Share

4. Hari Senin

Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.

Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya.

"Telen aja sekalian itu mic."

"Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin."

"Ketek gue udah banjir keringat ini."

"Andai upacara bisa bawa payung."

"Mengadi-ngadi kau!"

"Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian."

"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"

Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa ilahi menghentikan aksi pidato panjang sepanjang jalan kenangan. Oke lebay!

"Sumpah, gue gak tahan. Apa gue harus pura-pura pingsan?"

Luna menoleh memandang malas seorang gadis berambut sebahu yang berdiri disampingnya sembari mengibas-ngibaskan tangan didepan wajah.

"Itu pak gundul minta gue sumpel juga apa mulutnya. Pengar gue dengerin suaranya."

"Amel jangan banyak ngomong. Make up lo retak!" Temannya yang berdiri disamping memberi tahu. Agaknya berdusta, sebab ia pun jengkel mendengar gerutuan gadis itu sejak tadi.

"Hah, beneran?" gadis bernama Amel mulai panik. Bibir Luna berkedut melihat reaksi gadis itu.

Pandangannya kemudian beralih menatap sosok jangkung yang berdiri disebrang barisannya, Opet.

Laki-laki itu meliriknya tajam ke arah dasinya yang tak diikat rapi. Tapi rupanya Luna salah memahami maksud Opet, gadis itu malah memeluk dirinya dengan mata melotot.

"Kamu kenapa Lun?" Iva, gadis berkaca mata yang berdiri dibelakang Luna bertanya, matanya mengikuti arah pandang Luna.

"Tukeran Va!" pinta Luna tiba-tiba. Iva tak bisa menolak saat Luna berpindah posisi berdiri dibelakangnya dan mendorong pelan punggungnya kedepan begitu saja.

Seketika pipi Iva bersemu saat tak sengaja pandangan matanya bertemu dengan manik mata Opet. Iva menegakkan tubuhnya salah tingkah.

Sementara itu Luna dibelakangnya sibuk menilik penampilannya. Menyadari maksud Opet menatapnya seperti itu adalah karena dasinya yang tak diikat rapi.

Bodoh. Luna menelengkan kepalanya, menatap balik Opet yang kini malah membuang muka. "Sok ganteng," desisnya.

Iva didepannya hanya diam sembari mengatur detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Iva lagi gak kena serangan jantungkan? Jika iya, Opet lah tersangka utamanya.

"Baiklah saya cukupkan sampai disini..."

Para siswa akhirnya bisa mendesah lega, setelah sang komandan pasukan membubarkan upacara, siswa-siswi berhamburan meninggalkan lapangan yang meraka pandanga bak neraka. Berbondong-bondong masuk ke kelas, beberapa dari mereka ada yang melarikan diri ke kantin, tak heran memang.

"Tugas fisika kamu udah kerjain Lun?" tanya Iva selagi berjalan menyusuri koridor menuju kelas mereka yang berada dilantai 2.

"Udah, Opet yang kerjain." Luna menyengir tanpa dosa. Iva menghela nafas panjang menatap iri sahabatnya. "Enak, ya punya sahabat kayak Opet."

"Banyak enaknya, banyak gak enaknya. Tapi kan kamu sahabat aku, otomatis Opet sahabat kamu juga lah."

Iva hanya mengangguk mengiyakan sembari mengulas senyuman tipis. Entah kenapa mendengar kata 'sahabat' sebagai status hubungan diantara Luna dan Opet membuatnya kadang tak yakin. Kenyataannya yang mereka pertontonkan didepan publik lebih dari itu, dan jika iya Iva mungkin akan menjadi orang pertama yang tersenyum dengan hati yang patah. Sebab ia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Luna sahabat terdekatnya.

Tak sengaja saat pandangan Luna mengedar asal, tatapannya jatuh pada salah satu sosok laki-laki diantara barisan siswa yang masih tertahan dilapangan, sembari menekuk sebelah kaki dan kedua tangan menyilang menjewer telinga masing-masing.

Bisa ditebak, mereka murid-murid yang melanggar aturan. Entah itu datang kesiangan atau memakai atribut sekolah tidak lengkap. Dilihat dari wajah-wajah yang berbaris disana tidak lagi asing, rata-rata mereka memang murid langganan yang sering melanggar aturan.

Detik berikutnya manik mata Luna beradu dengan iris legam milik sosok yang menarik atensinya sejak tadi. Rega, laki-laki yang kemarin sempat membuatnya kesal itu kini menampilkan smirk khas andalannya. Tapi Luna hanya menatapnya datar.

💤💤💤

"Rega! Kenapa kamu senyum-senyum?! Saya ngomong itu didengerin! Dipahami! Diterapkan!"

"Berdiri yang bener!"

Yang dibentak sontak menegakkan tubuhnya. Menyenggol pelan bahu teman disampingnya hingga hampir membuatnya tersungkur.

"Apaan si, dorong-dorong!"

Pria tua yang kerap dipanggil pak Surya menatap tajam satu per satu. "Kalian itu sekolah mau apa? Gaya kayak brandalan, rambut gondrong, gak pake dasi, baju juga harusnya dikedalemin udah saya kasih tahu berapa kali!" Emosi Pak Surya, tangannya menggenggam penggaris kayu erat-erat. Membuat kelima orang siswa itu sesekali meringis takut-takut benda itu melayang ke arahnya.

"Sekarang alasannya apalagi bisa datang kesiangan?" tanyanya pada Rega. Katakan saja diantara kelima laki-laki yang berdiri, Rega itu ibarat induknya, sumber utama atas setiap kelakuan yang ditiru antek-anteknya.

"Maaf pak, tadi saya mandiin adek saya dulu, jadi saya berangkat kesiangan," jawab Rega menundukkan kepalanya. Entah benar-benar menyesal atau hanya untuk sekeder terlihat meyakinkan.

"Lo gak punya adek Ga," bisik temannya disamping kiri-Adit namanya, yang  suaranya masih bisa didengar jelas Pak Surya.

"Rega lagi ekting dit, lo ngertiin napa!" Temannya yang satu lagi memberitahu dengan gemas, Dio.

Pak Surya melotot. Kelima laki-laki itu melirik penggaris kayu takut. "Berani bohong kalian sama saya!"

"E-enggak pak. Kita gak bohong, kita cuma lagi usaha. Usaha menghindari hukuman dari bapak!" Satu-satunya cowok yang memakai topi angkat bicara, Dimas.

"Heh, kita gak kenal lari dari hukuman! Berani berbuat berani mengakui!" laki-laki berkulit paling putih tiba-tiba menimpali. Pernyataannya mengundang tatapan cengo temannya yang kini bersungut-sungut dalam hati.

"Ferdi pinter tapi kok gobl*k, ya."

"Kalian berlima saya tambah massa hukumannya. Sepulang sekolah gak boleh ada yang kabur, semuanya harus ngepel seluruh koridor sekolah ini!" tegas Pak Surya, mutlak dan tak terbantahkan.

"Hah?!" 3 Diantaranya menganga, termasuk Rega.

"Apa?!" Ferdi ikut cengo, meski agak terlambat.

Selanjutnya suara 'Brukk' membuat 5 masang mata disana mengarah pada Adit yang sudah terkapar mengenaskan. Adit koid. Ralat, pura-pura pingsan.

"Berdiri yang bener! Atau saya tambahin lagi hukumannya!"

Spontan Adit berdiri tegak, ke empat temannya mulai misuh-misuh menyalahkan satu sama lain.

💤💤💤

2 Jam berlalu, tak ada satu kalimat atau barangkali satu kata yang menyangkut diotak Luna setelah guru geografi menjelaskan materi panjang kali lebar dan berlalu pergi setelahnya.

Seolah kehabisan baterai, Luna menjatuhkan kepalanya ke meja, matanya mulai terasa berat. Niatnya ingin tidur sebentar, tapi kondisi kelasnya yang sedang tak terkendali membuat Luna tak bisa memejamkan matanya dengan tenang.

Iva yang duduk disebelah kursinya sibuk bersama buku novelnya. Jika tengah fokus gadis itu memang sulit sekali diganggu.

Berdirinya ketua kelas didepan kemudian mengetuk meja dua kali sukses mengambil alih seluruh atensi setiap makluk disana, termasuk Luna meskipun matanya setengah tertutup.

"Untuk pelajaran Biologi. Gurunya izin gak bisa mengajar hari ini karena ada urusan mendesak."

Kurang dari 5 detik, sorak-sorai gembira menggema dilangit-langit kelas IPA 3 setelah pernyataan dari sang ketua kelas, Revian.

Luna pun dengan lega bisa sepenuhnya menutup mata, berselancar menuju alam mimpinya.

Tapi tak bertahan lama saat tiba-tiba sosok tak diundang datang dengan suara baritonnya.

"Berisik! Jam kosong bukan berarti bisa bebas gitu aja! Kerjain tugas yang dikasih, jangan ganggu kelas-kelas lain yang lagi fokus belajar!"

Sumpah serapah dari setiap penghuni kelas tak dapat terealisasikan. Mereka hanya mendengus pasrah. Mulai duduk menghampiri kursi nya masing-masing dan melakukan hal yang diperintahkan.

"Yeuuu... dasar sombong! Mentang-mentang ketua OSIS!" cibir Luna kesal. Iva terkekeh melihat wajah masam Luna yang terpaksa harus menegakkan tubuhnya. Mengeluarkan buku paketnya dengan heboh sembari melempar tatapan penuh dendam pada cowok yang berdiri diambang pintu kelas, kemudian setelahnya berlalu.

Luna menghela nafas panjang, kenapa manusia-manusia disekitarnya harus seribet ini? Begitu pikirnya.

"Yang namanya Luna, ikut gue." Luna mendongak saat suara milik cowok yang berlalu tadi, kini tepat didepan matanya.


To Be Continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status