opet panik, menepuk-nepuk punggung Luna seraya menyerahkan botol air mineral yang buru-buru ditengaknya.

"Kualat! Pelit sih, udah gitu gak tau diri lagi siapa yang beliin lo makanan."

Luna mengerlingkan matanya selagi mengatur nafas. Hampir saja ia mati muda barusan. "Gue gak pelit, lo nya aja yang gak ikhlas terus doa-doain gue biar kayak barusan kan?"

"Dasar tukang fitnah lagi lo Oneng!" Geram Opet, menyumpalkan sepotong martabak ke mulut Luna.

Selagi menunggu Luna menghabiskan martabaknya, Opet mengeluarkan ponsel dari saku. Mengotak-atiknya sebentar kemudian memasukkan benda itu kedalam sakunya lagi. Sebelumnya ia juga mengecek jam yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Waktu berlalu cepat rupanya.

"Lo punya pacar ya, Pet?"

Opet terperanjat begitu ia mengangkat pandangannya, wajah Luna kini tepat berada dihadapannya dengan jarak yang terlalu dekat sekarang.

"Gak usah deket-deket!" decaknya mendorong dahi Luna agar gadis itu menjauh. "Gue gak pacaran!"

"Terus siapa yang manggil lo sayang di w******p barusan?" Luna penasaran.

"Lo kayak gak tau gue aja, Lun. Lupa sahabat lo ini banyak yang naksir. Harusnya lo bangga punya sahabat kayak gue."

Kini giliran Luna yang berdecak kesal menghadapi kepercayadirian seorang Opet. Gadis itu merebahkan tubuhnya menyamping dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Opet. Opet sendiri tak ambil pusing dan membiarkannya, sudah biasa.

Gadis itu menjatuhkan pandangannya pada pasangan yang duduk dekat kolam. Silih melempar canda tawa. Dikira ia bakal iri apa? Enggak!

"Pet emang mereka semua pada mau sama cowok macam lo? Belum tau aja lo aslinya gimana. Gue yakin sehari aja mereka pasti udah minta putus. Soalnya mulut lo kayak merecon," tutur Luna.

"Lo gak usah meremehkan gue Lun. Yang harusnya ngomong kayak gitu itu gue. Gue khawatir sama pasangan lo nanti. Gue sih gampang, kalo pengen tinggal klik."

Luna mendengus sebal. Menanggapi Opet sama saja mempermalukan dirinya. Opet selalu punya jawaban atas setiap pernyataan yang Luna katakan. Dengan mudahnya mematahkan segala apa yang menurutnya benar. Dan Luna akui selama ia menuruti Opet semuanya berjalan baik-baik saja.

Lalu kini pertanyaannya bagaimana seandainya laki-laki itu memiliki pacar? Bukankah prioritasnya bukan lagi dirinya yang hanya sebatas sahabat?

"Pet, cariin gue pacar!"

"Hah?" Opet melongo.

"Sebelum lo punya pacar, lo harus cariin gue dulu pacar. Minimal kayak lo, yang mau gue susahin, yang mau gue porotin, yang mau bantuin gue bikin tugas, pokoknya yang kayak lo."

Opet mengerjapkan matanya, meneguk ludahnya sendiri saat Luna menatapnya dalam penuh harap.

Luna Kesurupan!


To Be Continue...


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status